Dulu, dia hanyalah seorang anak jalanan—terlunta di gang sempit, berselimut kardus, hidup tanpa nama dan harapan. Dunia mengajarinya untuk tidak berharap pada siapa pun, hingga suatu malam… seorang gadis kecil datang membawa roti hangat dan selimut. Bukan sekadar makanan, tapi secercah cahaya di tengah hidup yang nyaris padam.
Tahun-tahun berlalu. Anak itu tumbuh menjadi pria pendiam yang terbiasa menyimpan luka. Tanpa nama besar, tanpa warisan, tanpa tempat berpijak. Namun nasib membawanya ke tengah keluarga terpandang—Wijaya Corp—bukan sebagai karyawan, bukan sebagai tamu… tapi sebagai calon menantu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Takdir Yang Mengikat
Pintu kamar itu menutup pelan, hanya menyisakan bayangan Arka yang perlahan meninggalkan ruangan.
Laras masih duduk di tempat yang sama. Diam. Tak bergerak.
Tangannya tetap menggenggam selimut, tubuhnya sedikit menggigil. Bukan karena dingin. Tapi karena sesuatu yang terasa meledak diam-diam dalam dadanya.
Air matanya masih menggantung di sudut mata. Ia tidak tahu apakah harus tersenyum atau menangis.
Hatinya penuh oleh rasa yang tak sempat ia beri nama.
Ia menunduk pelan, memandangi sepotong roti gandum yang kini tergeletak di meja kecil di samping ranjangnya. Roti itu tampak sederhana. Tapi di baliknya… ada sepuluh tahun cerita yang diam-diam terkubur. Sepuluh tahun luka. Sepuluh tahun sunyi. Sepuluh tahun harapan yang dijaga dalam diam oleh seseorang yang kini berdiri begitu dekat… tapi sekaligus terasa jauh.
Laras menyentuh permukaan bungkus roti itu dengan ujung jarinya. Hangatnya telah sedikit pudar. Tapi maknanya—terasa lebih hangat dari apa pun yang pernah ia terima.
Ia menarik napas panjang, lalu mendongak menatap langit-langit ruangan yang putih pucat.
“Jadi… itu kamu?” batinnya lirih.
“Anak laki-laki di gang itu…”
Sekali lagi kenangan itu muncul...Hujan deras, kantong plastik putih, napasnya yang memburu saat berlari, dan senyumnya sendiri yang saat itu mungkin tampak remeh… tapi ternyata disimpan seseorang selama bertahun-tahun.
Ia tak pernah menyangka… bahwa hal kecil seperti itu bisa mengubah hidup seseorang.
Laras menutup mata.
Setetes air mata jatuh lagi.
Namun kali ini, senyum tipis mengembang di wajahnya.
Senyum yang bukan karena bahagia, bukan juga karena sedih.
Tapi karena ia akhirnya mengerti.
Bahwa sejak awal… mereka tidak pernah benar-benar asing. Bahwa mungkin… takdir telah menulis cerita mereka jauh sebelum mereka tahu arti pertemuan itu sendiri.
Laras membuka mata, memandang ke arah jendela yang masih tertutup tirai.
Tapi di balik tirai itu, ia tahu—matahari pasti sedang menunggu waktunya. Sama seperti perasaannya… yang perlahan mulai menemukan arah.
Ia mengusap air matanya, lalu meraih sepotong roti itu.
Menggigitnya pelan.
Dan untuk pertama kalinya sejak malam itu—ia tersenyum.
Senyum kecil. Senyum yang sederhana. Tapi penuh makna.
Sementara itu...Beberpa lantai di atas kamar Laras. Arka tidak pulang.
Ia berdiri diam di tepi atap rumah sakit, memandang kosong ke arah kota yang masih diselimuti gelap. Lampu-lampu jalanan terlihat seperti titik-titik kecil yang menyala redup. Suara sirene ambulans di kejauhan sesekali terdengar, tapi tak membuatnya menoleh.
Arka menyandarkan satu tangan ke pagar beton atap. Nafasnya tenang, wajahnya datar. Tapi ada sorot tajam yang tak bisa disembunyikan dari matanya—seolah pikirannya sedang berjalan jauh lebih cepat dari tubuhnya.
Pikirannya kembali ke masa lalu.
Bukan karena ia ingin. Tapi karena untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun... masa itu datang kembali—muncul begitu saja setelah ia melihat mata Laras barusan.
Gang sempit. Bau air hujan dan kardus basah. Perutnya yang melilit menahan lapar. Dan kemudian...
Suara itu. Langkah kaki kecil yang kembali. Roti hangat di pangkuan. Senyum seorang gadis kecil yang bahkan tak ia tahu namanya… tapi memberinya alasan untuk tetap hidup.
Arka memejamkan mata sebentar.
Ia mengira perasaan itu sudah mati. Ia pikir, setelah bertahun-tahun menjadi bayangan, semua rasa di dalam dirinya sudah mengering.
Tapi ternyata… dia salah. Selama ini perasaanya hanya membeku.
Dan dari kamar itu, senyum Laras telah mencairkan semuanya. Membuatnya sadar, bahwa luka itu masih ada. Bahwa janji lama yang ia buat pada dirinya sendiri... belum pernah benar-benar ia lupakan.
Melindungi gadis itu. Melindungi senyumnya. Melindungi hangatnya roti dalam pelukan.
Arka membuka mata kembali, menarik napas pelan.
Tapi sebelum pikirannya hanyut lebih jauh...
Sebuah suara terdengar di belakangnya.
"Maaf mengganggu, Tuan."
Arka menoleh sedikit.
Dari balik bayangan tangki air di sudut atap, sesosok pria bersetelah gelap muncul dan langsung berlutut di belakangnya. Wajahnya tertutup topeng logam berwarna hitam matte, hanya menyisakan sorot mata yang tajam dan penuh disiplin.
Nocturne.
"Apa yang kamu temukan?" tanya Arka tanpa membuang pandangannya dari kota.
Nocturne mengangguk sekali, lalu menjawab dengan tenang.
"Gerakan keluarga Lim mulai tampak. Wakil kepala keluarga mereka, Darius Lim, diketahui menghadiri beberapa pertemuan tertutup segera setelah pertemuan terakhirnya dengan Tuan Wijaya. Lokasinya berpindah-pindah. Kami mendeteksi pola komunikasi yang mencurigakan di lingkar dalam mereka."
Arka mengepalkan tangan di pagar. Masih tanpa kata.
Nocturne melanjutkan, lebih hati-hati.
"Beberapa eksekutif di anak perusahaan Wijaya Group juga sudah mulai ditekan. Tampaknya mereka ingin menciptakan ketidakstabilan dari dalam sebelum menyerang secara langsung."
Arka mengangguk tipis. Lalu bertanya pelan.
"Apakah mereka menargetkan Laras secara langsung?"
Sesaat, Nocturne ragu menjawab. Tapi akhirnya mengangguk.
"Secara tidak langsung, ya. Mereka menyebar rumor soal skandal menantu gelandangan Keluarga Wijaya. Nama Laras akan mulai dikaitkan ke situ… Sepertinya mereka ingin menghancurkan reputasi sebelum menyerang secara fisik."
Arka menghela napas pendek. Dingin.
"Biarkan mereka merasa unggul," ucapnya datar. "Aku ingin mereka percaya bahwa tidak ada yang mengawasi. Juga...aku ingin melihat bagaimana keluarga Wijaya menghadapinya."
Ia berbalik menghadap Nocturne. Mata mereka bertemu.
"Tapi pantau terus semua pergerakan mereka. Dan kirimkan beberapa ellite untuk menjaga Laras dari kejauhan..."
Nada suaranya turun drastis, tajam seperti ujung pisau.
"...Jika ada yang mencurigakan dan berniat mencelakai Laras, potong tangannya dan kirimkan ke keluarga Lim."
Nocturne menunduk dalam. "Perintah diterima."
Arka menatap kota yang tertidur itu sekali lagi.
Dengan tatapan seseorang yang tidak akan membiarkan apapun mengusik hal yang berharga baginya.
Angin dini hari kembali berhembus. Sunyi melingkupi atap itu. Tapi belum ada tanda Nocturne bergerak.
Arka berbicara lagi, pelan namun penuh penekanan.
“Dan juga...panggil Velena.”
Nocturne mengangkat wajah sedikit, menunggu instruksi berikutnya.
“Kirim dia untuk berteman dengan Laras,” lanjut Arka. “Jaga dia dari dekat. Bukan hanya sebagai pengawas… tapi sebagai seseorang yang bisa ia percayai.”
“Dan pastikan semua ancaman padanya… menghilang tanpa jejak.”
Nocturne mengangguk tanpa ragu.
Arka menambahkan, “Lalu, tentang misinya… biarkan Mirael yang melanjutkan. Mulai sekarang, Velena akan fokus pada satu hal saja.”
Nocturne menunduk dalam. “Perintah diterima.”
Lalu seperti bayangan, ia menghilang ke dalam gelap. Meninggalkan Arka sendiri di atas atap rumah sakit.
Angin dini hari menyentuh wajahnya. Tapi bukan dingin yang menggigilkan tubuhnya…Melainkan sebuah janji lama yang kini menyala kembali.
Dan segalanya terhubung dengan takdir yang erat.
Laras yang tersenyum dalam diam di lantai bawah, dan Arka menggenggam tekadnya kuat, di atas ketinggian.
Dua hati yang terpisah, namun dituntun oleh takdir yang sama.