Fahira Azalwa, seorang gadis cantik yang harus menelan pahitnya kehidupan. Ia berstatus yatim piatu dan tumbuh besar di sebuah pesantren milik sahabat ayahnya.
Selama lima tahun menikah, Fahira belum juga dikaruniai keturunan. Sementara itu, ibu mertua dan adik iparnya yang terkenal bermulut pedas terus menekan dan menyindirnya soal keturunan.
Suaminya, yang sangat mencintainya, tak pernah menuruti keinginan Fahira untuk berpoligami. Namun, tekanan dan hinaan yang terus ia terima membuat Fahira merasa tersiksa batin di rumah mertuanya.
Bagaimana akhir kisah rumah tangga Fahira?
Akankah suaminya menuruti keinginannya untuk berpoligami?
Yuk, simak kisah selengkapnya di novel Rela Di Madu
By: Miss Ra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 19
Malam harinya, Zidan baru saja pulang setelah seharian pergi sejak pagi. Fahira sempat menghubungi ponsel suaminya itu, tetapi tidak aktif. Akhirnya ia meminta tolong pada Viola untuk menghubungi Zidan, dan hasilnya pun sama saja.
"Assalamualaikum!" ucap Zidan saat memasuki kamarnya bersama Fahira.
"Waalaikumsalam. Ya Allah, Bang, Abang ke mana saja? Kenapa jam segini baru pulang?" tanya Fahira khawatir sambil menyalami suaminya.
"Aku mandi dulu," sahutnya dingin tanpa menjawab pertanyaan istrinya, lalu segera masuk ke kamar mandi.
Fahira mengerutkan kening melihat sikap Zidan yang berubah dingin. "Bang Zidan kenapa? Tumben dia bersikap seperti itu," gumamnya lirih.
Fahira tahu, suaminya sedang stres. Ia segera membereskan kasur, siapa tahu Zidan ingin beristirahat. Setelah itu, ia menyemprotkan aroma terapi agar kamar terasa lebih segar untuk Zidan.
Tak lama, Zidan keluar dari kamar mandi. Fahira menoleh dan menerima handuk basah yang diberikan suaminya.
"Abang sudah makan malam?" tanya Fahira.
"Sudah," sahutnya singkat.
Fahira menaruh handuk di tempatnya, lalu menghampiri suaminya yang duduk di sofa sambil memainkan ponsel. Ia mengusap punggung Zidan dengan lembut.
"Abang mau kopi atau teh? Biar Aira buatkan," tawarnya lagi.
"Hufft-- buatkan aku kopi tanpa gula, yang sangat panas."
Fahira tersenyum. Ia tahu betul cara menghadapi suaminya bila sedang ada masalah, hanya dengan kelembutan dan kesabaran.
"Baiklah, Abang tunggu di sini sebentar, ya?"
Zidan mengangguk dan merebahkan diri di sofa, menaruh lengannya di atas kening. Ia menatap langit-langit kamar, terus berpikir. Entah apa yang dipikirkannya, yang pasti Zidan hanya butuh sendiri dan ketenangan.
Tak lama, kopi yang ia minta telah datang. Fahira menaruhnya di atas meja dan duduk di sofa, lalu memijat kaki suaminya dengan lembut.
"Abang capek? Biar Aira pijit, ya?"
Zidan menatap Fahira dengan intens. Ia bangkit, merapatkan tubuhnya, lalu memeluk istrinya erat-erat. Hal itu membuat Fahira semakin bingung dengan sikap suaminya.
"Abang kenapa? Mau cerita? Aira siap mendengarkan keluh kesah Abang," ujarnya sambil mengusap punggung Zidan dengan lembut.
"Tidak, Abang hanya ingin ketenangan saja," sahutnya, melepaskan pelukan dan meraih kopi buatan Fahira.
Zidan meminum kopi itu dalam diam, tampak serius berpikir. Namun lamunannya buyar ketika terdengar suara ketukan di pintu.
Tok--- tok--- tok---
Fahira menatap Zidan sejenak, lalu berdiri dan membuka pintu. Ia melihat madunya berdiri di depan.
"Mbak, Tuan Zidan ponselnya masih tidak aktif. Apa kita mau cari ke luar?" tanya Viola.dengan wajah khawatir.
Fahira tersenyum simpul. "Bang Zidan sudah pulang, Vio. Dia sedang istirahat sekarang."
Viola melongokkan kepala ke dalam kamar dan benar saja, Zidan sudah pulang.
"Oh begitu. Kenapa kau tidak mengabariku? Jadi kan aku tidak khawatir!" ucapnya sedikit kecewa.
"Iya, maaf. Aku belum sempat mengabarimu, karena sedang melayani Bang Zidan lebih dulu," jawab Fahira.
"Baiklah, kalau begitu aku tidur duluan, ya. Good night, Mbak. Good night, Tuan Zidan."
Fahira hanya tersenyum, sementara Zidan mengangguk dari dalam. Viola pun kembali menaiki tangga menuju kamarnya. Setelah itu, Fahira menutup pintu dan menguncinya.
Pagi harinya, seperti biasa, Fahira menyiapkan sarapan untuk keluarga Zidan. Ia memasak beberapa menu agar suaminya bisa makan banyak.
"Selamat pagi, Mbak. Kau sedang masak apa?" tanya Viola tiba-tiba dari belakang, membuat Fahira sedikit terkejut.
"Pagi juga, Viola. Aku sedang membuat ayam bakar mentega, kesukaan Bang Zidan," jawabnya sambil tersenyum.
"Waaah, pasti enak tuh. Boleh aku bantu? Bantu habiskan maksudnya," ujar Viola sambil terkekeh.
Fahira tersenyum lebar mendengar candaan madunya. Kegiatan keduanya diamati oleh Ibu Zubaidah yang duduk di ruang keluarga. Bu Zubaidah sudah berjanji pada putranya untuk tidak lagi mengusik kedua istrinya, dan ia berusaha menepati hal itu.
Zidan yang baru keluar dari kamar melihat pemandangan di dapur itu, lalu tersenyum. Ia menoleh ke arah ibunya yang sedang duduk di ruang keluarga menonton TV, dan memutuskan menghampirinya.
"Selamat pagi, Bu," ucap Zidan sambil memeluk bahu ibunya dan mengecup pipinya singkat.
"Selamat pagi, Nak. Kau akan pergi ke kantor hari ini?" tanya Bu Zubaidah.
\*Iya, Bu. Ibu mau dibawakan apa kalau Zidan pulang nanti?" sahut Zidan.
"Ibu sedang ingin buah segar. Tapi yang paling ibu ingin itu, apel merah," katanya sambil mengusap pipi putranya lembut.
"Baiklah, nanti Zayn bawakan."
"Bang, sarapannya sudah siap! Ibu, ayo kita sarapan. Semuanya sudah matang!" seru Fahira dari dapur.
Zidan dan ibunya menoleh bersamaan, menatap Fahira yang berdiri sambil tersenyum.
Zidan mengangguk dan menatap ibunya. "Ayo, Bu, kita sarapan."
Bu Zubaidah tersenyum dan bangkit berdiri. Zidan memeluk bahunya, berjalan beriringan menuju meja makan. Ia merasa sedikit bersalah karena semalam sempat berbicara kasar pada ibunya, tapi kini hatinya lega. Setidaknya, ibunya sudah tidak lagi mengusik dua menantunya.
Di meja makan, Fahira melayani Zidan, sementara Viola melayani ibu mertuanya. Namun Zidan tidak melihat Eva di meja makan, hingga ia bertanya pada ibunya.
"Apa Eva masih tidur, Bu?"
"Iya, semalam dia bilang hari ini berangkat siang ke kampus," jawab wanita paruh baya itu.
Viola dan Fahira hanya menyimak percakapan ibu dan anak itu di hadapan mereka.
"Tuan Zidan, apa aku boleh pergi keluar hari ini?" tanya Viola sambil menyuapkan makanan ke mulutnya.
"Rose, bisa tidak kau panggil aku selain 'Tuan'? Aku bukan majikanmu, aku suamimu."
"Uhuk--uhuk--uhuk!"
Fahira tersedak mendengar ucapan Zidan yang menyebut dirinya suami dari wanita yang dulunya berasal dari dunia malam. Zidan segera bangkit, mengambil air minum, dan memberikannya pada Fahira.
"Pelan-pelan kalau makan, Sayang," ujarnya sambil mengusap punggung istrinya lembut.
"Maaf, aku tersedak daging ayam yang terlalu besar di mulutku," jawab Fahira gugup.
Bu Zubaidah yang melihat dua menantunya terus membuat drama di depan Zidan hanya mendengkus kesal. Ingin rasanya ia bicara ketus pada Fahira, tapi ia urungkan.karena tak ingin kembali bertengkar dengan putra kesayangannya itu.
Viola lalu menatap piringnya sejenak, ragu-ragu. Tapi kemudian ia menarik napas pelan, mencoba memberanikan diri.
"Abang--" ucapnya pelan, hampir berbisik.
Seketika suasana meja makan menjadi beku. Zidan yang sedang duduk kembali sontak menoleh ke arahnya, sedikit terkejut namun ada senyum kecil terselip di sudut bibirnya. Sementara itu, Fahira langsung meletakkan sendoknya. Bu Zubaidah pun ikut menoleh.
"Apa yang baru saja kau panggil?" tanya Fahira dengan nada pelan namun, menatap Viola tajam.
Viola tersentak, tapi mencoba tetap sopan. "Aku hanya memanggilnya Abang. Bukankah tadi beliau bilang aku jangan panggil Tuan? Jadi aku--"
"Itu panggilanku untuknya!" potong Fahira cepat, suaranya bergetar menahan emosi. "Kau cukup panggil dia dengan sebutan yang lain. Jangan meniruku." lanjut Fahira.
Zidan mendengus pelan, kali ini mulai kehilangan sabar. "Fahira,"
"Bang! Aku---"
"Sudah ya.. Jangan berdebat." ucap Zidan sedikit tegas. "Dan kamu, Viola. Panggil aku Mas. Tidak ada yang salah dengan itu, kan?"
Fahira menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca, namun Zidan tidak bergeming. Ia lalu menunduk dan berusaha menahan air mata yang hampir jatuh.
Sementara itu, Viola kembali menunduk, merasa bersalah. "Maaf, aku tidak bermaksud menyinggung siapa pun. Aku hanya-- tidak tahu harus memanggil dengan sebutan apa."
Zidan menghela napas, lalu menatapnya lembut. "Tidak apa-apa. Aku tidak keberatan dengan panggilan itu. Fahira, sayang. Maafkan aku, ya?" lanjutnya dan Fahira tersenyum simpul yang dipaksakan.
...----------------...
**Bersambung**....
ko jadi gini y,,hm
jalan yg salah wahai Zidan,emang harus y ketika kalut malah pergi k tempat yg gak semestinya d datangi,Iyu mah sama aja malah nyari masalah..
dasar laki laki
drama perjodohan lagi