Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Tiga bulan kemudian...
Anak-anak akhirnya benar-benar menyesuaikan diri. Mereka sudah dipindahkan dan resmi bersekolah di sekolah milik keluarga Issa, sebagai murid prasekolah. Tentu saja, berkat koneksi.
Kini, Dasha sedang menyiapkan sarapan untuk mereka. Mereka pindah ke rumah ini tiga hari setelah tiba di Roma.
Malam itu, segalanya berubah. Seolah waktu memutar balik keadaan mereka dulu. Issa menjadi jauh lebih hangat dan lembut dibanding sebelumnya.
Masalah satu-satunya yang masih menghantui Dasha hanyalah hubungan mereka yang tanpa label. Mereka memang sepakat untuk memulai segalanya dari awal lagi, tapi hingga kini ia belum mendengar satu pun kata tentang status hubungan mereka. Haruskah ia yang bertanya duluan?
“Hey,” suara itu datang dari belakang. Issa memeluknya sementara ia sibuk membalik pancake di atas wajan.
“Hey,” sahut Dasha dengan senyum tipis. “Mau sesuatu?”
“Tidak. Mau aku yang lanjutkan ini supaya kamu bisa siap-siap?” tanyanya ringan.
“Aku sudah selesai, kok. Tolong taruh saja di meja, aku akan panggil anak-anak,” jawab Dasha. Tapi sebelum ia sempat melangkah keluar dapur, Issa terkekeh pelan.
“Anak-anak sudah siap, cantik,” katanya sambil berkedip jahil.
“Dasar, manis di bibir saja,” sahut Dasha dengan gaya pura-pura galak, padahal wajahnya sudah semerah stroberi.
“Hey, itu bukan rayuan,” jawab Issa cepat.
“Iya, iya,” katanya sekadar menutup percakapan, lalu berjalan menuju kamar mereka.
Mereka berbagi kamar yang sama. Berperilaku seperti pasangan suami istri sungguhan. Hanya satu yang kurang: label hubungan.
Haruskah Dasha yang memulai pembicaraan itu?
Ia sedang mandi, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka.
“Boleh aku ikut?” suara Issa memecah suara air.
“Issa! Nanti saja kalau aku sudah selesai,” tegurnya cepat.
“Kamu tahu, cantik... di Italia sedang kampanye hemat air. Jadi lebih baik kita mandi bersama,” ujarnya sambil ikut masuk ke shower.
Dan entah berapa lama mereka di sana, karena mereka berbagi hal lain selain air hangat pagi itu.
**
“Apa yang membuat kalian lama sekali, Mima dan Papa?” tanya Lea kesal ketika mereka akhirnya turun.
“Kami sudah sarapan duluan, soalnya kalian lama sekali. Lea sudah kelaparan, jadi kami memutuskan makan dulu,” timpal Leo sambil melirik adiknya. “Kan Mima tahu kalau Lea tak bisa menahan lapar.”
“Tidak benar itu!” Lea mencibir, lalu menatap mereka berdua dengan polos. “Kenapa lama sekali tadi? Kalian ngapain?”
“Hanya mandi, sayang,” jawab Dasha pelan. Tapi tentu saja, Issa tak bisa diam.
“Siapa tahu nanti kamu punya adik kecil,” ujarnya dengan nada menggoda. Dasha langsung mencubit pinggangnya hingga pria itu mengaduh pelan.
“Diam kamu,” bisiknya dengan mata memperingatkan.
“Oh! Aku mau adik perempuan ya, Papa!” sahut Lea senang. Dasha hanya bisa menutup wajahnya dengan tangan, sudah tahu akan begini jadinya.
“Aku mau adik laki-laki supaya bisa melindungi Lea dari cowok-cowok nakal nanti,” tambah Leo sambil berbisik ke telinga Issa.
“Baiklah, kita semua akan terlambat ke sekolah dan kantor kalau terus bahas ini,” potong Dasha cepat, mencoba menyudahi pembicaraan yang makin liar.
“Kalian tidak makan, Mima dan Papa?” tanya Lea polos.
“Oh, kami sudah sarapan. Dan sarapannya enak sekali, Papa sangat puas,” Issa menambahkan dengan tawa kecil. Ia bahkan sempat menyingkir cepat karena tahu Dasha pasti akan mencubitnya lagi.
“Senang mendengarnya, Papa! Yuk, berangkat!” sahut Lea riang, tanpa sadar makna tersembunyi di balik kata-kata ayahnya.
Anak-anak berlari duluan keluar, sementara Dasha sengaja berjalan belakangan. Ia menarik tangan Issa pelan dan berbisik tajam,
“Berhenti bikin ulah, ya. Kalau tidak, lihat saja nanti.”