Shinta Bagaskara terbangun kembali di masa lalu. Kali ini, ia tak lagi takut. Ia kembali untuk menuntut keadilan dan merebut semua yang pernah dirampas darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hangat di Rumah Winarta
Kakek Winarta mencebik pelan, tongkat kayunya diketuk ke lantai dengan suara kecil tapi tegas. Sebenarnya, ia masih ingin melakukan hal itu… tapi sayangnya, tak ada lagi kesempatan.
Fajar Pramudya, bocah itu, terlalu cerdas. Ia selalu tahu maksud tersembunyi sang kakek dan akan berusaha menghindar sejauh mungkin.
Akhirnya, yang jadi korban empuk adalah Lukman Adiprana, cucu bungsunya, yang dengan terpaksa jadi sasaran untuk ditata bergaya lembut dan manis.
“Dulu waktu kamu kecil,” gumam Kakek Winarta sambil menatap Lukman yang duduk tak berdaya di sofa, “rambutmu agak panjang, kan? Kakek sampai sempat kepang tiga, terus dipakaikan baju warna merah muda. Orang-orang bilang, ‘Wah, cucu Kakek Winarta cantik banget!’”
Lukman menepuk dahinya pelan. Cerita itu lagi. Sekarang, setiap kali Kakek merasa bosan, selalu saja kisah itu diungkit dan setiap kali, Lukman hanya bisa menelan nasib.
Seiring Lukman yang tumbuh besar, kesempatan sang kakek untuk “menata” seperti itu pun sirna. Jadi kini, setiap kali Lukman pulang, Kakek Winarta selalu saja menemukan alasan untuk mengomel atau menggerutu.
Kakek Winarta menepuk tongkat kayunya di lantai.
“Lukman, di SMA Hastinapura Global School, ada seorang gadis di kelas 12D. Kau jaga dia baik-baik, ya.”
Lukman cepat-cepat mengangguk, merasa lega.
Menjaga seseorang? Ah, itu sih gampang.
Ia nyengir, “Kek, ada keuntungannya nggak? Soalnya, abang juga pernah nyuruh aku jagain seseorang, tapi dia kasih hadiah laptop gaming seharga puluhan juta.”
“Dasar bocah matre!” Kakek langsung menepuk tangan Lukman dengan tongkatnya.
“Dikasih tanggung jawab malah minta bayaran!”
“Aduh, aduh—Kek!”
Lukman cengengesan. “Lha, aku emang lagi bokek, Kek. Gara-gara kalah taruhan di BlackEmpire, uang jajanku habis semua.”
Kakek Winarta tiba-tiba berhenti, menatap Lukman dengan curiga.
“Tunggu, tadi kamu bilang abangmu juga nyuruh jagain seseorang?”
“Hmm,” Lukman mencondongkan tubuh sambil bergosip, “cewek, Kek. Wah, jarang-jarangkan abang tertarik sama cewek. Siap-siap aja, Kek, sebentar lagi punya cicit. Tapi ceweknya masih muda sih, jadi cicitnya paling baru lahir beberapa tahun lagi. Abang kan udah dua puluh tiga, berarti abang itu cowok tua yang suka daun muda, ya Kek?”
Belum sempat dia lanjut bicara, tongkat Kakek kembali mengetuk lantai.
“Pergi sana!” bentaknya kesal.
Lukman kaget. “Lho, kenapa lagi, Kek?”
Tapi belum sempat bertanya lebih jauh, suara lembut memecah udara.
“Kakek Winarta.”
Suara itu membuat Lukman menoleh cepat.
Di depan pintu, berdiri Shinta Bagaskara, dan di sampingnya, siapa lagi kalau bukan Fajar Pramudya.
Mata Lukman langsung membulat.
“Serius? Abang udah bawa calon istri ke rumah dan langsung kenalin ke Kakek? Cepet amat!”
Ia menatap Shinta dengan wajah tak percaya.
Cewek itu jelas bukan tipe yang mudah luluh. Kok bisa sedeket ini sama abangnya?
Lukman menatap keduanya, ingin mencubit pipinya sendiri memastikan ini bukan mimpi.
Begitu melihat Shinta, ekspresi Kakek Winarta langsung berubah drastis. Dari muram jadi sumringah.
“Aduh, Shinta, akhirnya kamu datang juga! Kakek ini kangen sekali!”
Ia bangkit dengan semangat, menggenggam tangan Shinta penuh hangat. “Kau tambah kurus, ya? Apa orang rumah memperlakukanmu nggak baik? Mau Kakek yang turun tangan?”
Shinta hanya bisa terkekeh kecil. “Enggak kok, Kek. Aku baik-baik aja.”
Fajar berdiri di samping, wajahnya tetap tenang tapi pandangannya tak lepas dari Shinta.
Sementara Lukman, yang sejak tadi duduk bengong, menatap mereka dengan campuran takjub dan bingung.
“Kakek...” ujarnya pelan. “Kalian... saling kenal?”
Kakek Winarta menepis pertanyaannya dengan malas, “Bukan urusanmu!”
Lalu ia segera menarik Shinta duduk di sofa dan mulai berbincang hangat, seolah Lukman tidak ada di sana.
Melihat itu, Fajar hanya berdiri di samping dengan wajah dingin.
Alih-alih pergi, Lukman malah duduk di kursi seberang, mencoba ikut nimbrung. Kapan lagi bisa ngobrol langsung sama Shinta Bagaskara?
Tapi baru saja duduk, hawa dingin langsung menyelimuti ruangan.
Fajar memandangnya tajam. Dari tadi ia masih kesal karena sempat mendengar ucapan Lukman soal “cowok tua yang suka daun muda.”
Dua puluh tiga itu tua? Padahal beda lima tahun aja, itu umur ideal buat pasangan.
Lukman, yang clueless, cuma menggigil kecil.
“Kok tiba-tiba dingin ya? Padahal AC-nya nggak nyala.”
Kakek Winarta meliriknya kesal.
Untuk mencairkan suasana, Lukman ikut duduk di tepi sofa. “Kak Shinta,” katanya asal, “aku dengar kamu berhasil bikin Raka Birawa nurut di sekolah? Wah, keren banget, itu cowok keras kepala loh.”
Shinta menatapnya, tersenyum kecil. “Cuma kebetulan aja.”
Kakek Winarta menoleh dengan bangga. “Tuh kan, anak perempuan memang lebih tenang. Nggak kayak kamu, Lukman, tiap hari bikin masalah.”
“...Iya deh, Kek,” gumam Lukman, pura-pura pasrah.
Shinta hanya tersenyum tipis, matanya tenang.
Dulu, di kehidupan sebelumnya, ia memang pernah bertemu Lukman, tahu kalau dia cucu Kakek Winarta, tapi mereka tak sedekat ini.
Sekarang, setelah hidupnya berubah, arah semua orang di sekelilingnya pun ikut bergeser.
Mungkinkah takdirku juga bisa berubah?
Mungkinkah kali ini… Kakek Winarta tidak akan pergi secepat dulu?
Lukman terus ngoceh sampai hampir sepuluh menit, sampai akhirnya Kakek Winarta memukul lantai keras-keras.
“Lukman! Kalau kamu nggak berhenti ngomong, keluar sana!”
Lukman langsung pura-pura mengunci bibir dan membuang kuncinya.
Shinta kemudian mengeluarkan sebuah gulungan lukisan.
“Kakek, aku mau minta pendapat. Ini lukisan untuk lomba kota. Aku pengin tahu pendapat Kakek.”
Wajah Kakek Winarta langsung berubah lembut. “Oh, kau ikut lomba melukis? Bagus! Sini, Kakek lihat.”
Shinta membuka gulungan itu perlahan di atas meja.
Kertasnya mengembang pelan, menyebarkan aroma tinta yang samar—seperti membawa kembali kenangan lama yang belum benar-benar usai.
Kakek Winarta menatap gulungan lukisan itu tanpa suara.
Yang pertama terlihat adalah kegelapan, sebuah ruangan suram, nyaris tanpa cahaya, di mana ada seorang gadis di depan kanvas. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus dan letih, di lukisannya, tampak juga wajah seorang gadis remaja dengan mata besar penuh kesedihan, seolah sedang menatap masa lalu yang tak bisa diubah.
Fajar terpaku. Matanya membesar, dadanya bergemuruh.
Lukisan itu… Fajar pernah melihatnya, dalam mimpi dan sosok gadis yang sedang melukis dan di dalam lukisan itu, adalah Shinta sendiri.
Namun, dalam mimpi Fajar wajah Shinta di sana jauh lebih tua, lebih lelah, dan… kehilangan cahaya.
Fajar menatap Shinta lama, pikirannya penuh dengan tanda tanya, kenapa shinta bisa melukis sesuatu yang sama persis dengan mimpiku?
Keheningan pecah ketika Lukman berucap pelan sambil bergidik ngeri. “Duh… lukisannya serem tapi sedih banget, ya.”
semangat thorrr😍😍😍