NovelToon NovelToon
Ketika Takdir Menemukan Langit

Ketika Takdir Menemukan Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / CEO / Office Romance
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.

Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.

Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.

Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.

Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9 – Yang Belum Bernama

Jumat pagi datang dengan tenang. Sinar matahari merayap masuk lewat celah tirai, menyoroti meja kerja Embun yang masih berantakan: tumpukan sketsa, mug kopi setengah habis, dan laptop yang dibiarkan menyala semalaman. Di antara semua benda itu, ada satu yang paling mencolok — ponsel yang tergeletak di atas novel yang belum sempat ia selesaikan.

Embun membuka mata perlahan, kelopak matanya terasa berat. Ia mengerjap beberapa kali sebelum tangan kirinya meraba ponsel itu secara refleks, seperti kebiasaan yang terbentuk tanpa ia sadari.

Tidak ada notifikasi. Tidak ada getaran kecil yang biasanya muncul pagi-pagi. Hanya jam digital bertuliskan 07.12 dan ikon matahari cerah di layar utama.

Ia mendesah kecil sambil mengusap wajah. “Tumben ya… nggak nyapa duluan.”

Biasanya, si “nomor salah kirim” itu sudah meninggalkan pesan iseng yang bikin pagi Embun sedikit lebih hidup. Kadang isinya receh, kadang ngeselin, tapi entah bagaimana—selalu berhasil membuat Embun tersenyum.

Sudah beberapa hari ini Embun justru lebih sering bertukar pesan dengan si Mr. Don’t Know, sementara intensitas chat-nya dengan Ari dan Dion perlahan-lahan meredup. Sampai akhirnya… hampir hilang.

Embun mengira keduanya mungkin sudah menemukan orang lain yang lebih cocok, atau sedang sibuk mengejar match baru. Dan itu tidak membuatnya sakit hati. Sejak awal, Embun memang menganggap chat dengan Ari dan Dion hanya sebagai sarana menambah teman, bukan upaya serius mencari pasangan.

Yang justru aneh adalah, tanpa ia sadari, fokusnya bergeser. Perhatiannya mengerucut. Dan pusatnya… kini ada pada seseorang yang ia kenal lewat kesalahan.

Potongan pesannya langsung muncul di kepalanya, “Kamu lebih sopan dari SPG kartu kredit.” Atau “Kalau ini salah kirim kedua, berarti semesta lagi kerja lembur.”

Embun tersenyum kecil, senyum yang muncul tanpa ia bisa tahan. Ada sesuatu dalam cara pria itu bicara—ringan, nyentil, terasa dingin di permukaan tapi anehnya memberi hangat di bawahnya. Sebuah kombinasi yang terlalu gampang nempel di kepala.

Ia bangkit perlahan, menggulung rambutnya sembarangan, lalu menatap wajahnya di cermin meja rias. Mata masih sembap, pipi masih ada bekas bantal.

“Gila…” ia bergumam sambil mencubit pipinya sendiri. “Masa gue kangen orang yang bahkan belum tahu namanya?”

Ia tertawa kecil setelah mengatakannya, seperti baru sadar betapa absurd kenyataan itu. Ponselnya ia buka lagi—padahal ia tahu, ia tahu—tidak ada chat baru. Tetap saja jempolnya mengetik:

“Pagi”. Lalu hapus. Mengetik lagi, “Udah sarapan?” Hapus lagi.

Ia sampai mendesah frustrasi, menutup ponsel itu dan meletakkannya di ranjang sambil menatap ke luar jendela yang dipenuhi cahaya pagi.

“Kayak nunggu orderan ojek yang nggak kunjung datang,” katanya pelan, lalu menutup wajah dengan bantal, malu pada dirinya sendiri.

Tapi senyum tipis tetap muncul. Karena pada akhirnya—tidak ada notifikasi pun, ia tetap memikirkannya.

**

Sementara itu, di sebuah apartemen berlantai tinggi yang menghadap langsung ke hamparan gedung Jakarta, aroma kopi baru diseduh memenuhi ruang kerja sekaligus ruang makannya. Langit duduk di meja makan kecil dari kayu walnut, mengenakan kemeja putih yang dibalut sweater warna navy—gaya yang sudah seperti seragam paginya.

Satu tangan memegang ponsel. Satu tangan lainnya menggulir daftar pesan yang masuk. Meeting dengan investor. Follow-up project. Reminder laporan bulanan dari sekretaris.

Rutinitas. Teratur. Nyaman. Seharusnya cukup untuk membuat pagi berjalan normal.

Tapi matanya berhenti pada satu chat — nomor tanpa nama. Nomor yang semalam masih membalasnya dengan kalimat-kalimat kecil yang entah kenapa menempel di kepala.

Sekarang? Hening. Tidak ada pesan baru.

Ia menatap layar itu cukup lama, bahkan lupa bahwa kopinya sudah mendingin dan uapnya berhenti naik.

Biasanya, Langit tidak pernah terganggu oleh hal-hal semacam ini. Ia bukan tipe pria yang menunggu sesuatu yang tidak pasti. Namun, pagi ini terasa ada celah kosong—seperti ada satu notifikasi yang seharusnya muncul, tapi tidak.

“Tumben…” gumamnya pelan.

Biasanya perempuan itu sudah mengirim pesan absurd semacam  “Selamat pagi, stranger yang nggak pernah salah ketik.” Atau “Bangun, Cowok misterius.”

Senyum kecil muncul di sudut bibirnya, senyum yang hanya muncul saat tidak ada orang lain di ruangan.

Ia menyandarkan diri ke kursi, mengetik pelan-pelan, tidak terburu-buru tapi juga tidak santai.

Ada sedikit… kehati-hatian.

Langit: Kamu biasanya pagi-pagi udah heboh. Hari ini libur jadi diem?

Pesan terkirim. Tanda centang muncul. Tapi tidak langsung berubah biru.

Langit meletakkan ponselnya di meja — namun jaraknya hanya sebatas lengan, bukan dijauhkan seperti biasanya setiap kali ia ingin fokus. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia menunggu. Bukan balasan klien besar, bukan laporan penting, bukan progres proyek raksasa.

Tapi pesan dari seseorang yang bahkan belum punya nama di kontaknya. Dan anehnya… itu satu-satunya notifikasi yang ia pedulikan pagi ini.

**

Embun akhirnya berdiri dari tempat tidur, menyeret kakinya menuju kamar mandi sambil membawa handuk dan mood yang masih setengah hidup. Ia meletakkan ponselnya di tempat tidur begitu saja, tidak memikirkan apa pun selain air hangat.

Begitu pintu kamar mandi tertutup, suara shower mulai terdengar, uap tipis mulai memenuhi ruangan — dan pada saat yang paling tidak strategis itu…

TING! Notifikasi masuk.

Layar ponselnya menyala, menampilkan satu pesan baru:

Mr. Don’t Know: Kamu biasanya pagi-pagi udah heboh. Hari ini libur jadi diem?

Hanya butuh satu detik… Lalu…

“AAAAAAASTAGAAAAA!!”

Teriakan itu menggema dari dalam kamar mandi. Terdengar jelas, bahkan mengalahkan suara shower.

Di dalam, Embun berdiri kaget—sampo masih di rambut, busa menetes ke mata.

“Kenapa dia chat-nya SEKARANG?! Kenapaa??” serunya sambil berkedip-kedip panik karena perih.

Ia meraih handuk kecil, mengusap busa di wajah, lalu tanpa pikir panjang… keluar dari kamar mandi begitu saja.

Masih basah kuyup. Masih penuh busa di rambut. Masih tidak memakai apa-apa selain handuk yang melilit asal-asalan. Ia langsung mengambil ponsel dari tempat tidur, hampir terpeleset.

Embun memelototi layar dengan napas terengah seperti habis dikejar debt collector.

“Ya Tuhan…” Pipinya memanas. Jantungnya memukul rib cage seperti drummer metal.

Dia mengetik cepat, jempol goyang:

Embun: Sumpah yaa gue lagi nggak diem. Gue cuma… mandi.

Hapus. “Mandi” terlalu jujur. Terlalu visual.

Ia ganti: Lagi beres-beres.

Hapus. Bohong.

Embun mengetik dengan wajah masih merah, rambut penuh busa, handuk nyaris merosot,

Embun: Lagi ngelatih diri buat nggak nyepam orang salah kirim.

Ia menatap kalimat itu lama, sebelum akhirnya menekan send. Napasnya pendek-pendek, antara malu dan pasrah.

Tidak sampai dua detik…

TING! Balasan masuk cepat — terlalu cepat — sampai Embun refleks mematung di tempat.

Mr. Don’t Know: Terlambat. Udah kecanduan, kayaknya.

Embun: ….

Pipinya langsung panas, seolah shower barusan berubah jadi air mendidih. Ia bahkan lupa menarik handuknya yang mulai turun sedikit.

“Astaga… ini orang ngomong apa sih… tapi kok enak banget didenger…” gumamnya, suara nyaris tidak keluar.

Ia menatap layarnya lama sekali, seperti menunggu efek samping dari ucapan itu mereda. Tapi tidak mereda sama sekali — justru tambah parah.

Hatinya berdetak seperti notifikasi yang spam masuk di tengah malam. Tubuhnya basah kuyup.

Showernya masih nyala sendirian. Tapi Embun tidak bergerak.

Embun akhirnya sadar ia masih berdiri di tengah kamar—basah kuyup, setengah berbusa, handuk hampir jatuh—sementara ponselnya tetap ia genggam erat seolah nyawanya disandarkan di situ.

“Gila… kenapa gue kayak ABG baru kenal cinta pertama begini,” gumamnya sambil menepuk-nepuk pipinya sendiri yang sudah merah seperti udang rebus.

Dengan langkah kikuk, ia kembali ke kamar mandi. Shower masih menyala, air hangat berderai tanpa gunanya sejak tadi. Embun masuk lagi, menarik tirai mandi, lalu berdiri tepat di bawah pancuran sambil menengadah.

Tapi bukannya fokus cuci rambut… dia malah senyum lagi. Dan lagi. Dan lagi. Air hangat turun membasahi wajahnya, tapi senyum itu tidak hilang.

“Udah kecanduan, kayaknya…” ulang Embun pelan menirukan chat Langit tadi.

Tanpa sadar, ia menyandarkan tubuhnya ke dinding kamar mandi, membiarkan air mengalir melewati pundaknya. Rambut berbusa itu ia pijat pelan, tapi pikirannya sama sekali bukan ke sampo… melainkan ke suara cowok yang bahkan belum ia lihat wajahnya.

“Ya ampun… gue mandi aja kebayang suaranya,” keluhnya sambil nyengir sendiri. “Ini nggak sehat. Serius. Nggak sehat…” Tapi hatinya membantah tegas.

Dia malah tertawa kecil—tawa yang lembut, ringan, dan terdengar jauh lebih jujur daripada tawa-tawa lainnya belakangan ini. Ada perasaan menggelitik di dada, semacam getaran hangat yang bikin Embun ingin melompat tapi juga ingin sembunyi di balik tirai mandi.

Saat membilas wajah, ia mendadak menatap refleksinya yang buram di kaca kecil di sudut kamar mandi.

“Embun Nadhira…” katanya sambil menunjuk dirinya sendiri. “Lo jatuh hati sama suara? Sama chat? Sama… si salah nomor?”

Ia menutup wajah dengan kedua tangan. Air panas mengalir. Pipi panas juga—tapi bukan karena airnya.

“Udah, Bun, mandi dulu… mandi, mandi… nanti juga sadar,” katanya menegur diri.

Tapi lima detik kemudian, dia senyum lagi. Dan empat detik setelah itu… senyum lagi.

“Ya Tuhan… gue udah gila,” katanya setengah pasrah.

Begitu selesai mandi dan mematikan shower, ia mengambil handuk sambil merapikan rambutnya. Namun sebelum keluar kamar mandi… Ia mengintip ponselnya lagi yang tergeletak di tempat tidur.

Embun langsung menutup wajahnya. “Gue belum kering udah ngecek HP lagi. Fix. Ini penyakit baru.”

Tapi sambil berjalan keluar, masih mengeringkan rambutnya, Embun tidak bisa menahan senyum tipis yang muncul begitu saja. Senyum jatuh cinta versi soft-launch,

yang bahkan dia sendiri belum berani akui.

**

Sementara itu, Langit duduk di meja makan dengan laptop terbuka, secangkir kopi hitam di sisi kanan, dan tumpukan dokumen kerja di sisi kiri. Segalanya tampak seperti rutinitas biasa—rapi, teratur, presisi. Kecuali pikirannya.

Ia mengetik laporan keuangan dengan ritme cepat, tapi setelah dua menit, jarinya berhenti. Tatapannya kosong ke layar, lalu perlahan turun ke ponsel di sebelahnya.

Satu detik. Dua detik. Lima detik.

Ia menghela napas dalam, lalu menggelengkan kepala. “Gue kenapa sih, cuma salah kirim doang,” gumamnya sambil meneguk kopinya. Tapi tangannya malah memutar gelas itu pelan, seolah menunggu notifikasi yang nggak kunjung muncul.

Suara ping dari laptop membuatnya tersadar. Asisten pribadinya sekaligus sekertarisnya , Reno, muncul di pintu dapur dengan tablet di tangan. “Pagi, Pak Langit. Ada meeting internal jam sembilan, terus—”

“Ren.” Langit memotong dengan nada datar tapi lembut. “Lo pernah salah kirim pesan ke orang nggak?” Pertanyaan itu membuat Reno menatap heran.

“Ehm… pernah, Pak. Biasanya ke mantan, dan hasilnya… bencana.” Ia menutup mulutnya buru-buru. “Maksud saya, kenapa, Pak?”

Langit menyandarkan punggung, menatap ke arah jendela.

“Cuma nanya. Teorinya, salah kirim itu hal kecil, tapi bisa ngubah mood satu hari, kan?”

Reno tersenyum ragu. “Tergantung pesannya, Pak. Kalau pesannya manis, ya bisa ngubah hidup juga.”

Langit menatapnya sebentar, lalu pura-pura kembali ke laptop. “Ngubah hidup, ya…” gumamnya pelan, hampir tidak terdengar.

**

Beberapa jam kemudian, suasana kantor Atmaja Grup  berjalan seperti biasa, suara langkah sepatu di lantai marmer, dering telepon dari klien besar, dan aroma kopi premium yang selalu memenuhi ruangan setiap pagi.

Langit duduk di ruang meeting besar lantai empat puluh sembilan, mendengarkan presentasi dari divisi marketing. Namun bahkan di tengah slide bertema “Expansion Strategy 2025”, pikirannya justru memutar kalimat yang sama:

“Hmm… halo. Aku nggak tahu harus ngomong apa…”

Nada lembut itu muncul di kepalanya seperti lagu latar yang nggak bisa di-pause. Ia berusaha fokus, tapi setiap kali rekan kerjanya menyebut kata “komunikasi dengan klien”, entah kenapa bayangan “salah kirim” itu ikut muncul.

“Pak Langit?” suara seseorang memecah lamunannya. Itu Eza, manajer proyeknya. “Bapak setuju dengan timeline revisinya?”

Langit menatap layar proyektor kosong selama dua detik sebelum akhirnya berkata datar,

“Setuju… kalau memang realistis.”

Suara dan ekspresi tenangnya menutupi fakta bahwa dia bahkan nggak tahu barusan mereka ngomongin apa.

Setelah rapat selesai, ia kembali ke ruangannya. Langit membuka laptop, lalu lagi-lagi menatap ponselnya. Pesan terakhir dari nomor tak dikenal itu masih sama:

“Maaf! Salah kirim. Tolong pura-pura nggak kenal aku.”

Ia menatapnya lama, lalu tiba-tiba senyum tipis muncul di wajahnya. “Lo berhasil bikin gue kehilangan fokus, ‘salah sambung’.”

Reno muncul lagi di pintu, membawa berkas. “Pak, ada yang bisa saya bantu? Dari tadi Bapak senyum-senyum sendiri, saya takut server kita kena virus positif thinking.”

Langit terkekeh kecil, jarang sekali ia tertawa di jam kerja. “Nggak usah khawatir, Ren. Cuma bug ringan… tapi belum tahu cara fix-nya.”

Reno menatapnya penasaran, tapi memilih tidak bertanya lebih jauh. Begitu ia pergi, Langit menatap ponsel itu sekali lagi, menghela napas pendek, lalu meletakkannya terbalik di meja.

Namun baru beberapa detik kemudian, layar ponselnya menyala. Bukan dari siapa pun yang ia kenal. Nomor itu lagi. Dan tanpa sadar, detak jantung Langit sedikit berubah ritmenya.

**

Malamnya di apartement mewah milik Langit tampak hening. Hanya suara mesin pendingin udara yang konstan dan samar, serta cahaya layar laptop yang masih menyala di meja kerja dekat jendela.

Langit bersandar di kursinya. Kemeja putihnya setengah terbuka di bagian atas, dasi terlepas, jam tangan mahal sudah ia letakkan di meja. Di layar laptop, ada puluhan e-mail penting yang belum sempat ia balas — tapi fokusnya sama sekali bukan di sana.

Ia justru menatap layar ponselnya. Kontak tanpa nama. Nomor acak dengan satu pesan terakhir:

“Maaf! Salah kirim. Tolong pura-pura gak kenal aku.”

Langit tersenyum kecil tanpa sadar. “ Pura-pura gak kenal, ya? Gimana bisa gue pura-pura gak denger suara itu lagi?” gumannya dalam hati.

Tangannya tergerak membuka galeri voice note — pesan pertama dari si pengirim misterius. Ia tekan play, dan suara perempuan itu kembali terdengar di ruang yang sunyi:

“Hmm… halo. Aku gak tahu harus ngomong apa, tapi ya… ini percobaan supaya gak kayak chatting sama bot.”

Ada jeda, lalu tawa pelan di akhir kalimatnya. Ringan, sedikit gugup, tapi hangat. Langit menatap kosong ke arah jendela tinggi tempat lampu-lampu kota berkedip jauh di bawah sana.

Ia tidak tahu kenapa suara itu terasa... nyata. Bukan sekadar suara random dari kesalahan ketik nomor, tapi seperti seseorang yang—anehnya—punya cara membuat kepalanya jadi penuh pikiran.

“tiga puluh dua  tahun, seorang pemimpin perusahaan, dan kalah fokus gara-gara satu voice note?” gumamnya pelan sambil menatap pantulan dirinya di kaca. “Hebat banget, Langit.”

**

Di sisi lain, Embun juga belum tidur. Lampu kamarnya sudah dimatikan, tapi layar ponselnya masih menyala. Ia membuka percakapan dengan nomor “salah kirim” itu dan menatap pesan terakhir dari pria misterius:

“Tenang. Aku sudah komitmen untuk amnesia selektif.”

Embun menggigit bibir bawahnya. Ia gak tahu kenapa, tapi tiap kali baca kalimat itu, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.

“Dia ini siapa sih sebenernya? Kenapa bisa santai banget ngomong gitu?” batinnya terus bersuara.

Matanya beralih ke foto profil kosong yang hanya bulatan abu-abu. “Kalau lo orang aneh, semoga anehnya masih dalam batas normal,” gumamnya pelan sebelum akhirnya menutup ponsel dan menarik selimut.

Sementara itu, Langit menaruh ponsel di atas nakas, tapi beberapa detik kemudian, ia mengambilnya lagi. Jempolnya melayang di atas layar — seperti ingin mengetik sesuatu — tapi tidak jadi.

Ia hanya mengembuskan napas dan berkata pelan pada dirinya sendiri, “Kayaknya, semesta emang kerja lembur malam itu.”

**

Tbc

1
Bia_
ferdi lu bener bener ya,
Al_yaa
greget banget sama bab ini, gak sabar nunggu lanjutannya, updatenya bisa langsung 5 bab gak thor,penasaran bangettt
Al_yaa
cepatt cari orang bodoh itu papiiii
Al_yaa
cefatt rekrut diaa langitttt
KaosKaki
rasakno koe fer
KaosKaki
boleh gak berkata kasar buat di Ferdi /Panic//Panic/
Bubuuu
ceritanya bagus banget 👍👍😍😍
Al_yaa
yg buat virus perempuan, diremehin pulak tapi bikin satu gedung gonjang ganjing /Joyful/
aRa_
hebat banget embun, langsung ulti si Ferdi pake virus biar kicep
aRa_
bajigur banget si Ferdi /Panic/
aRa_
baru telponan aja udh deg degan ya embun
Al_yaa
ferdi, lo syibal banget yakk/Angry/
Al_yaa
pandangan pertama awal aku berjumpa /Hey//Hey/
Al_yaa
one step closer langit, berawal dari callan lama lama video callan dehhh
Bia_
akhirnya akhirnya /Scream/
Bia_
yaloh mereka udah Callan aja
KaosKaki
huuwwaaa akhirnya mereka ketemu tapi gak kenal /Sob//Sob//Sob/
KaosKaki
ada apa inih, kenapa bapaknya angkasa nongol. tor ada apa ini coba jelaskan
KaosKaki
bener bener dah ya, embun sama langit udah kaya anak abg banget /Facepalm/
Bia_
wow apakah akan ada plot twist Pemirsa 🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!