Aila Rusli tumbuh dalam keluarga pesantren yang penuh kasih dan ilmu agama. Diam-diam, ia menyimpan cinta kepada Abian Respati, putra bungsu Abah Hasan, ayah angkatnya sendiri. Namun cinta mereka tak berjalan mudah. Ketika batas dilanggar, Abah Hasan mengambil keputusan besar, mengirim Abian ke Kairo, demi menjaga kehormatan dan masa depan mereka.
Bertahun-tahun kemudian, Abian kembali untuk menunaikan janji suci, menikahi Aila. Tapi di balik rencana pernikahan itu, ada rahasia yang mengintai, mengancam ketenangan cinta yang selama ini dibangun dalam doa dan ketulusan.
Apakah cinta yang tumbuh dalam kesucian mampu bertahan saat rahasia masa lalu terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4 PENANTIAN CINTA HALAL
Langit pesantren tampak cerah. Di pelataran ndalem, sepulang dari madrasah, Aila menyapu guguran daun kering. Keringat membasahi pelipisnya, sementara angin sore pelan-pelan meniup ujung kerudung lebarnya. Gadis itu menghela napas panjang, lalu duduk sejenak di kursi kayu taman, mengipas wajah dengan jilbab.
Tiba-tiba mobil hitam berhenti tak jauh dari tempatnya. Suara decit rem dan derap langkah sepatu mengkilap terdengar. Bayu Langit, dengan wajah datar dan setelan rapi, melangkah turun dari mobil.
"Kenapa nggak Mang Ujang saja yang bersihin? Siapa yang nyuruh kamu nyapu, Aila?" tanyanya dingin, menatap tajam adiknya.
"Nggak, emang harus ya mas, mau nyapu pun izin mas Bayu...? Aila memang pengen bersihin sendiri, biar bersih" sahut Aila malas ngeladeni Mas Bayunya yang super galak bin cerewet.
"Masuk. Biarkan Mang Ujang yang bersihkan. Kamu bukan santri kebersihan." Nada Bayu tak bisa ditawar.
"Aila nggak mau," potong Aila cepat.
Bayu mendekat dua langkah. "Ailaa..."
"Apa sih, Mas! Aila cuma bersihin daun, nggak ke sawah juga!"
Aila kembali berjongkok, menyapu daun ke dalam keranjang sampah. Namun tiba-tiba, tangan Bayu menahan pergelangan tangannya. Aila terkejut.
"Masuk. Kamu nggak bisa kena debu," ujar Bayu pelan tapi tegas.
"Mas, Aila ini bukan anak kecil! Bahkan Mas Abi saja nggak segitunya ngatur Aila. Nggak perlu juga, Mas Bayu sok protektif!" ucap Aila sambil menarik tangannya.
Bayu terdiam. Lalu perlahan melepaskan cengkeramannya.
"Maaf."
Ucap Bayu.Ia kemudian masuk ke ndalem tanpa sepatah kata lagi. Tapi di balik langkahnya yang menjauh, ada pandangan yang tidak biasa. Ada sesal, sekaligus rasa bersalah dalam hati Aila.
Semenjak Bayu Langit diminta mengajar di madrasah, dan masuk di kelas Aila, hubungan mereka makin sering bergesekan. Aila merasa Bayu terlalu mengatur, terlalu membatasi. Bayu... tetap lah Bayu, dingin, tajam, tak pernah mencoba merayu dengan kata manis.
Malam datang membawa sepi. Di kamar, Aila memandangi layar ponselnya. Ia mengetik pesan.
Sudah hampir tiga Minggu Abian tak memberinya kabar.
“Mas… bisa minta waktunya sebentar, Aila bosen. Aila pengen ngobrol banyak hal?”
Pesan itu dikirim pada Abian. Tak lama, centang biru muncul. Lalu balasan datang.
“Ada apa? Mas lagi sibuk. Bisa tolong jangan ganggu mas dulu. Untuk satu bulan ke depan.”
Aila menelan ludah. Jari-jarinya kembali menari.
“Sibuk apa, Mas? Ini kan libur semester.”
“Itu kamu yang libur, bukan mas. Mas nggak ada liburnya di sini.”
Aila mencoba menahan kecewa.
“Tapi Mas, untuk balas chatku saja, kamu sampai nggak ada waktu?”
Tak ada jawaban. Aila menunggu. Sepuluh menit. Dua puluh. Tiga puluh. Hingga akhirnya… Abian memblokirnya.
Aila menatap layar ponsel yang tak bisa lagi mengirim pesan. Ia merutuk dalam hati, lalu meletakkan ponsel di atas nakas. Ia membaringkan diri. Tapi gelisah tak bisa tidur.
Ia keluar ke taman belakang. Duduk di bangku batu, membuka buku yang tak benar-benar dibaca. Dari arah pintu samping, suara tongkat mengetuk lantai terdengar.
"Anak gadis Abah kok murung, nduk, belum tidur?" suara Kiai Hasan terdengar tenang. Aila langsung berdiri, mencium tangan beliau.
"Nggak bisa tidur Bah"
Ujar Aila pelan. Hasan menatap putrinya.
"Bisa tolong buatkan Abah kopi?" pinta Hasan lembut.
Aila menyipit, "Kopi? Bukannya tadi abis mangriban, Abah udah minum kopi?"
"Iya, tapi belum habis, baru separo. Tapi tiba-tiba cangkirnya hilang dari meja."
Aila terkekeh, "Jangan-jangan Umi naruh ke tempat cuci piring."
Di dapur, Aila bertanya pada Fatimah.
"Umi, tadi naruh cangkir kopi Abah?"
"Lho, ndak kok, nduk. Umi malah nggak lihat."
Tiba-tiba Bayu muncul, meletakkan tas kerja.
"Tadi Mas yang buang, soalnya ada lalat masuk ke dalam kopinya Abah."
"Loh, tiap hari lalat terus Mas? Kopi Abah kan selalu ditutup," celetuk Aila sambil menyeduh kopi baru.
Kembali ke taman, Aila membawa cangkir baru.
"Ini Bah, kopinya."
Hasan mengangguk. Bayu duduk di kursi sebelah.
"Mas Bayu mau kopi juga?"
Tawar Aila, gadis itu males sebenarnya nawari mas Bay-nya. Tapi karena menghargai tetap ditawarin.
"Ndak. Mas nggak suka kopi."
Sahut Bayu.
Saat Aila berjalan ke arah dapur,
Bayu tiba-tiba menoleh ke arah Aila yang sambil mengangkat HP dari saku. Layar ponsel menyala, video call.
"Mas Abi...? Katanya tadi nggak mau diganggu selama satu bulan...?" tanya Aila manja, sambil manyun manyun.
"Gimana mau sebulan, satu jam aja, Mas Abi udah kangen bangat, Dek. Lihat wajah kamu, lihat wajah kamu bikin mas lega," suara Abian terdengar dari layar.
Aila tersenyum, lalu menjawab dengan nada manja, "Aila juga kangen, Mas Abi…"
Tanpa sadar, Bayu yang baru lewat di belakangnya berhenti. Suaranya tajam memotong percakapan.
"Berhenti bicara dengan suara seperti itu. Nada manjamu bisa menimbulkan fitnah."
Aila terkejut, langsung mematikan panggilan. Matanya membelalak.
"Mas! Itu video call pribadi, bukan kajian! Nggak semua nada suara harus kaku dan ketus seperti Mas Bayu!"
Bayu tak langsung menjawab. Hanya menatap dingin. Tapi mulut Bayu tak puas sepertinya jika tak mengomentari.
"Kamu tahu, suara itu juga bagian dari aurat, ketika suaramu sengaja dimanjakan. Dan kamu bicara seperti itu, di ruang terbuka. Berapa banyak laki-laki bisa dengar?"
Ujarnya dingin. Dan ini teguran Bayu yang kedua kali.
Aila menghela nafas panjang.
"Mas terlalu berlebihan! Aila hanya menjawab kalimat rindu tunangan Aila. Bukan rayuan genit ke tukang gorengan!"
Keluh Aila geram.
"Kalau begitu, belajarlah cara menjawab yang tidak mengundang dosa," potong Bayu pelan.
Aila mengatupkan bibir, matanya panas pengen meledak. Bayu Langit berbalik. Langkahnya menjauh perlahan, tegas, tenang, namun mengoyank dada Aila.
Bayu terlalu peduli pada gadis remaja itu.
Meski Bayu bukan ayah, bukan pula kekasih, namun ucapannya seperti pagar yang Allah letakkan untuk menjaganya.
Bukan karena Bayu ingin mengatur,
Tapi karena ia ingin Aila tak menjadi alasan jatuhnya seorang lelaki dalam pandangan yang haram.