Andra dan Trista terpaksa menikah karena dijodohkan. Padahal mereka sudah sama-sama memiliki kekasih. Pernikahan kontrak terjadi. Dimana Andra dan Trista sepakat kalau pernikahan mereka hanyalah status.
Suatu hari, Andra dan Trista mabuk bersama. Mereka melakukan cinta satu malam. Sejak saat itu, benih-benih cinta mulai tumbuh di hati mereka. Trista dan Andra terpaksa menyembunyikan kedekatan mereka dari kekasih masing-masing. Terutama Trista yang kekasihnya ternyata adalah seorang bos mafia berbahaya dan penuh obsesi.
"Punya istri kok rasanya kayak selingkuhan." - Andra.
"Pssst! Diam! Nanti ada yang dengar." - Trista.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29 - Mencari
Regan duduk di sofa, kaki terpentang, satu tangan menopang kepala. Matanya menatap layar ponsel dengan rahang mengeras. Sudah puluhan kali dia menghubungi Trista, tetap nihil.
Tika duduk di depannya, gelisah. “Bos… sepertinya… mereka benar-benar nggak pulang.”
“Aku tahu itu,” jawab Regan pendek. Suaranya datar, tapi bahaya menggantung di setiap katanya.
“Dan Bos yakin mereka nggak ada di rumah keluarga Mahendra?” tanyanya lagi pelan.
Regan menghela napas panjang, hampir seperti mendengus. “Aku sudah kirim anak buahku ke sana. Mereka bilang nggak menemukan tanda-tanda keberadaan Andra dan Trista semalam!"
Tika menggigit bibir, jelas merasa bersalah. “Jadi… mereka pergi ke mana?”
Regan menggerakkan bahu, ekspresi dinginnya mulai retak oleh rasa cemas yang semakin nyata. “Kalau aku tahu, kita nggak akan ngobrol begini.”
Ia bangkit, berjalan menuju jendela besar kantornya, melihat ke luar seolah jawaban bisa muncul di udara. “Trista bukan tipe yang ngilang tanpa pamit,” gumamnya. “Dan Andra… dia juga bukan orang yang biasanya berani macam-macam. Setahuku mereka saling membenci."
Tika ragu. “…Kecuali kalau mereka berdua memang merencanakannya.”
Regan menoleh perlahan, menatap Tika seperti baru menilai kemungkinan itu. “Kau pikir mereka kabur?”
“Bukan kabur, Bos,” kata Tika buru-buru. “Tapi… mungkin mereka mau ambil waktu berduaan. Mereka kan baru resmi sebagai suami istri….”
Regan menghela napas sangat panjang. “Masalahnya, Trista bukan gadis biasa. Dia pacarku. Dan dia tahu siapa aku. Dia tahu bagaimana dunia ini bekerja. Dia tahu… hilang tanpa kabar adalah hal terakhir yang boleh dia lakukan.”
Nada suaranya membentur dinding, dingin tapi tidak meledak. Ada kekhawatiran yang lebih besar dari amarah.
Tika berdiri. “Bos, mau aku sebar anak buah lagi? Kita bisa cek bandara, stasiun, hotel… apa saja—”
“Sudah kulakukan,” potong Regan. “Tapi belum ada jejak.”
Tika terdiam.
Regan kembali menatap layar ponselnya. Ia menekan nomor Trista sekali lagi. Namun nomor tidak aktif. Regan mengepalkan ponselnya erat-erat.
Sementara itu, dunia di sisi lain terasa jauh lebih ringan. Trista melangkah keluar dari pintu pesawat dan langsung disambut hembusan angin hangat Bali yang khas. Ia memejamkan mata sejenak, menghirup udara sambil tersenyum. “Baunya… liburan banget,” katanya sambil nyengir.
Andra menenteng dua koper dan satu tas jinjing, tapi tetap sempat melirik gadis itu dengan wajah geli. “Kau tersenyum seperti anak kecil habis dibeliin permen.”
“Aku memang butuh liburan,” jawab Trista santai. “Terutama dari kamu.”
Andra pura-pura terkejut. “Hei! Kita baru menikah dan kau sudah butuh liburan dari aku?”
Trista mengangkat bahu, wajah tak bersalah. “Baru semalam, tapi intensitasmu itu… luar biasa.”
Andra hampir tersedak udara. “Tris!”
Trista tertawa keras, langkahnya ringan seperti melayang. Ia memukul pelan lengan Andra. “Bercanda, Sayang. Kau jangan gampang baper dong.”
Andra menoleh cepat, menatapnya dengan mata menyipit. “Kau baru panggil aku apa?”
“Sayang?” Trista menaikkan alis, santai banget. “Kan kau suamiku.”
“…Ulangi.”
“Ha?”
“Panggil lagi.”
Trista tertawa makin keras. “Ya ampun, kau manja sekali! Sayang, ayo jalan. Puas?”
Wajah Andra langsung memerah tapi senyumnya lebar, jenis senyum langka yang keluar hanya kalau Trista memicunya.
Mereka berjalan menuju area pengambilan bagasi. Turis lain lalu-lalang, tapi dunia Trista dan Andra terasa seperti gelembung kecil yang hangat dan berisik.
Trista sempat meraih tangan Andra. “Kau yakin nggak khawatir soal Regan?”
Andra mengayunkan tangan yang digenggam itu. “Khawatir, iya. Deg-degan juga. Tapi kalau terus mikirin dia, kita nggak akan pernah punya waktu buat kita.”
“Benar juga.”
“Lagipula… aku percaya dia nggak akan bertindak sejauh itu kalau cuma soal hubungan pribadi.”
“Aku tahu, dia juga manusia. Dan aku bukan barangnya.”
Andra memandang Trista lama, seakan kalimat itu membuat hatinya berdebar lebih keras. “Kau luar biasa.”
Trista menunjuk dirinya sendiri. “Tentu. Baru sadar?”
Mereka tertawa berdua.
Setelah koper berhasil diambil, mereka berjalan menuju pintu keluar bandara. Sinar matahari Bali menyapa, hangat memantul di kulit mereka. Mobil hotel sudah menunggu, Andra memesan resort bintang lima yang kamar villa-nya punya kolam pribadi.
Sesampainya di mobil, Trista masuk duluan. “Liburan kita bakal seru, Dra.”
Andra menyusul. “Seru bagaimana?”
“Pokoknya seru.” Trista menyengir nakal. “Tapi jangan berharap aku manjat jendela seperti kamu.”
Andra memandangnya tak percaya. “Aku lakukan itu sekaliii… dan kau masih ingat?”
“Itu kejadian paling lucu sekaligus paling romantis yang pernah kulihat.”
“Romantis?”
“Iya.” Trista menoleh, matanya hangat.
“Kamu kerja keras banget cuma untuk ketemu aku. Itu… bikin aku suka.”
Andra membeku. Senyumnya merekah perlahan. “Tris…”
“Mhm?”
“Aku bakal bikin liburan ini jadi hal terbaik yang pernah kau punya.”
Trista menutup wajahnya dengan tangan, mencoba menyembunyikan pipi yang memerah. “Dasar pembuat malu…”
Mobil melaju meninggalkan bandara, membawa mereka ke villa yang menunggu.