Di dunia yang hanya menghargai bakat spiritual dan aliran Qi yang sempurna, ia terlahir sebagai "Tanpa Akar". Sementara teman sebaya disibukkan dengan meditasi dan pil kultivasi, Lian memilih jalan yang menyakitkan: ia mengukir kekuatannya dengan darah, keringat, dan Latihan Tubuh Besi yang brutal, menolak takdir yang telah digariskan langit.
Ketika Desa Lingshan dihancurkan oleh serangan mendadak. Lian secara tidak sengaja menelan sebuah artefak kuno: Giok Tersembunyi.
Giok itu tidak hanya memberinya Qi; ia menipu Surga, memberikan Lian jalur kultivasi yang tersembunyi dan lebih unggul. Kekuatan ini datang dengan harga: ancaman yang ia hadapi di Alam Fana hanyalah bayangan dari musuh-musuh kosmik yang ingin merebut kembali Giok yang merupakan Fragmen Takdir.
Kisah ini adalah tentang seorang pemuda yang dihina, yang menggunakan tekadnya untuk menghadapi musuh dari Alam Abadi, dan membuktikan: Bakat adalah hadiah, tetapi kehendak adalah kekuatan sejati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ajaran Mentor
Lian bergerak seperti hantu melintasi Hutan Kuno. Kemenangan di Simpul Formasi Tiga Sungai terasa hampa. Itu adalah kemenangan taktis yang sunyi, dieksekusi dalam kegelapan tanpa saksi. Dia telah melumpuhkan sebagian jaringan Logika musuh, tetapi dia sendirian, diburu, dan bergerak lebih jauh ke wilayah musuh.
Dia menggunakan "Langkah Giok Hampa" dalam ledakan-ledakan singkat, melintasi lembah dan sungai kecil dengan kecepatan yang tidak bisa ditandingi oleh kultivator Fondasi Qi biasa. Teknik gerakan berbasis Ketiadaan ini sempurna untuk infiltrasi; tidak ada pergeseran Qi, tidak ada jejak kaki, hanya perpindahan instan dari satu bayangan ke bayangan berikutnya.
Dia tahu dari Peta Mo Ya bahwa target berikutnya, Menara Pengamat Guntur, berjarak empat hari perjalanan ke timur laut. Tidak seperti Simpul Tiga Sungai yang tersembunyi, Menara Pengamat Guntur adalah benteng militer yang mencolok, sebuah menara batu setinggi ratusan kaki di puncak gunung tandus, yang berfungsi sebagai "mata" Sekte untuk memantau aktivitas badai petir di wilayah itu.
Sekte Seribu Pedang, dalam obsesi mereka terhadap Logika, bahkan mencoba memetakan dan memprediksi cuaca, mengubah kekacauan alam menjadi Aturan yang dapat diprediksi. Menara itu adalah simbol kesombongan mereka.
Pada malam ketiga perjalanan, Lian berlindung di celah batu yang sempit saat hujan dingin mulai turun. Dia menyalakan api kecil, panasnya nyaris tidak menembus aura dingin pasif yang dipancarkan Inti Gioknya.
Dia menatap api, pikirannya melayang.
Dia telah berevolusi begitu cepat. Beberapa bulan yang lalu, dia adalah "Tanpa Akar" dari Klan Giok Putih, putus asa mencari validasi. Lalu dia menjadi "Li Feng", penyabot fisik di Sekte Pedang Tersembunyi. Kini, setelah pertarungan dengan Lu Chen dan evolusi Gioknya, dia bahkan bukan lagi seorang kultivator biasa. Dia adalah seorang Arbiter Kehendak, seorang penyabot metafisik yang bersenjatakan Ketiadaan dan serangan Jiwa.
Namun, di tengah semua kekuatan baru yang aneh ini—Pedang Jiwa, Jari Penembus, Langkah Hampa—dia menyadari bahwa strategi yang dia gunakan bukanlah sesuatu yang dia pelajari dari Kitab Pemurnian Jiwa Langit atau dari warisan Mo Ya.
Strategi dasarnya—menyelinap, menyerang kelemahan, menghindari konfrontasi langsung, berpikir seperti penyabot—adalah sesuatu yang telah diajarkan kepadanya jauh sebelumnya.
Pikiran Lian melayang kembali, menembus kabut perang dan darah, kembali ke Pegunungan Giok Putih yang damai, sebelum klannya hancur. Kembali ke mentor pertamanya.
Zhe.
Kilas Balik dimulai.
Pegunungan Giok Putih.
"Kau mencoba melawan kekuatan dengan kekuatan," kata Zhe, meludah ke tanah. "Kau mencoba membuat tubuhmu yang fana meniru apa yang dilakukan tubuh kultivator dengan Qi. Kau akan gagal. Tubuh yang diperkuat Qi seratus kali lebih kuat dari otot fana terkuat."
"Lalu apa yang harus kulakukan?" Lian bertanya, putus asa. "Menyerah? Menerima bahwa aku 'Tanpa Akar'?"
Zhe tertawa, tawa yang kering seperti daun musim gugur. "Tidak, Nak. Kau harus berhenti berpikir seperti kultivator yang gagal. Kau harus mulai berpikir seperti fana yang sukses."
Lian bingung. "Apa bedanya?"
"Para kultivator," jelas Zhe, "terobsesi dengan Qi. Mereka melihat dunia sebagai energi yang harus didominasi. Jika mereka menghadapi tembok, mereka akan meledakkannya dengan Pedang Qi. Jika mereka menghadapi pasukan, mereka akan membakarnya dengan Formasi Api. Mereka memecahkan masalah dengan kekuatan brutal."
Zhe mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya yang biasanya berkabut tiba-tiba menjadi tajam. "Tapi seorang fana? Seorang fana tahu dia lemah. Jika seorang fana menghadapi tembok benteng, apa yang dia lakukan?"
"Dia... memanjatnya di malam hari?"
"Tepat!" seru Zhe. "Atau dia menggali terowongan di bawahnya. Atau dia menyuap penjaga gerbang. Dia tidak meledakkannya. Jika seorang fana menghadapi Jenderal yang memakai baju zirah lengkap yang tidak bisa ditembus oleh pedangnya?"
"Dia... menusuk celah di antara pelindung mata?"
"Atau dia meracuni anggur Jenderal itu malam sebelumnya!" Zhe menyeringai. "Kultivator berpikir secara vertikal: kekuatan yang lebih besar. Fana berpikir secara lateral: sudut yang berbeda. Kelemahanmu, Lian—fakta bahwa kau tidak memiliki Qi—adalah berkah terbesarmu. Itu memaksamu untuk berpikir secara lateral. Itu memaksamu untuk menjadi cerdas."
Lian merenungkan kata-kata itu. "Jadi... aku harus menggunakan taktik?"
"Kau harus menggunakan kelemahan," koreksi Zhe. "Kelemahan musuhmu, dan kelemahanmu sendiri. Jangan pernah melawan kekuatan musuh secara langsung. Jika dia kuat dalam serangan Qi, jangan pernah melawannya dengan Qi. Jika dia kuat dalam pertahanan fisik, jangan pukul dia. Serang pikirannya. Serang reputasinya. Itulah cara berpikir 'fana' sejati. Itu adalah cara untuk menang ketika kau tidak mungkin menang."
Saat itu, Lian mengira Zhe hanya memberinya nasihat bertahan hidup yang pahit. Dia tidak menyadari bahwa Zhe sedang memberinya fondasi filosofis untuk perang yang akan datang.
Masa Kini. Hutan Kuno.
Api unggun berderak. Hujan telah berhenti.
Lian membuka matanya. Sebuah kesadaran yang mendalam menghantamnya.
Dia telah melawan Sekte Seribu Pedang—organisasi kultivator paling logis dan kuat di dunia—bukan sebagai Arbiter Kehendak tetapi persis seperti yang diajarkan Zhe.
Saat melawan Kapten Gao Yan di Benteng Pilar Besi, Lian tidak mencoba melawan Formasi Logika dengan serangan Qi. Dia menggunakan kekuatan fisik 'fana' (Pukulan Giok Stabil) untuk menghancurkan Simpul fisik mereka. Dia berpikir seperti fana yang menghancurkan pondasi tembok, bukan kultivator yang meledakkan tembok.
Saat melawan Tetua Kuan, Lian mencoba melawannya secara langsung (Pukulan Giok) dan gagal total. Dia hampir mati. Dia menang hanya ketika dia berhenti berpikir seperti petarung dan mulai berpikir seperti pembunuh 'fana': dia menyerang kelemahan yang tidak terlindungi (Jiwa Kuan) dengan "racun" (Pedang Jiwa).
Saat menyusup ke Simpul Tiga Sungai, dia tidak meledakkan Formasi Logika Alami. Dia menyelinap melewatinya (menggunakan Perisai Jiwa Ketiadaan untuk menyembunyikan Maksud-nya) dan menusuk jantung Simpul Fisik (Jari Giok Penembus). Dia bertindak seperti mata-mata yang menggali terowongan.
"Zhe..." bisik Lian. "Kau mempersiapkanku untuk ini."
Lian menyadari bahwa Sekte Seribu Pedang adalah musuh yang sempurna. Mereka adalah perwujudan dari pemikiran "kultivator" yang kaku. Mereka terobsesi dengan Aturan, Logika, dan dominasi Qi. Mereka tidak akan pernah menduga akan dilawan oleh seseorang yang berpikir secara lateral, secara 'fana'.
Lian tiba-tiba merasakan gelombang kerinduan yang kuat terhadap mentor lamanya. Di mana Zhe sekarang? Apakah Sekte Seribu Pedang, dalam pembersihan Logika mereka, telah menemukannya?
Lian memadamkan api. Misinya kini memiliki tujuan ganda. Dia tidak hanya akan menghancurkan jaringan Formasi Sekte Seribu Pedang. Dia juga akan menemukan Zhe.
Dia bangkit, Inti Gioknya tenang, tetapi Kehendaknya sekeras baja. Ajaran mentor fananya kini telah menyatu dengan kekuatan Arbiter barunya.
Dia melanjutkan perjalanannya, bergerak menuju Menara Pengamat Guntur. Dia tidak lagi merasa sendirian. Dia membawa strategi seorang fana dan kekuatan dewa yang baru lahir.