Husna, putri bungsu kesayangan pasangan Kanada-Indonesia, dipaksa oleh orang tuanya untuk menerima permintaan sahabat ayahnya yang bernama Burak, agar menikah dengan putranya, Jovan. Jovan baru saja menduda setelah istrinya meninggal saat melahirkan. Husna terpaksa menyetujui pernikahan ini meskipun ia sudah memiliki kekasih bernama Arkan, yang ia rahasiakan karena orang tua Husan tidak menyukai Arkan yang hanya penyanyi jalanan.
Apakah pernikahan ini akan bertahan lama atau Husna akan kembali lagi kepada Arkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Malam itu rumah sakit terasa sunyi. Hanya suara mesin monitor dari kamar perawatan yang terdengar samar.
Tiba-tiba, kelopak mata Arkan bergerak. Ia perlahan membuka matanya, menatap langit-langit ruangan dengan pandangan kosong sebelum akhirnya mengerjap pelan.
“D-di mana aku?” gumamnya lemah.
Ia menoleh ke kanan dan melihat kaca jendela kamar sebelah yang masih menyala samar.
Di sana, dari celah pintu yang sedikit terbuka, terlihat siluet seseorang yang duduk tertidur di kursi.
Arkan menatapnya lama, seolah tak percaya.
“Na…?” suaranya nyaris tak terdengar.
Dengan tenaga tersisa, ia mencoba bangun dari tempat tidur.
Tubuhnya masih lemah, tapi dorongan emosinya lebih kuat dari rasa sakit itu.
Ia melepas selang infus perlahan, lalu berjalan tertatih ke arah pintu.
Langkahnya pelan tapi penuh tekad. Saat sampai di kamar sebelah, ia membuka pintu perlahan.
Cahaya redup dari lampu tidur membuat wajah Husna terlihat jelas.
Ia tertidur di kursi, kepalanya bersandar di dinding, selimut tipis menutupi bahunya.
Arkan berdiri di hadapannya, menatap dengan mata yang masih penuh kebingungan dan perasaan campur aduk.
“Kamu benar-benar di sini…” bisiknya lirih.
Ia menyentuh bahu Husna perlahan, mencoba membangunkannya.
“Na…”
Husna tergerak sedikit, membuka matanya pelan, dan begitu melihat Arkan berdiri di hadapannya, ia langsung terkejut.
"Mmmmpphh!"
Dalam hitungan detik Husna pingsan dan Arkan membawanya pergi dari rumah sakit.
Jovan yang tertidur pulas tidak mengetahui jika istrinya dibawa oleh Arkan.
Arkan memanggil taksi dan meminta untuk mengantarkan ke suatu tempat.
"Dia sedang tidur karena kelelahan." ucap Arkan yang membohonginya sopir taksi.
Sopir langsung melajukan mobilnya dan mengantarkan Arkan.
Di dalam mobil Arkan membelai rambut Husna yang sedang pingsan.
"Aku janji akan membahagiakan kamu, Na." gumam Arkan.
Perjalanan malam itu panjang dan sunyi. Langit di luar jendela taksi gelap tanpa bintang, hanya sesekali lampu jalan menerangi wajah Arkan yang menatap kosong ke depan. Di pangkuannya, Husna terbaring lemah — masih pingsan, wajahnya tenang seperti sedang tidur.
Sopir sesekali menoleh lewat kaca spion. “Pak, rumahnya jauh sekali, yakin arahnya benar?”
“Iya,” jawab Arkan pelan. “Terus saja ke arah utara… nanti belok kanan setelah jembatan kayu. Rumah saya di sana.”
Mobil itu melaju menembus jalan tanah yang semakin sempit dan gelap. Pepohonan di kanan kiri seperti membentuk dinding raksasa, menelan cahaya lampu mobil. Udara malam terasa lembap dan dingin.
Setelah hampir satu jam perjalanan, mereka sampai di depan sebuah rumah kayu sederhana — berdiri sendirian di tengah ladang yang luas, jauh dari pemukiman mana pun. Hanya ada suara jangkrik dan angin yang berhembus di sela pepohonan.
Arkan membuka pintu mobil perlahan.
“Terima kasih, Pak. Ini uangnya,” katanya sambil menyerahkan beberapa lembar uang. Sopir itu mengangguk tanpa curiga, lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Begitu mobil menghilang di tikungan, Arkan menatap Husna lama.
Ia mengangkat tubuh wanita itu dengan hati-hati, lalu membawanya masuk ke dalam rumah.
Di dalam, ruangan itu sederhana hanya ada ranjang kayu, meja kecil, dan tirai tipis yang menutupi jendela.
Ia meletakkan Husna di atas ranjang, menutupinya dengan selimut, dan duduk di sampingnya.
“Kita di tempat yang nggak akan ada yang ganggu, Na.” bisiknya pelan, matanya menatap lembut namun penuh obsesi.
“Aku janji, kali ini aku nggak akan kehilangan kamu lagi.”
Tangannya menyentuh pipi Husna perlahan sebelum ia berdiri. Ia menatapnya sekali lagi, lalu menarik napas panjang.
“Sekarang aku harus kembali, biar mereka nggak curiga,” gumamnya, lalu melangkah keluar dari rumah itu, menutup pintunya rapat-rapat.
Ia kembali ke rumah sakit dengan langkah pelan dan ekspresi lemah seolah baru saja sadar dari pingsan.
Semua orang percaya ia tidak pernah meninggalkan tempat itu.
Keesokan paginya, sinar matahari menembus tirai kamar rumah sakit.
Jovan perlahan membuka matanya, mengerjap pelan, lalu menoleh ke sisi tempat tidur.
“Husna?” panggilnya.
Tidak ada jawaban. Ia melihat ke sekeliling, tapi hanya ada nampan kosong dan selimut terlipat rapi.
“Husna?!” suaranya mulai bergetar. Ia menekan tombol panggilan di sisi ranjang.
Tak lama kemudian, dokter dan perawat masuk tergesa.
“Tenang, Pak Jovan, ada apa?” tanya dokter.
“Istriku, dia nggak ada di kamar! Tadi malam dia di sini! Pasti ini perbuatan Arkan!” serunya dengan nada keras, matanya tajam menahan amarah.
Dokter menatapnya dengan bingung. “Pak Jovan, Arkan masih belum sadar.
Semalam kami tetap memantau kondisinya tidak ada tanda-tanda ia bangun.”
Jovan terdiam sesaat, napasnya berat.
“Tidak mungkin…” gumamnya lirih.
Ia segera meminta kursi roda dan memaksa dirinya pergi ke ruang perawatan Arkan.
Saat tiba, ia mendapati pria itu berbaring tenang, wajahnya pucat, matanya masih terpejam.
Monitor di samping tempat tidur menunjukkan detak jantung normal tanda bahwa Arkan masih dalam kondisi “tidur”.
Namun Jovan hanya menatapnya lama, dadanya sesak.
“Kalau kamu benar-benar di situ, berarti ada yang lain… tapi kalau kamu cuma pura-pura tidur…” suaranya menurun, penuh amarah yang tertaha
“Demi Tuhan, kalau kamu menyentuh istriku…”
Jovan berhenti sejenak, menatap wajah Arkan yang masih diam.
“…aku nggak akan diam saja.”
Arkan perlahan membuka matanya. Pandangannya buram, tapi kesadarannya mulai pulih sepenuhnya.
Ia menatap langit-langit kamar rumah sakit, mendengarkan suara langkah kaki perawat di luar — memastikan tak ada yang memperhatikan.
Perlahan ia menoleh ke samping, meraih ponselnya yang tersimpan di laci meja kecil di sebelah ranjang.
Ia menyalakannya dan membuka sebuah aplikasi rahasia di dalam folder tersembunyi rekaman CCTV kecil yang ia pasang diam-diam di rumah kayu tempat Husna berada.
Gambar di layar ponsel menunjukkan ruangan sederhana, dengan pencahayaan redup.
Di sana, Husna masih terbaring di atas ranjang, wajahnya pucat dan belum sadar.
Selimut menutupi tubuhnya, dan tirai jendela bergoyang pelan tertiup angin.
Arkan menatap layar itu lama, ekspresinya campuran antara tenang dan sakit.
Ia menyentuh layar dengan jemari gemetar, seolah berusaha menyentuh wajah Husna melalui kaca itu.
“Lihat, Na. Kamu masih di sana. Aman. Kali ini aku nggak akan biarkan siapa pun memisahkan kita lagi — bahkan Jovan sekalipun.”
Ia menutup mata sejenak, mengatur napas yang mulai berat.
“Maaf, aku harus berbuat seperti ini,” lanjutnya pelan. “Tapi aku cuma ingin kamu di sisiku. Selamanya.”
Di layar, kamera bergoyang sedikit karena angin.
Bayangan lembut dari tirai menutupi wajah Husna, membuatnya terlihat damai dalam tidurnya.
Arkan menatap layar itu hingga matanya berair.
“Kamu akan sadar nanti dan waktu itu tiba, kamu pasti ingat aku dulu. Bukan dia.”
Tangan Arkan mengepal, menggenggam ponsel itu erat-erat di dada.
Arkan membuka matanya perlahan, berpura-pura seperti baru tersadar dari pingsan panjang.
Ia menatap langit-langit ruangan dengan tatapan kosong, lalu menoleh ke arah meja di samping ranjang.
Di sana ada gelas air yang sudah setengah penuh.
Dengan sengaja, tangannya “gemetar” saat mencoba meraihnya hingga akhirnya gelas itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai.
Crash!
Suara pecahan kaca membuat beberapa perawat langsung berlari masuk.
“Pak Arkan! Anda tidak apa-apa?” seru salah satu perawat panik.
Arkan menatap sekeliling dengan wajah bingung, pura-pura linglung.
"Aku di mana?” tanyanya pelan.
Tak lama kemudian, dokter datang memeriksa kondisi tubuhnya.
“Pak Arkan, Anda di rumah sakit. Anda jatuh dari tangga beberapa hari lalu. Bagaimana perasaan Anda sekarang?”
Arkan menggeleng lemah, lalu memegang kepalanya.
“Sedikit pusing… tapi aku ingat ada… perkelahian.”
Sebelum dokter sempat menjawab, pintu kamar terbuka. Jovan datang dengan kursi roda, wajahnya masih pucat dan lelah.
Ia menatap Arkan dengan pandangan tajam, penuh campuran amarah dan kewaspadaan.
Arkan melihatnya, lalu tersenyum kecil.
“Van. Aku minta maaf soal kemarin. Aku kehilangan kendali. Aku janji nggak akan mengulanginya lagi.”
Jovan hanya diam beberapa detik, lalu menghela napas panjang.
“Sekarang bukan waktunya bahas itu, Arkan.”
Ia menatap dokter sebentar, lalu kembali ke arah Arkan.
“Husna, hilang.”
Raut wajah Arkan berubah ekspresinya seolah benar-benar terkejut.
“A-apa? Hilang?!”
Ia berpura-pura duduk dengan cepat, walau sebenarnya tubuhnya masih terasa lemah.
“Kapan? Bagaimana bisa?!”
Jovan menunduk, suaranya tegang. “Tadi pagi. Aku bangun dan dia nggak ada di kamar. Semua barangnya juga nggak ada. Aku yakin ini bukan keinginannya sendiri.”
Arkan mengerutkan alis, pura-pura kebingungan.
“Maksudmu, ada yang menculiknya?”
Ia menatap Jovan dalam-dalam, seolah benar-benar peduli.
“Van, aku akan bantu kamu. Kita harus cari Husna bareng-bareng.”
Jovan menatapnya ragu, tapi nada suaranya terdengar tulus.
“Kamu yakin?”
Arkan menatap lurus ke matanya dan mengangguk mantap.
“Aku janji, Van. Aku juga sayang sama Husna — sebagai teman. Aku nggak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya.”