⛔: Ini hanya fiksi, jika terdapat kesamaan nama, tempat atau kejadian, itu hanyalah kejadian yang tidak disengaja.
Wilona percaya ia memiliki segalanya—cinta, rumah tangga yang hangat, dan suami yang setia. Tapi semua runtuh saat seorang wanita datang membawa kenyataan pahit: ia bukan satu-satunya istri. Lebih menyakitkan lagi, wanita itu telah memberinya sesuatu yang tak bisa Wilona berikan—seorang anak.
Dikhianati oleh orang yang paling ia percaya, Wilona harus memilih: terpuruk dalam luka, atau berdiri dan merebut kembali hidupnya.
"Ketika cinta tak cukup untuk setia… akan kau pilih bertahan atau pergi?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon viaeonni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
"Tante, kenapa dorong adik aku?!"
Teriakan bocah berseragam SMP itu memecah ketegangan. Ia langsung berlutut, membantu adiknya yang masih terisak di lantai. Susunan Lego yang sebelumnya rapi kini berantakan, tertimpa tubuh sang bocah kecil yang jatuh terdorong.
"Adikmu itu kurang ajar! Dia yang mulai duluan dorong Altaf! Memang dasarnya anak nakal!" bentak seorang wanita dengan nada tinggi. Dialah Celina, wajahnya merah padam menahan emosi. Sementara Altaf, bocah lima tahun di sampingnya, terlihat memasang wajah cemberut, menyilangkan tangan sambil memelototi Alkairo yang masih menangis kesakitan. Sebuah benjolan mulai tampak di dahi bocah itu, bekas terbentur meja.
"Tapi Tante nggak harus dorong adik aku juga dong!" Kaiden membalas dengan suara bergetar marah, mencoba menahan emosinya. "Kairo itu masih kecil! Dia nggak sengaja, kok. Altaf duluan yang rebut mainannya, dan itu juga nggak didorong keras!"
"Aku nggak ngrebut, itu emang mainan aku!" teriak Altaf sambil menunjuk ke arah Kairo.
"Kairo yang ambil duluan! Kairo nyuri mainan Altaf!"
Suaranya nyaring, penuh emosi khas anak kecil yang ngerasa paling benar. Wajahnya cemberut, matanya melotot, dan jari telunjuknya masih menuding Kairo yang masih menangis di pelukan Kaiden.
"Ada apa sih ini ribut-ribut? Kalian nggak lihat di sini sedang ada tamu?" suara Nyonya Anna meninggi, matanya menatap tajam ke arah sumber keributan. "Bisa nggak sih sehari saja kalian nggak bikin onar? Dan kamu juga, Celin, kenapa kamu dorong Kairo?" Nada bicaranya penuh kegeraman, jelas sekali diskusi mereka tadi terganggu.
Celina mendengus pelan, tapi tetap menjawab dengan suara penuh emosi.
"Ma, aku cuma reflek! Tadi Kairo tiba-tiba dorong Altaf. Gimana kalau Altaf sampai kenapa-kenapa? Lagian ini semua juga salah kedua anak itu, mereka mencuri mainan Altaf jelas Altaf marah," ucapnya, masih dengan nada membela diri.
Sementara itu, Wilona memandangi Kairo dengan tatapan iba. Bocah itu menangis tersedu-sedu, namun tak ada satu pun orang dewasa yang menenangkannya. Semua sibuk berdebat, seolah tangisannya tak terdengar.
"Kami nggak mencuri!" Kaiden akhirnya bersuara lantang, berusaha membela adiknya. "Mainan itu ada di gudang, pelayan bilang udah nggak dipakai lagi. Makanya kami ambil buat Kairo main.”
Nyonya Anna hanya bisa memijat pelipisnya, merasa lelah dengan keributan yang tak kunjung reda. Ia tahu, dalam situasi seperti ini, ia tak bisa berkata banyak, terutama jika menyangkut Altaf. Bocah itu memiliki posisi yang istimewa di rumah ini, putra dari Emir Zafer Adskhan, anak tiri Nyonya Anna dari pernikahan suaminya terdahulu.
Sementara di sisi lain, Kairo dan Kaiden adalah cucu kandungnya sendiri, buah hati dari putra kandungnya bersama mantan suami.
Dan Emberly adalah putri dari pernikahan keduanya dengan Harlan Zafer Adskhan, suami yang sekarang.
Semua ikatan yang rumit ini membuatnya sulit mengambil sikap tanpa melukai salah satu pihak. Ia hanya bisa menarik napas panjang, berusaha menahan perasaan yang bercampur aduk di dalam dadanya.
"Ini kan cuma persoalan anak-anak, kenapa Kak Celin sampai harus mendorong Kairo segala?" ujar Emberly dengan nada tegas namun tetap terkontrol.
"Altaf juga nggak luka, nggak ada yang serius terjadi. Tapi coba lihat Kairo, keningnya sampai membiru." Emberly melirik bocah kecil itu dengan sorot prihatin.
"Sebagai orang tua, Kak Celin seharusnya bisa lebih bijak menyikapi pertengkaran anak-anak. Bukan malah ikut terbawa emosi dan melukai mereka," lanjutnya, jelas terdengar kecewa dengan tindakan sang kakak ipar.
"Dia itu istrinya Tuan Emir, anak kandung dari Tuan Harlan. Makanya suka merasa paling berkuasa," bisik Niki pelan ke telinga Wilona, yang sejak tadi menatap Celin dengan raut tak suka.
"Mentang-mentang Mister Dugem bukan anak kandung Tuan Harlan, dia jadi sering semena-mena sama Kairo dan Kaiden.”
Hati Wilona seketika mencelos melihat Kaiden yang berusaha menggendong dan menenangkan adiknya dengan penuh kepanikan.
Tanpa pikir panjang, Wilona melangkah mendekat. Dengan lembut, ia mengambil Kairo dari pelukan Kaiden, seolah naluri keibuannya muncul begitu saja.
"Ember, kamu nggak perlu ikut campur. Kamu belum jadi ibu, jadi kamu nggak akan mengerti gimana cemasnya seorang ibu saat anaknya diganggu," ujar Celin dengan nada tinggi.
"Lagian, baru tiga hari mereka dititipkan di sini, tapi sudah bikin masalah. Anak-anak itu terlalu nakal, pantas saja nggak ada pengasuh yang tahan lama sama mereka.”
"Mama sendiri tahu kan, sudah berkali-kali Kaiden bikin masalah di sekolah sampai Mama harus turun tangan langsung. Kairo juga, kemarin memecahkan vas Gucci yang mahal itu. Belum lagi dia sempat mencakar wajah Altaf! Dan sekarang dia mencuri mainan Altaf."
"Sudah dibilang, kami nggak mencuri, Tante!" teriak Kaiden dengan mata memerah. Ia benar-benar tak terima dituduh begitu. Bandel, iya. Tapi mencuri? Tidak pernah.
Kenapa semua orang di rumah ini selalu menilai ia dan adiknya anak nakal? Bahkan soal vas Gucci itu, yang memecahkan sebenarnya adalah Altaf. Tapi, seperti biasa, Altaf malah menyalahkan Kairo. Padahal adiknya bahkan sempat digigit, dan karena panik serta kesakitan, Kairo membalas mencakar wajah Altaf.
Namun ketika Kaiden mencoba menjelaskan semua yang sebenarnya terjadi, tak satu pun orang dewasa yang mau percaya. Bahkan nenek mereka sendiri, grandma-nya lebih memilih diam, seakan kebenaran tak ada artinya dibanding posisi Altaf di keluarga ini.
Wajah Nyonya Anna tampak lelah. Nada suaranya dingin dan tegas, tak memberi ruang untuk dibantah.
"Grandma sudah membuat keputusan," ujarnya sambil menatap Kaiden dan Kairo bergantian. "Kalian berdua pulang hari ini juga. Grandma akan minta pelayan untuk mengemas semua barang kalian. Baru tiga hari kalian di sini, tapi sudah membuat grandma pusing... bagaimana kalau sepuluh hari?"
Ia menghela napas panjang, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih dingin, "Pokoknya grandma akan telepon Daddy kalian dan minta dia pulang dari luar kota segera. Grandma sudah nggak sanggup lagi dititipin kalian."
Kaiden menunduk. Tangannya menggenggam erat jemari Kairo yang masih terisak di gendongan Wilona. Hatinya seperti diremas. Bukan karena akan pulang, tapi karena sekali lagi, mereka dianggap sebagai beban.
"Mom! Kenapa mommy tega?" seru Ember dengan nada tak percaya. "Kak Afkar sudah titipin mereka selama sepuluh hari. Sekarang baru tiga hari, dan mommy mau usir mereka? Gimana mereka tinggal sendiri di apartemen sementara kak Afkar masih di luar kota? Pelayan juga pulang kampung…"
Suara Ember nyaris bergetar, matanya menatap ibunya dengan kecewa. Ia benar-benar tak menyangka keputusan itu keluar dari mulut ibunya sendiri. Jika bukan karena keberangkatannya ke Paris besok pagi, Ember pasti akan memilih tinggal dan menjaga kedua keponakannya sendiri.
"Mommy akan paksa Afkar pulang hari ini juga. Ini sudah keputusan mommy," ucap Nyonya Anna tegas, sebelum meraih ponselnya dan segera menghubungi putranya, Ayah dari Kaiden dan Kairo.
Sementara itu, disisi lain, Celin menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan senyum sinis yang terselip di sudut bibirnya. Ia tak pernah benar-benar menyukai keberadaan dua bocah itu, terlebih lagi ibu dari mereka, yang menurutnya hanya membawa masalah di keluarga ini, beruntung dia sudah bercerai dari Afkar.
BERSAMBUNG
DUKUNGAN TEMAN-TEMAN SEMUA SANGAT BERHARGA.....LOVE YOU ALL.....
JANGAN LUPA BERI LIKE, KOMEN DAN VOTE
hayuuuk lanjut Thor....
ditunggu kelanjutannya