Setelah kehilangan anaknya dan bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang penghinaan dari suami serta keluarganya, Amira memilih meninggalkan masa lalu yang penuh luka.
Dalam kesendirian yang terlunta-lunta, ia menemukan harapan baru sebagai ibu susu bagi bayi milik bukan orang sembarangan.
Di sana-lah kisah Amira membuang kelemahan di mulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arga dan Amira Ketika Hanya Berdua
Setelah keluar dari persembunyian, kini Amira berdiri berhadapan langsung dengan Arga. Ia masih mengingat nasihat pria itu yang katanya jadi orang jangan takut, dan karena itu, ia berusaha memasang wajah tegas. Tidak peduli meski lututnya gemetar hebat.
"Sedang apa kamu di sini? Mau ngintip orang mandi?" tanya Arga datar.
"Tidak, Tuan. Saya sebenarnya mau ambil sabun khusus untuk Tuan Kecil di ruang persediaan. Biasanya sudah tersedia di kamar mandinya, tapi ternyata habis. Pas mau ambil, saya salah masuk kamar. Petunjuknya bilang masuk saja ke ruangan yang pintunya terbuka, dan pintu yang terbuka ya kamar ini. Saya minta maaf, Tuan."
Amira menundukan kepala sebagai gestur minta ma'afnya, sekalian juga mau mengalihkan pandangannya sejenak dari penampakan dada bidang dan otot perut yang mengintip dibalik jubah yang terpasang asal-asalan.
"Apa yang sudah kamu lihat?"
"Luka, Tuan," jawab Amira lirih.
Arga mendengus, "Luka saja?"
Amira mengerjap dalam hati.
"Lihat... roti," katanya tanpa berpikir.
Arga menaikan alis, sedangkan Amira tercekat, tapi wanita itu melanjutkan nyebut apa yang dia lihat setelah mendapati Arga pandangannya seperti berkata begini: terus liat apalagi.
"Lihat kulit." lanjut Amira.
"Roti? Kulit? Apa maksudmu?" Padahal Arga tahu maksudnya.
"Hng... itu... roti isi kulit. Eh, kok roti isi kulit..."
Amira langsung menyesali ucapannya. Ia terjingkat ketika Arga melangkah mendekat dengan tatapan menusuk. Tangannya bahkan sudah terangkat, tampak seperti hendak menjitak kepala Amira sebagai bentuk teguran.
Namun sebelum tangannya sampai, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Refleks, Arga menarik Amira nendekat lalu setengah memeluk, seolah mereka sedang bercumbu. Posisi itu ia sengaja lakukan untuk melindungi Amira dari pandangan orang luar.
Yang masuk ternyata Pak Genta, membawa nampan berisi potongan buah segar. Sudah jamnya Arga nyemil setelah mandi.
Melihat pemandangan di depannya, Pak Genta buru-buru menundukkan kepala. "Maaf, Tuan. Saya sudah lancang."
Situasi jadi kikuk. Dari sudut pandang Pak Genta, Arga jelas-jelas sedang bermesraan dengan seorang perempuan di kamar, dan posisi mereka benar-benar ambigu. Lalu dia merasa sudah mengganggu kegiatan Tuannya itu.
Amira sendiri hampir pingsan karena wajahnya menempel ke dada Arga yang entah kenapa wangi padahal belum sempat mandi. Kalau sebelum mandi aja udah segini harum, gimana setelah mandi? pikir Amira.
"Sudahlah. Letakkan saja apa yang kau bawa, di sana," ucap Arga.
"Baik, Tuan."
Pak Genta buru-buru meletakkan nampan di meja lalu segera pamit mundur. Tapi sebelum sempat keluar sepenuhnya, Arga masih mempertahankan posisi setengah memeluk Amira. Demi membuat kesan bahwa yang dilihat Pak Genta bukanlah moment yang patut dicurigai atau sebuah kepura-puraan, Arga menoleh, menghadapkan wajahnya tepat ke arah wajah Amira.
Jarak mereka begitu dekat, sampai-sampai napas masing-masing saling menyapu kulit wajah.
Amira sewaktu beradu muka dengan Arga sedekat itu, ia memejamkan mata, tak mampu untuk melihat wajah laki-laki itu dalam jarak yang sangat dekat.
Arga juga tidak mengambil kesempatan. Tidak ada gerakan nakal, tidak ada ciuman. Pria itu tetap diam, menahan jarak seakan tidak tertarik untuk menyentuh. Karena sejatinya, Arga pun tipe laki-laki yang tidak gampang disentuh.
Begitu pintu tertutup sepenuhnya, Arga dengan cepat menjauh. Amira membuka mata, dan mereka saling bertukar helaan napas.
"Heh, kamu... Aminah," seru Arga akhirnya.
"Amira, Tuan." Amira sigap membetulkan.
"Ah, Aisha..." Arga mencoba lagi. Dalam hati Amira, masih salah juga Tuan Arga nyebutnya. "Maaf, nama saya Amira, Tuan. A-mi-ra." Terang Amira sekali lagi.
"Saepudin."
Sekonyong-konyong Arga nyebut itu, dalam hati Amira, waduh makin jauh aja ya, terserah Tuan Arga saja lah.
Lalu Amira manggut saja, terserah Tuan Arga mau manggil apa, capek juga menjelaskan kalau namanya Amira. Toh, memang benar rumor yang beredar di rumah ini, bahwa Tuan Arga ogah nyebut nama seseorang, apalagi mengingatnya.
"Nama kamu Saepudin?" tanya Arga dengan nada datar.
"Bukan, Tuan. Nama saya Amira."
"Kenapa tadi manggut saja waktu dipanggil begitu? Kalau kamu tahu ada yang salah, seharusnya dibenarkan."
Amira sempat cengo beberapa detik. Perasaan sudah berkali-kali ia membetulkan. Tanpa mau urusan panjang, Amira mengangguk saja lalu berkata, "Iya, Tuan. Lain kali akan saya benarkan, sampai Tuan betul-betul menyebut nama saya dengan benar."
"Sekarang keluar dari sini. Aku sedang tidak mood memberimu hukuman. Tapi ingat, setelah kamu keluar, kamu harus melupakan apa yang kamu lihat tadi. Sedikit saja informasi itu tersebar, kamu benar-benar akan tamat."
"Baik, Tuan. Saya mengerti."
Amira bersiap memutar badan, tapi pandangannya sempat tertumbuk pada sesuatu di leher belakang Arga. Sebuah luka kecil, tampak masih baru. Spontan tangannya terulur.
Arga langsung menepis dengan waspada. Gerakannya antipati. "Kau mau apa?!"
"Ada Luka, Tuan. Di leher belakang. Kecil sih, tapi tetap harus dibersihkan agar tidak infeksi," jelas Amira cepat.
Tanpa menunggu persetujuan, ia segera mencari kotak P3K di sana. Ketemu. Tangannya cekatan, bahkan tanpa banyak bicara ia langsung membersihkan luka itu dengan antiseptik.
Sementara itu, Arga terdiam. Pikirannya baru mengaitkan luka itu dengan kejadian tadi waktu ia spontan menarik anak buahnya dari bahaya. Luka itu bisa jadi dari serpihan kayu atau logam saat insiden itu terjadi.
Ya, gitu-gitu pun, Arga memang tipe bos yang pasang badan kalau anak buahnya terancam. Leadership-nya jelas, meski mulutnya sering ketus.
Amira tidak bicara apa-apa lagi. Hanya memastikan luka dibersihkan dan tidak berdarah. Habis itu, ia buru-buru menutup kembali kotak P3K dan melangkah mundur. Ia sadar, terlalu lama di situ bisa bikin dirinya terlihat seolah mencari perhatian.
"Selesai, Tuan. Saya permisi. Oh iya, tolong bukakan pintunya, Tuan. Saya tidak tahu kode aksesnya."
"Enak saja kamu mau lewat pintu depan. Sini, ikut aku."
Tanpa banyak bicara, Arga menggiring Amira menuju sebuah pintu tersembunyi yang terletak di balik rak buku. Dengan satu sentuhan sidik jarinya, pintu itu terbuka pelan memperlihatkan sebuah jalan yang ternyata tembus langsung ke kamar Tuan Kecil.
Amira ternganga. Jadi selama ini ada jalan rahasia yang menghubungkan kamar Arga dengan kamar anaknya? Padahal, setiap malam ia tidur di sana. Jangan-jangan Tuan Arga sering datang diam-diam tanpa sepengetahuannya. Amira merinding memikirkan kemungkinan itu.
"Tuan, apakah selama ini Tuan suka masuk ke kamar Tuan Kecil di malam hari tanpa memberi tahu siapa pun?"
"Iya."
Refleks, Amira menyilangkan tangan di dada, wajahnya penuh keterkejutan.
"Apa?Jangan mikir yang aneh-aneh. Aku cuma ingin melihat putraku." Seru Arga yang melihat respon terkejut dari Amira.
Amira menghela napas lega. "Syukurlah... Saya cuma khawatir kalau-kalau Tuan datang di saat saya dalam keadaan yang tidak pantas."
"Maksudmu seperti ini?" Arga mengangkat ponselnya, menunjukkan sebuah foto. Amira langsung membelalak, di layar terlihat dirinya tidur lelap dengan mulut menganga lebar.
"Tuan!!" Pipi Amira memerah.
"Diamlah! temui anakku sebelum dia menjerit-jerit mencarimu." Arga langsung tutup pintu.
Begitu pintu rahasia tertutup rapat di belakangnya, Amira mendapati dirinya sudah berada di kamar Tuan Kecil. Aman, tanpa ada yang akan mencurigai bahwa ia baru saja keluar dari kamar Arga. Sementara itu, di kamarnya, Arga tertawa puas lalu berjalan santai ke kamar mandi.
...****...
Tuan Kecil sudah rapi mewangi. Dia sempat ditanya Fitri kemana saja Amira pergi lama sekali, Amira hanya jawab tersasar akibat rumahnya terlalu besar. Fitri percaya saja.
Kemudian Amira yang sambil menggendong Tuan Kecil, menyempatkan melihat kertas jatuh yang sudah ia amankan di dalam buku diary. Dia baca, kemudian matanya membelalak.
.
.
Bersambung.
Sehingga ia tahu, mana yang tulus mana yang modus
#apasih