Sang Pewaris Giok Tersembunyi

Sang Pewaris Giok Tersembunyi

Lian

Udara di Desa Lingshan adalah Qi yang membeku. Itu adalah sebuah anomali spiritual, sebuah berkah yang diturunkan dari Langit hanya untuk Klan Giok Putih. Seluruh desa dikelilingi oleh Pegunungan Giok Putih yang puncaknya abadi diselimuti salju, tetapi di lerengnya, kabut spiritual tebal mengepul setiap hari, membawa esensi murni yang dapat diserap oleh kultivator mana pun untuk memperkuat diri.

Di sinilah, setiap pagi, kehidupan dimulai dengan keheningan meditasi. Anak-anak dan orang dewasa duduk bersila di halaman, menghirup energi langit dan bumi, membiarkan aliran Qi membersihkan meridian dan mengisi Dantian mereka.

Namun, Lian—seorang remaja dengan mata setajam elang dan postur tubuh yang terlalu kaku—tidak pernah menjadi bagian dari ritual sakral ini.

Saat sinar matahari keemasan pertama menyaring kabut pagi, menembus lapisan-lapisan pepohonan Giok berusia seribu tahun, Lian tidak berada di halaman klan. Ia berada di tempat rahasianya: Puncak Batu Rusak, sebuah formasi batu kapur yang curam di belakang kompleks klan utama. Di sana, di bawah langit yang cerah, ia tidak mencari meditasi. Ia mencari rasa sakit.

Ia bertelanjang dada, otot-ototnya yang terbentuk keras menonjol seperti pahatan kayu tua. Ia memikul dua karung pasir basah yang masing-masing beratnya melebihi beban karung beras biasa, lalu mulai menaiki Puncak Batu Rusak dengan langkah lambat namun tanpa henti. Setiap langkah adalah derit dari sendi dan tarikan napas kasar yang terasa membakar paru-parunya.

Ini adalah Latihan Tubuh Besi, teknik bela diri fana yang ia temukan dari gulungan usang di perpustakaan klan yang tidak dianggap penting. Ini adalah jalan bagi mereka yang ‘Tidak Mampu’. Karena Dantiannya kosong, ia bersumpah untuk menjadikan tubuhnya sendiri benteng yang tak tertembus, setidaknya agar ia bisa mati dengan bermartabat di dunia yang hanya menghargai Qi.

Enam ratus satu... enam ratus dua...

Hitungannya bukan untuk napas, melainkan untuk jumlah langkah yang diulanginya di jalur pendakian curam itu. Otot kakinya gemetar, lehernya kaku, dan keringatnya mengalir turun seperti sungai kecil, membawa serta debu dan sedikit darah dari gesekan tali karung di bahunya.

Lian berusia tujuh belas tahun. Menurut standar klan, ia seharusnya sudah berada di Tahap Awal Pembentukan Inti, menggunakan Qi untuk melompat tinggi melintasi puncak-puncak gunung dan melindungi klan. Sebaliknya, ia hanyalah seorang fana—seorang Tanpa Akar.

Kata-kata itu, "Tanpa Akar," adalah racun yang merayap ke dalam setiap interaksi, setiap tatapan, dan setiap desahan di Desa Lingshan.

“Sungguh kasihan,” desah seorang tetua di masa lalu. “Anak yang bersemangat, tetapi Dantiannya hanyalah sebuah lubang kosong.”

“Dia mungkin memiliki tubuh yang kuat, tetapi di hadapan satu jari Kultivator Fondasi Qi, ia hanya akan menjadi debu.”

Bahkan orang tuanya—yang ia cintai dan yang berusaha mati-matian menyembunyikan rasa kecewa mereka—tidak bisa membantunya. Mereka telah menghabiskan setiap Pil Pemurni Qi yang mereka miliki untuk Lian, berharap dapat membuka Dantiannya. Pil yang harganya setara dengan biaya hidup sebuah keluarga selama setahun, semuanya sia-sia.

Lian berhenti di puncaknya, melemparkan beban karung ke tanah. Debu menyembur, dan ia ambruk di atas batu yang terasa dingin menusuk. Jantungnya berdebar kencang seperti drum perang, dan ia harus menunggu beberapa menit hanya untuk menstabilkan pernapasan.

Ia menatap ke bawah. Desa Lingshan terlihat damai, seperti mosaik genteng biru tua dan pepohonan hijau yang subur, berpusat di sekitar Balai Leluhur yang megah. Di sekitar Balai, aura Giok Putih memancar paling terang, menandakan konsentrasi Qi yang melimpah. Energi itu, yang bagi orang lain terasa hangat dan mengundang, bagi Lian terasa seperti dinding kaca yang dingin—ia bisa melihatnya, merasakannya di udara, tetapi tidak bisa mengambilnya.

Ia mencoba lagi.

Ia memaksakan diri untuk duduk bersila, meniru postur meditasi yang ia lihat setiap hari. Ia mencoba menjernihkan pikiran, mencari sensasi Qi yang seharusnya mengalir masuk melalui pori-porinya.

Rasakan, Lian. Rasakan panasnya. Rasakan energi yang menari di udara.

Sepuluh menit berlalu. Tidak ada. Hanya kekosongan yang dingin, sebuah kehampaan yang terasa seperti gurun beku di tengah dadanya. Itu bukan hanya kurangnya energi; itu adalah penolakan mutlak oleh alam semesta kultivasi.

Frustrasi itu lebih tajam daripada karung pasir yang menggores bahunya. Jika ia bisa kultivasi, ia akan menguasai teknik pedang yang indah; ia akan melindungi klan seperti yang diinginkan ayahnya; ia akan mengakhiri tatapan iba di mata ibunya.

Ia membuka mata.

"Kamu terlihat seperti ingin menangis, Lian."

Suara itu datang dari Jin.

Jin, sepupu Lian, telah melompat dari pepohonan di bawah. Ia tidak berjalan; ia terbang naik dengan dorongan Qi kecil dari kakinya. Ia mendarat dengan anggun, jubah sutra birunya berkibar pelan. Di tangannya, tergantung Pedang Giok Lapis Emas, yang memancarkan cahaya spiritual samar. Jin baru enam belas tahun, tetapi sudah berada di Tahap Menengah Fondasi Qi—sebuah bakat yang diakui klan.

"Kenapa kamu harus datang ke sini, Jin?" Lian berbicara, suaranya kembali dingin. Ia berdiri, memanggul karung pasirnya sebagai cara untuk menutupi tubuhnya yang kelelahan.

Jin tersenyum, senyum yang bagi Lian terasa lebih tajam daripada ujung pedang. "Para Tetua memintaku mencarimu. Mereka khawatir kamu akan kelelahan sebelum Penilaian hari ini. Kasihanilah dirimu, sepupu. Pertunjukan sirkus mengangkat bebanmu ini tidak akan membantu apa-apa."

"Ini adalah latihan," balas Lian. "Di dunia fana, kekuatan ini yang disebut kelangsungan hidup."

"Tapi kita tidak hidup di dunia fana," potong Jin, melangkah maju, Pedang Gioknya sedikit bergoyang. "Kita hidup di dunia kultivasi. Sebuah pedang Qi akan memotong otot besarmu seolah itu hanya tahu. Kekuatan fana melayani Qi, bukan sebaliknya. Mengapa kamu keras kepala sekali?"

Lian menatap lurus ke mata Jin. "Aku tidak keras kepala. Aku beradaptasi. Jika Surga menolak memberiku jalan, aku akan mengukir jalan lain dengan tanganku sendiri. Sementara kamu bergantung pada pil dan jubah bagus, aku tahu bagaimana rasanya harus berjuang untuk setiap langkah."

"Dan perjuangan itu akan membawamu ke ladang klan sore ini," cibir Jin, tatapannya menyapu tubuh Lian yang berkeringat dan berlumuran debu. "Penilaian Klan. Itu bukan tentang kemauan, Lian. Itu tentang potensi spiritual. Besok, kamu harus berdiri di depan semua orang dan menunjukkan Dantianmu yang kosong."

Penilaian. Itu adalah ritual klan yang dilakukan setiap tiga tahun, di mana sebuah Kristal Penilaian Giok Putih digunakan untuk mengukur konsentrasi Qi di Dantian setiap anggota muda. Kristal itu akan bersinar terang bagi mereka yang berbakat dan tetap gelap bagi mereka yang tidak berguna.

"Apa yang akan kamu lakukan, Lian?" tanya Jin, nadanya lebih mengejek sekarang. "Apakah kamu akan memohon Tetua untuk memberimu pekerjaan mudah? Atau apakah kamu akan lari?"

Kata "lari" itu menusuk Lian. Itu adalah ketakutan terbesarnya. Ia tidak takut pada pertarungan; ia takut pada rasa malu dan pengasingan.

“Aku akan hadir,” jawab Lian tegas, meskipun setiap serat keberaniannya menuntutnya untuk melarikan diri ke hutan selamanya. “Aku akan hadir dan menerima apa pun yang diputuskan klan.”

Jin menghela napas, pura-pura kecewa. "Sayang sekali. Aku berharap kamu setidaknya bisa mencapai Tahap Fondasi Qi agar kamu bisa menjadi target latihan yang layak untukku. Tapi sepertinya aku harus berpuas diri dengan mencarikanmu sehelai pakaian bersih untuk Penilaian. Jangan sampai kamu mengotori aula dengan keringat fana-mu."

Jin dengan angkuh melipat tangan, tubuhnya memancarkan aura Qi yang samar—sebuah demonstrasi kekuatan yang tidak perlu. Lian hanya mengepalkan tinjunya, merasakan ototnya menegang hingga ke batasnya. Ia tidak membalas dengan kata-kata. Ia hanya mengangkat karung pasir yang berat itu sekali lagi, memaksakan diri untuk melakukan dua putaran pendakian lagi.

“Aku tidak butuh belas kasihanmu,” kata Lian seraya berbalik, punggungnya yang penuh bekas luka dan otot yang kencang membelakangi Jin.

Jin, yang merasa bosan karena provokasinya tidak berhasil, akhirnya pergi dengan dorongan Qi lainnya. Suara dengusan kasarnya menghilang bersama embun pagi.

Lian membiarkan dirinya jatuh kembali ke batu setelah menyelesaikan putaran tambahan, kakinya terasa seperti timah panas. Ia memandang ke arah Pegunungan Giok Putih yang membentang tak terbatas ke timur. Di balik puncak-puncak itu, tersembunyi kekaisaran dan faksi yang bahkan tidak bisa diimpikan oleh Klan Giok Putih.

Jika hari ini adalah hari penghakimanku, batin Lian, maka aku akan berdiri tegak sebagai seorang fana yang tidak pernah menyerah pada takdir yang diberikan Surga.

Ia tahu Penilaian akan menjadi hukuman mati sosialnya. Ia akan kehilangan akses ke sumber daya, kemungkinan besar akan dikirim ke perbatasan yang berbahaya, atau lebih buruk lagi, hanya menjadi buruh tani. Ini adalah ambang batas antara masa depan dan kehancuran.

Lian menghabiskan beberapa jam lagi untuk memukul tiang kayu keras yang ia tanam di dekat tempatnya berlatih. Pukulan-pukulannya kini bisa membuat kayu itu berderak, dan tangannya, meskipun kasar dan penuh kapalan, terasa seperti besi panas. Baru setelah bayangan gunung mulai memanjang dan matahari mencapai titik puncaknya, ia memutuskan untuk turun

Saat ia melompati batu-batu, ia merasakan getaran aneh dari tanah, getaran yang lebih dalam dari gempa bumi kecil, seolah-olah sesuatu yang besar di bawah sana sedang bergerak, atau lebih tepatnya, menghela napas.

Lian mengabaikannya. Itu mungkin hanya angin yang datang dari jurang. Ia tidak punya waktu untuk halusinasi. Ia harus membersihkan dirinya dan menghadapi takdir yang sudah digariskan klan.

Tanpa ia sadari, di kedalaman paling gelap dan paling tertekan di Pegunungan Giok Putih, di mana urat Qi bumi bertemu dengan esensi kosmik, getaran itu bukanlah angin. Itu adalah tanda bahwa segel telah melemah, dan Giok Tersembunyi sedang terbangun, ditarik oleh satu-satunya hal yang ia butuhkan: tekad fana yang menolak takdir.

Sementara Lian berjalan kembali menuju desa, siap untuk menghadapi rasa malu, di kejauhan, di luar perbatasan kabut spiritual klan, mata-mata berbaju hitam dari Sekte Bayangan sedang mengamati. Malam Penilaian akan menjadi malam paling berdarah bagi Desa Lingshan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!