NovelToon NovelToon
Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Action / Cinta Terlarang / Mafia / Romansa / Balas Dendam
Popularitas:100
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4: MALAM PEMBANTAIAN - BAGIAN 3

Dua orang pria berjalan ke kamar Elena.

Alex bisa mendengar langkah kaki mereka—langkah berat yang menggema di lantai keramik yang retak.

"Tidak... tidak... jangan ke sana..." Jonathan berbisik, suaranya sudah nyaris tak terdengar. "Jangan sentuh anakku... kumohon..."

Tapi permohonan itu menguap di udara.

Pintu kamar Elena terbuka.

"Hei, sayang... kenapa menangis?" Suara itu lembut, tapi ada sesuatu yang sangat salah dengan kelembutan itu.

"JANGAN SENTUH AKU! MAMA! MAMA!" Elena berteriak, suaranya cempreng—suara khas anak berusia sepuluh tahun yang ketakutan.

Alex mendengar suara meja bergeser, sesuatu jatuh—mungkin boneka-boneka Elena yang tergeletak di lantai.

"Tenang, sayang. Kita hanya mau main-main..."

"TIDAAAAAK!"

Lalu ada suara tubuh kecil diseret.

Elena menangis histeris. "MAMA! PAPA! KAKAK ALEX! KAKAK ALEX TOLONG AKU! TOLONG AKUUUU!"

Alex menggigit tangannya lebih keras. Darah segar mengalir dari tangannya, tapi ia tidak merasakannya. Matanya terbuka lebar, air mata tidak berhenti mengalir.

Aku harus keluar. Aku harus menyelamatkan Elena.

Tapi kakinya tidak bergerak.

BERGERAK! BERGERAK SEKARANG!

Tapi tubuhnya seolah membatu.

Elena diseret keluar dari kamar. Tubuhnya yang kecil—hanya setinggi 130 sentimeter, hanya seberat 30 kilogram—terlihat sangat kecil di tangan pria-pria itu.

Dia mengenakan piyama pink dengan gambar kelinci. Piyama yang ia pilih sendiri bulan lalu karena ia bilang kelincinya lucu. Rambut panjangnya yang selalu dikepang oleh mama setiap pagi sekarang berantakan.

"PAPA! PAPA TOLONG ELENA! PAPA!" Elena menjerit sambil meronta, tangannya kecil mencoba meraih udara, mencoba meraih ayahnya.

Jonathan mengangkat kepalanya. Matanya bertemu dengan mata putrinya.

Dan di mata itu, Elena melihat keputusasaan yang luar biasa.

"Papa..." suaranya berubah menjadi bisikan. "Papa kenapa tidak tolong Elena?"

Jonathan ingin berbicara. Ia ingin berteriak, "Papa ingin menolongmu tapi Papa tidak bisa!" Tapi tidak ada suara yang keluar. Hanya air mata yang jatuh—air mata yang sudah tidak berarti apa-apa.

Mereka melempar Elena ke lantai ruang tamu—tepat di samping abu tubuh ibunya yang masih membara.

Elena melihat gumpalan hitam yang masih berasap itu. "I-itu... itu apa?"

Tidak ada yang menjawab.

Tapi bau daging terbakar itu memberi tahu segalanya.

"MAMA?!" Elena merangkak, mencoba menyentuh abu itu. "MAMA BANGUN! MAMA INI ELENA! MAMA!"

Tapi yang ia sentuh hanya abu panas yang membakar telapak tangannya.

"AAAH! PANAS!" Elena menangis, meniup telapak tangannya yang melepuh. "Mama... mama kenapa jadi abu? Mama kemana?"

Seorang pria menarik kakinya, menyeretnya menjauh dari abu itu.

"Jangan khawatir, sayang. Sebentar lagi kamu akan bertemu mamamu."

Elena menendang. "LEPASKAN! LEPASKAN AKU!"

Jonathan akhirnya menemukan suaranya. "JANGAN SENTUH ANAKKU! DIA MASIH KECIL! DIA MASIH—"

Salah satu pria memukul wajah Jonathan dengan popor pistol.

BRAK!

Gigi Jonathan patah, darah menyembur dari mulutnya.

"Diam dan menonton, atau kami akan membuat putrimu menderita lebih lama."

Jonathan terdiam.

Elena menangis, matanya menatap ayahnya dengan penuh harap—harapan bahwa entah bagaimana papa akan menyelamatkannya. Harapan bahwa ini semua mimpi buruk dan ia akan bangun di kamarnya yang penuh boneka.

Tapi ini bukan mimpi.

Tiga orang pria mengelilingi tubuh kecil Elena.

"Tidak... jangan... aku masih kecil... aku belum mengerti..." Elena mundur, punggungnya menabrak dinding. Tidak ada tempat lagi untuk lari.

"Justru karena itu lebih menyenangkan," salah satu dari mereka tertawa.

Pria pertama merobek piyama pink Elena.

"TIDAAAAK!" Elena berteriak sekeras tenaga. "KAKAK ALEX! KAKAK ALEX ADA DI MANA?! TOLONG ELENA! KAKAAAAAK!"

Alex di dalam lemari mendengar namanya disebut.

Teriakan adiknya memanggil-manggil namanya.

Memohon padanya.

Berharap padanya.

Aku harus keluar. Aku harus—

Tapi tubuhnya gemetar terlalu hebat. Kakinya lemas seperti jeli. Tangannya bahkan tidak bisa menggenggam gagang pintu lemari.

Ia tidak berdaya.

Sama seperti ayahnya.

"KAKAK ALEX! KAKAK! KUMOHON! SAKIT! SAKIT SEKALI!" Elena menjerit, suaranya pecah.

Pria pertama memperkos* Elena—anak berusia sepuluh tahun yang bahkan belum mengerti apa itu seks, yang masih bermain boneka, yang masih percaya pada dongeng.

Elena menjerit dengan suara yang tidak lagi terdengar seperti teriakan—lebih seperti lengkingan binatang yang disembelih.

"PAPA! PAPA TOLONG! SAKIT! PAPA! AAAAAHHH!"

Jonathan menangis. Tidak ada lagi suara. Hanya air mata yang jatuh. Tubuhnya lemas di kursi, seolah jiwanya sudah meninggalkannya.

"Elena... papa minta maaf... maafkan papa... papa tidak berguna... papa tidak bisa melindungimu..."

Pria kedua mengambil giliran.

Elena masih menjerit, tapi suaranya semakin lemah. Darah mengalir dari tubuhnya yang kecil—terlalu banyak darah untuk tubuh sekecil itu.

"Mama... mama datang dong... mama jemput Elena... sakit, Ma... sakit sekali..." Elena menangis sambil memanggil mama yang sudah menjadi abu.

Pria ketiga selesai dengan Elena.

Tubuh kecilnya tergeletak di lantai, tidak bergerak. Darah menggenang di sekitarnya—darah seorang anak yang baru saja direnggut masa depannya, direnggut kepolosannya, direnggut nyawanya.

Tapi Elena masih hidup.

Matanya masih terbuka, menatap langit-langit.

Bibirnya bergerak, membentuk kata-kata tanpa suara: "Kakak... Alex..."

Pemimpin kelompok itu berjongkok di samping Elena, mengelus rambutnya dengan lembut—sentuhan yang sangat kontras dengan apa yang baru saja mereka lakukan.

"Kamu anak yang kuat," bisiknya. "Tapi sekarang waktunya istirahat."

Ia mengeluarkan pisau.

"TIDAK!" Jonathan berteriak. "KUMOHON! CUKUP! KALIAN SUDAH MENGHANCURKAN DIA! CUKUP!"

Tapi pisau itu sudah bergerak.

Melintasi tenggorokan Elena.

Darah menyembur.

Elena mengangkat tangannya—tangan kecil yang biasa memegang pensil warna untuk menggambar, tangan yang biasa memeluk boneknya—mencoba menyentuh ayahnya satu kali terakhir.

"Pa...pa..."

Lalu tangannya jatuh.

Mata coklatnya yang indah—mata yang selalu berbinar setiap kali ia tertawa—perlahan kehilangan cahayanya.

Dan Elena mati.

Di lantai ruang tamu rumahnya sendiri.

Digenangi darahnya sendiri.

Di samping abu ibunya.

Sementara ayahnya hanya bisa menonton.

Jonathan tidak bereaksi.

Ia hanya menatap tubuh putrinya yang tidak bergerak itu.

Putri kecilnya yang baru tiga hari lalu minta dibelikan buku dongeng.

Putri kecilnya yang kemarin bilang, "Papa, kalau Elena besar nanti, Elena mau jadi guru seperti Mama."

Putri kecilnya yang pagi ini mencium pipinya sambil bilang, "Papa paling baik di dunia!"

Sekarang mati.

Dirobek.

Dihancurkan.

Mereka mengangkat tubuh Elena, melemparnya ke api yang masih menyala—api yang membakar ibunya.

Tubuh kecil Elena terbakar.

Piyama pink kelincinya hangus.

Rambutnya yang panjang lenyap dalam sekejap.

Kulitnya yang lembut meleleh.

Ibu dan anak—terbakar bersama, menjadi abu bersama.

Jonathan menatap api itu.

Dan sesuatu di dalam dirinya patah.

Selamanya.

"Bagaimana rasanya, Jonathan?" Pemimpin itu berbicara sambil menyalakan rokok lagi. "Bagaimana rasanya menjadi pahlawan?"

Jonathan tidak menjawab.

Pria itu mendekat, menempelkan moncong pistol ke dahi Jonathan.

"Ada kata terakhir?"

Jonathan mengangkat kepalanya perlahan. Matanya bertemu dengan mata pria itu.

Dan di mata Jonathan tidak ada lagi air mata. Tidak ada lagi ketakutan.

Hanya kebencian.

Kebencian yang begitu dalam, begitu murni, begitu hitam.

"Maafkan... ayah..." bisiknya—bukan untuk pria itu, tapi untuk abu di api itu, untuk anak-anaknya. "Maafkan ayah..."

"Menyedihkan."

BANG!

Peluru menembus kepala Jonathan.

Darah dan otak menyembur ke dinding belakangnya.

Tubuhnya terkulai di kursi.

Jonathan Rafael—jurnalis idealis yang ingin memperjuangkan keadilan—mati dengan mata terbuka, menatap api yang membakar istri dan putrinya.

Pemimpin itu mengangguk. "Bakar rumah ini. Jangan tinggalkan apapun."

Mereka menuangkan bensin ke seluruh ruangan.

Ke sofa lusuh yang sering dipakai keluarga Rafael nonton TV bersama.

Ke meja makan kayu yang pagi ini dipakai Elena dan Alex main kartu.

Ke foto-foto keluarga yang tergantung di dinding.

Ke semua kenangan.

Api menyala.

Dan mereka pergi.

Meninggalkan rumah itu terbakar.

Meninggalkan tiga mayat di dalamnya.

Tidak ada yang tersisa.

Tidak ada keluarga Rafael lagi.

Hanya abu.

Di dalam lemari, Alex masih membeku.

Ia mendengar semuanya.

Setiap jeritan ibunya.

Setiap teriakan Elena yang memanggil namanya.

Tembakan yang membunuh ayahnya.

Dan sekarang—suara api yang semakin membesar.

Asap mulai masuk ke celah lemari.

Alex tersadar.

Ia mendorong pintu lemari, keluar dengan tubuh yang gemetar.

Ruang tamu sudah dipenuhi api.

Ia melihat tubuh ayahnya—kepala dengan lubang peluru, darah mengalir di dinding.

Ia melihat api besar di tengah ruangan—di sana ada dua gumpalan hitam yang masih terbakar.

Alex berlari ke sana, tangannya mencoba menarik gumpalan itu keluar dari api.

Tapi kulitnya langsung melepuh.

"AAAHHH!"

Ia mencoba lagi.

Kulitnya terbakar, meleleh.

Ia menarik salah satu gumpalan itu keluar.

Bentuknya masih seperti manusia—tapi tidak ada wajah lagi. Tidak ada rambut. Tidak ada kulit. Hanya daging hangus dan tulang.

Alex tidak tahu ini ibunya atau adiknya.

Ia tidak bisa membedakan mereka lagi.

"Mama... Elena..." Ia menangis, memeluk gumpalan hitam itu. Dagingnya yang hangus menempel di baju Alex. Baunya—bau daging terbakar—memenuhi hidungnya.

"Bangun... kumohon bangun... kakak minta maaf... kakak tidak menyelamatkan kalian... kakak pengecut... kakak pengecut... maafkan kakak..."

Tapi gumpalan itu tidak bergerak.

Karena itu bukan lagi ibunya.

Bukan lagi Elena.

Hanya mayat.

Api semakin membesar.

Atap mulai runtuh.

Alex akhirnya melepaskan gumpalan itu, berlari keluar dari rumah.

Ia keluar ke halaman, terjatuh di tanah.

Di belakangnya, rumah yang selama lima belas tahun menjadi tempat ia tumbuh—rumah penuh tawa, penuh kehangatan, penuh cinta—terbakar habis.

Alex berlutut di tanah, menatap api itu.

Tangannya yang terbakar tidak ia rasakan.

Yang ia rasakan hanya kehampaan.

Keluarganya—ayah, ibu, adiknya—semuanya mati.

Dan ia tidak menyelamatkan siapapun.

Ia bersembunyi di lemari seperti pengecut.

Sementara mereka menjerit meminta tolong.

Elena memanggil namanya berkali-kali.

Dan ia tidak keluar.

Alex mengangkat kepalanya, menatap langit malam yang gelap.

Lalu ia berteriak—teriakan yang memecah malam, teriakan yang penuh penyesalan, kesedihan, dan kebencian.

"AAAAAAAAAAAAHHHHHHHHH!!!"

Tapi tidak ada yang menjawab.

Hanya suara api yang melahap rumahnya.

Dan jauh di sana, di mansion mewahnya, Adipati Guntur menerima telepon.

"Sudah selesai, Pak. Tidak ada yang tersisa."

"Bagus. Transfer uang kalian sekarang."

Adipati Guntur menutup telepon, melanjutkan makan malamnya.

Tidak ada penyesalan di wajahnya.

Hanya kepuasan.

Sementara di rumah yang terbakar itu, Alex masih berlutut.

Menatap api.

Merasakan sesuatu di dalam dirinya mati.

Dan sesuatu yang lain terlahir.

Sesuatu yang gelap.

Sesuatu yang tidak akan pernah padam sampai dia membalas semuanya.

Sampai dia membuat Adipati Guntur merasakan sakit yang sama.

Atau sampai dia mati mencoba.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!