perjalanan wanita tangguh yang sejak dalam kandunganya sudah harus melawan takdirnya untuk bertahan hidup
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adiwibowo Zhen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di beri nama LARASHATI di iringi dua auman macan misterius
Langit senja mulai merajut warna jingga dan ungu di ufuk barat, menyirami jalan berdebu dengan cahaya temaram yang sendu. Di ujung jalan, muncul seorang bapak muda dengan langkah ringan dan wajah berseri bak purnama di malam kelima belas. Dialah Manto, yang pulang dengan sebuah harta karun yang baru saja diperolehnya.
Di genggamannya yang erat, sebuah benda berwarna perak memantulkan sisa-sisa cahaya mentari. Thermos itu dipegangnya seperti piala kemenangan, meski harganya setara dengan kebutuhan satu Rukun Tetangga selama sebulan penuh. Namun baginya, benda yang hanya mampu menampung tujuh gelas air ini adalah sebuah keajaiban yang tak ternilai.
"Dunia memang penuh keanehan," gumamnya dalam hati sambil mempercepat langkah.
"Tiiii...!" teriaknya dari depan pagar, suaranya menggema penuh semangat, seolah melupakan bagaimana dirinya sempat membeku seperti cicak yang terkena tembakau saat mendengar kabar buruk malam sebelumnya.
Dari dalam rumah, Yati muncul dengan bayi mungilnya yang terlelap dalam gendongan. "Ada apa, Mas?" tanyanya, alisnya berkerut melihat kegembiraan tak lazim suaminya.
"Lihat ini, Ti!" Manto mengangkat thermos tinggi-tinggi.
Yati memandang takjub pada benda aneh itu. "Apa itu, Mas?"
"Hehehe," Manto tertawa riang melihat kebingungan istrinya. "Ini namanya thermos, Ti. Bisa menyimpan air panas sampai seharian penuh. Kamu tahu apa artinya?"
Mata Yati berbinar seperti kunang-kunang di kegelapan. "Mas, kau tidak bohong? Ada benda seperti itu? Dari mana kau dapatkan?"
"Dari kapal tanker luar negeri, tadi di pelabuhan saat aku mengawasi pengisian minyak!"
"Artinya... kita tak perlu khawatir lagi air di botol kaca sudah dingin ketika bayi kita menangis di tengah malam?"
"Benar sekali, Ti!"
Kegembiraan mereka menyatu dalam pelukan hangat, sejenak mengusir bayang-bayang kesulitan yang selama ini membelit mereka.
Tujuh hari berlalu dalam kedamaian. Di teras rumah yang sama, senja kali ini menyaksikan sebuah perkumpulan keluarga. Mbah Dalisah, Mbok Yam, Yati, Manto, Mbah Sirod, dan Mbah Rotib duduk melingkar, ditemani secangkir teh dan senja yang semakin kelam.
"Mas," Yati memecah keheningan dengan suara lembut. "Anak kita mau diberi nama apa? Sudah tujuh hari, seharusnya dia punya nama."
Manto mengerutkan kening, pikirannya menerawang. "Baiknya diberi nama apa, ya..." gumamnya lirih.
Namun sebelum sempat ia melanjutkan, suara Mbah Dalisah memotong bagai pisau tajam. "Jangan buru-buru diberi nama! Lagipula kita tak tahu apakah bayi itu akan bertahan hidup atau tidak. Tunggu sampai seratus hari saja."
Ucapan itu mengguncang hati Manto dan Yati bagaikan gempa. Rasanya seperti ditusuk jarum halus yang tak terlihat. Sekali lagi, cobaan datang, sekali lagi penghalang menghadang.
"Mbah," suara Yati bergetar, "kenapa Mbah bicara begitu? Ucapan adalah doa. Apakah Mbah mendoakan anakku mati? Apa salah bayi ini, Mbah? Bahkan untuk sekadar memiliki nama saja dipersulit? Dalam kandungan dihantui kanker, lahir sebelum waktunya, dan kini untuk punya nama pun harus menunggu seratus hari? Kenapa dunia ini begitu kejam pada bayi yang belum tahu merah dan putih?"
Air mata Yati mengalir deras. "Nak, ingatlah kelak... tunjukkan pada mereka yang merendahkanmu bahwa kau istimewa, bahwa kau bisa melebihi anak-anak mereka yang lahir normal! Agar orang-orang picik itu sadar, hidup dan mati manusia adalah milik Tuhan!"
Dengan langkah gemetar, Yati berbalik dan masuk ke dalam rumah, tangisnya tersedu-sedu.
Mbah Dalisah mendengus keras. "Dasar bocah bau kencur! Dikasih tahu yang baik malah marah!"
Melihat ini, Mbah Sirod mengerutkan kening. "Sudah, tidak seharusnya kau bicara begitu. Mau bagaimanapun, itu anak Yati. Kau tak berhak mencampuri urusan mereka!"
Mendengar teguran suaminya, Mbah Dalisah mendengus lagi, lalu berjalan pergi dengan langkah kesal.
Suasana menjadi senyap dan canggung. Mbah Sirod kemudian memandang Mbok Yam, Mbah Rotib, dan Manto dengan penuh penyesalan. "Maafkan istriku," katanya pelan sebelum berpamitan pulang, menyusul istrinya.
Setelah Mbah Sirod pergi, suasana di teras rumah menjadi sunyi. Mbok Yam segera menyusul Yati yang masih terisak di kamar. Ditemukannya sang anak duduk di tepi tempat tidur, air matanya membasahi pipi bayi yang sedang terlelap dalam pelukannya.
"Ti, kamu baik-baik saja?" tanya Mbok Yam lembut, duduk di samping putrinya. "Jangan terlalu dipikirkan perkataan Mbah Dalisah. Begitulah kadang caranya berbicara, tapi sebenarnya hatinya baik."
"Terserah, Mbok. Aku tidak peduli," jawab Yati singkat, nadanya masih bergetar oleh amarah yang tersisa.
Mbok Yam menghela napas, lalu sebuah ide terlintas di benaknya. "Bagaimana kalau begini saja? Malam ini kita buat bubur merah putih, dan kita beri nama bayi ini. Hanya kita yang tahu, dan kita umumkan ke orang lain sesuai saran Mbah Dalisah nanti."
Mendengar usulan ibunya, amarah Yati berangsur reda. Ia mengangguk, setuju dengan rencana itu. Mbok Yam kemudian memanggil Manto dan Mbah Rotib untuk berkumpul. Setelah mereka semua hadir, Mbok Yam menjelaskan idenya, yang disetujui Manto dan Mbah Rotib dengan penuh dukungan.
"Lalu, mau diberi nama apa cucuku ini?" tanya Mbok Yam pada Manto dan Yati.
Manto menjawab dengan keyakinan, "Tadi aku sudah menemukan nama, tapi karena Mbah Dalisah bicara begitu, aku tidak jadi mengungkapkannya."
"Siapa?" tanya Mbok Yam penasaran.
"Larasati," jawab Manto tegas. "Sebuah nama yang mewakili perjalanan hidup anak kita."
Yati tersenyum, hatinya terasa senang dan setuju dengan pilihan suaminya. Mbok Yam segera menyiapkan bubur merah putih sebagai simbol pengharapan. Setelah bubur siap, mereka berkumpul dan berdoa bersama, lalu secara khidmat memberikan nama Larasati kepada bayi mungil itu.
Bruuum... Bruuum...
Tiba-tiba, dua auman macan yang bergema keras memecah kesunyian malam, seolah datang dari halaman rumah mereka. Mereka semua terdiam, bingung dan ketakutan. Manto memberanikan diri mengintip dari balik tirai jendela, tetapi tidak terlihat apa-apa di luar. Kebingungan mereka semakin menjadi ketika guntur bergemuruh di langit, diikuti hujan lebat yang seketika mengguyur atap rumah.
Dalam kebingungan itu, Manto teringat sesuatu. "Oh iya, Ti, kemarin saat aku ke tempat Ko Acun, dia memberi pesan. Katanya, sakitmu itu bukan sakit medis, melainkan sakit non-medis. Ada orang yang mengincar bayi kita."
Yati, Mbok Yam, dan Mbah Rotib terkejut mendengar hal itu.
"Maksudmu, Mas?" tanya Yati dengan suara bergetar.
"Iya, Yati. Ko Acun bilang begitu, tapi dia belum berani menjelaskan lebih banyak. Katanya, dia ingin datang ke sini dulu untuk memastikan dugaannya." Manto melanjutkan, "Ko Acun juga bilang, jika anak kita bisa selamat dari ujian ini dan tumbuh besar, dialah yang akan membongkar semua misteri ini dan memberantasnya."
Yati teringat sesuatu. "Dulu, Ko Acun pernah pergi ke hutan dan menangkap dua harimau untuk mengobati kankerku. Aku diberi makan hati dan daging harimau. Saat aku tanya, dia hanya bilang, 'Besok kamu akan tahu'. Apa suara dua harimau tadi ada hubungannya dengan itu?"
Mbok Yam dan Mbah Rotib hanya bisa terdiam, bingung mendengar cerita anak dan menantu mereka. Malam itu, mereka ditinggalkan dengan pertanyaan yang menggantung, dibayangi auman harimau dan gemuruh guntur, serta harapan bahwa Larasati akan membawa terang dalam kegelapan yang menyelimuti keluarga mereka.