Sejak malam pernikahan, Clara Wu telah diracun oleh pamannya—racun yang membuatnya hanya bisa bertahan hidup lewat penawar yang diberikan setiap minggu.
Namun setiap kali penawar itu datang, bersamanya hadir obat perangsang yang memaksa tubuhnya menjerit tanpa kendali.
Tak sanggup menanggung hasrat yang dipaksakan padanya, Clara memilih menyakiti diri sendiri, melukai tangannya agar tetap sadar.
Tiga tahun ia bertahan dalam pernikahan tanpa cinta, hingga akhirnya diceraikan dan memilih mengakhiri hidupnya.
Ketika Adrian Zhou kembali dari luar negeri dan menemukan kebenaran tentang siksaan yang dialami istrinya, hatinya hancur oleh penyesalan.
Apakah Adrian akan mampu mencintai istri yang selama ini ia abaikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Keesokan harinya.
Rumah sakit pagi itu tampak sibuk, suara langkah kaki perawat yang berlalu-lalang, suara mesin infus berdentik halus, dan aroma disinfektan yang menusuk hidung.
Andrian berdiri di lobi bersama Kane. Wajahnya tampak pucat, namun sorot matanya tajam dan penuh beban pikiran.
“Tuan,” ujar Kane sambil menghampiri dengan langkah tergesa, “tabib yang meracik racun telah ditemukan. Saya sudah memintanya meracik penawar untuk Nyonya. Dia meminta waktu seminggu untuk menyiapkannya. Anggota kita sedang mengawasinya, dia tidak akan bisa kabur.”
Andrian diam sejenak, matanya menatap lurus tanpa ekspresi. “Suruh dia telan penawarnya dulu sebelum diberikan kepada Clara,” katanya dingin.
“Baik, Tuan.” Kane mengangguk, lalu menatap Andrian hati-hati. “Setelah ini… apa rencana kita terhadap mereka? Keluarga Wu sudah mulai lemas dan pucat. Mereka menjerit sepanjang malam di dalam kandang itu.”
Andrian menoleh perlahan, suaranya dalam dan penuh tekanan. “Clara dikurung selama dua hari,” katanya pelan namun tajam, “kita kurung mereka dua hari juga. Beri mereka minuman, pastikan mereka tidak mati. Aku ingin mereka merasakan apa yang dirasakan Clara… penderitaan yang mematahkan tubuh dan jiwa.”
Kane menunduk. “Baik, Tuan.”
“Tuan, lebih baik Anda pulang dulu istirahat. Beberapa hari ini Anda tidak tidur dengan baik sama sekali. Kata dokter, Tuan harus banyak istirahat dan jangan tertekan lagi,” ujar Kane dengan nada khawatir.
“Clara belum sadar. Mana mungkin aku bisa tidur nyenyak? Dia merasa tidak aman dan putus asa. Aku ingin di sampingnya. Ingin membuatnya merasa aman dan dilindungi. Aku ingin menyembuhkan dia, baik dari fisik maupun luka batinnya.”
Di sisi lain…
Clara perlahan membuka matanya. Pandangannya masih buram, lampu kamar rawat tampak terlalu terang. Suara alat monitor di samping ranjang berdetak perlahan mengikuti irama jantungnya.
Seorang dokter dan dua suster tengah memeriksa kondisinya. Wajah Clara mulai tampak segar, tapi matanya kosong — tanpa ekspresi, seperti seseorang yang baru saja kehilangan arah hidupnya.
“Nyonya, apakah Anda merasa ada yang tidak nyaman?” tanya dokter dengan lembut.
Clara menatap langit-langit sebentar sebelum menjawab pelan, “Siapa yang membawaku ke rumah sakit?”
“Seorang warga yang tinggal di tepi pantai,” jawab dokter itu. “Dia datang bersama nelayan yang menyelamatkan Anda.”
Clara menghela napas berat, lalu dengan spontan mencoba mencabut jarum infus di tangannya.
Suster segera menahan dengan lembut, wajahnya panik.
“Nyonya, jangan lakukan itu,” ujar dokter cepat. “Obat itu sedang bekerja untuk menghilangkan efek obat yang masih ada di tubuh Anda.”
Clara menatap jarum infus itu dengan tatapan putus asa. “Seharusnya kalian menyuntikku mati saja,” katanya lirih. “Bukan menyelamatkanku.”
Suara itu menusuk ruang yang sebelumnya tenang. Suster menunduk, dan dokter menatapnya penuh simpati.
“Nyonya, jangan bicara seperti itu. Kami akan berusaha menyelamatkan Anda,” ucap dokter dengan suara menenangkan.
Clara menggeleng pelan, air mata mulai menetes dari sudut matanya. “Apakah dokter bisa mendeteksi racun di dalam tubuhku? Aku akan kesakitan lagi kalau tanpa penawarnya…” suaranya gemetar, “tapi aku tidak mau lagi penawarnya. Aku ingin berhenti dari semua ini.”
Dokter menarik napas panjang. “Walau kami belum bisa memastikan jenis racunnya,” katanya hati-hati, “kami akan berusaha mengurangi rasa sakitnya, Nyonya. Suami Anda ada di rumah sakit juga. Dia akan datang sebentar lagi.”
Clara terdiam. Wajahnya berubah tegang, matanya berkaca-kaca. “Suamiku?” tanyanya dengan suara pelan, hampir tak percaya. “Mana mungkin dia ada di sini…”
Suster yang tadi berdiri di samping tempat tidur ikut bicara dengan lembut, “Nyonya, beberapa hari ini Bibi Shu yang menjaga Anda. Suami Anda, Tuan Zhou, juga tinggal di kamar ini selama Anda belum sadar.”
Clara menatap suster itu tajam, seperti tidak percaya pada apa yang baru didengarnya. “Bibi Shu?” gumamnya lirih.
“Benar, Nyonya,” jawab suster itu sambil tersenyum kecil. “Bibi Shu selalu memijat tangan dan kaki Anda. Dia menemani Anda dari pagi hingga sore, lalu digantikan oleh Tuan Zhou hingga pagi hari.”
Clara menatap langit-langit kamar, pikirannya kacau. “Bagaimana mungkin… Bibi Shu bisa di sini? Dan kenapa Andrian bisa menjagaku? Apa yang sebenarnya terjadi?” batinnya berputar, penuh tanda tanya dan perasaan yang bercampur sedih, dan bingung.
Namun ketenangan itu seketika pecah.
“Aaahhh!” jerit Clara tiba-tiba. Tubuhnya melengkung kesakitan, tangannya memegangi perut, wajahnya menegang menahan rasa nyeri yang luar biasa.
“Cepat tahan tangannya!” seru dokter yang langsung sigap menghampiri.
Dua suster menahan tubuh Clara yang menggeliat hebat di atas ranjang.
“Racunnya mulai bereaksi lagi!” ujar dokter panik. Ia mengambil suntikan dan menyuntikkan cairan penenang ke lengan Clara.
Namun rasa sakit itu tak juga reda. Clara masih menjerit dan air matanya mengalir deras.
“Aaahh… tolong… suntikan mati…” suaranya parau, wajahnya pucat seperti kehilangan darah.
“Tekanan darahnya turun!” kata salah satu suster dengan nada khawatir.
Saat itulah, pintu kamar terbuka cepat.
Begitu melihat istrinya menggeliat kesakitan, Andrian berlari mendekat.
“Clara!” serunya, menatap wajah wanita itu dengan mata penuh kecemasan.
“Tuan, ini penawarnya!” kata Kane, menyerahkan botol kecil di tangannya.
Andrian mengambilnya tanpa pikir panjang. “Cepat, Clara… telan ini!” katanya sambil membuka tutup botol dan menyorongkan obat itu ke bibir istrinya.
Suster segera menyodorkan segelas air. Dengan tangan gemetar, Andrian membantu Clara meneguk obat itu perlahan.
Clara hampir tak sanggup menelan, tapi dengan sisa tenaganya ia berusaha menuruti suaminya.
Beberapa detik terasa sangat panjang. Napas Clara tersengal, tubuhnya masih bergetar, tapi perlahan—perlahan sekali—wajahnya mulai tenang.
“Tekanan darah mulai naik,” ucap suster setelah memeriksa alat di sisi ranjang.
Dokter menarik napas lega. “Penawarnya bekerja. Tapi ini hanya untuk sementara waktu. Jika racun itu masih tersisa di tubuhnya, serangan seperti ini bisa terjadi lagi kapan saja.”
Andrian memeluk dan menatap Clara dengan tatapan dalam, lalu mengusap peluh di dahinya dengan lembut.
“Clara… aku tidak akan membiarkan ini terjadi lagi. Aku janji, racun ini akan hilang dari tubuhmu selamanya. Kita hanya perlu menunggu seminggu lagi,” bisiknya lirih.