ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29: Inspeksi Dadakan Nyonya Elizabeth Leonhart
Minggu pagi baru saja merekah ketika suara bel terdengar dari pintu utama rumah mereka. Elina yang tengah menggulung rambutnya dengan handuk, baru keluar dari kamar mandi, menatap heran ke arah Adrian yang sedang menyeduh kopi. Claire masih bermain puzzle di lantai ruang tengah.
"Siapa yang datang sepagi ini?" gumam Elina sambil mengeringkan rambutnya dengan satu tangan.
Adrian meletakkan cangkir kopinya, melangkah menuju pintu. Begitu pintu terbuka, sosok yang berdiri di baliknya membuat udara terasa lebih tegang.
Elizabeth Leonhart.
Elegan dalam balutan mantel wol krem dan topi lebar yang mencerminkan statusnya, wanita tua itu berdiri tegak seperti jenderal yang siap melakukan inspeksi pasukan. Di belakangnya, dua pelayan membawa beberapa kantong belanjaan dan sebuah koper kecil.
"Selamat pagi, Adrian. Aku harap kau belum lupa siapa yang membesarkanmu," katanya tegas, lalu masuk tanpa menunggu jawaban.
Adrian menoleh sekilas ke arah Elina yang segera menegakkan tubuhnya dan menyambut sang nenek dengan senyum gugup. Claire berdiri dan memberi salam sopan.
"Pagi, Nenek!"
"Pagi juga, sayang." Elizabeth menjawab Claire dengan senyum manis yang nyaris tidak selaras dengan energi tajam yang ia bawa pagi itu. "Mainlah di kamarmu sebentar, Nenek ingin bicara dengan mama dan daddy-mu."
Setelah Claire menghilang di balik pintu kamarnya, Elizabeth langsung menginspeksi rumah itu, dari dapur, ruang tamu, hingga kamar tidur. Dan ketika ia masuk ke kamar utama, matanya menyipit, memperhatikan satu ranjang besar dan dua bantal yang saling berdampingan.
"Bagus. Kalian tidur bersama," gumamnya, kemudian melirik Elina dari balik bahunya. "Aku harap ini bukan sekadar pajangan untuk menipu penglihatanku."
Adrian menghela napas, bersandar di dinding. "Nenek, kami hidup bersama. Ini bukan sandiwara."
"Oh, aku tahu," kata Elizabeth sembari menjentikkan jarinya ke arah pelayan. "Letakkan semua itu di atas ranjang."
Beberapa bungkusan dan koper diletakkan hati-hati. Elina menatap penuh tanya, sementara Elizabeth membuka satu per satu isinya.
"Ini," katanya sambil mengangkat sebuah baju tidur berbahan satin tipis yang lebih mirip selimut angin daripada pakaian. "Untukmu, Elina. Pilih yang membuat Adrian sulit tidur malam."
Elina terbatuk pelan, wajahnya memerah. Adrian langsung berdiri tegak, "Nenek..."
"Tunggu dulu." Elizabeth mengangkat botol kecil yang tampak seperti ramuan herbal. "Penguat kandungan. Bukan karena aku tak percaya pada kesehatan Elina, tapi karena aku ingin cucuku yang satu ini segera punya adik."
Lalu satu botol lagi ia sodorkan pada Adrian. "Dan ini, untuk stamina laki-laki. Kalau perlu minum dua kali sehari."
Elina tertunduk, tidak tahu harus tertawa atau menangis. Adrian meremas pelipisnya pelan.
"Nenek, kami baru saja memulai. Kami butuh waktu, bukan tekanan. Aku dan Elina masih belajar memahami satu sama lain. Kami tak ingin terburu-buru."
Elizabeth menatap cucunya, keras namun bijak. "Adrian, dalam hidup pernikahan, cinta itu seperti sup, harus direbus perlahan, tapi tak boleh dibiarkan terlalu lama tanpa api. Kau cinta dia, dia cinta kau. Apa lagi yang kalian tunggu?"
Lalu ia menatap Elina. "Jangan terlalu diam, Elina. Jika memang kau sekarang adalah istri dari cucuku, tunjukkan. Bukan hanya dengan kata, tapi dengan... hasil."
Elina hanya mengangguk, mengatupkan jari-jarinya di depan dada. "Saya mengerti, Nyonya Leonhart."
Elizabeth mengangguk, puas dengan reaksi mereka meskipun Adrian jelas masih terlihat tak nyaman.
"Aku akan pulang sekarang. Tapi jangan buatku datang dua bulan lagi tanpa kabar baik. Claire butuh adik, bukan hanya teman bermain."
Ketika mobil Elizabeth akhirnya meninggalkan halaman rumah, Elina dan Adrian berdiri diam di ambang pintu, angin pagi menerpa wajah mereka yang sama-sama lelah.
Adrian melirik istrinya. "Maaf, dia... terlalu terbuka untuk ukuran orang tua."
Elina tertawa kecil, menatap langit sejenak sebelum menoleh padanya. "Tak apa. Aku hanya... belum siap punya koleksi pakaian tidur setransparan itu."
Adrian membalas dengan senyum jenaka. "Kau tak perlu memakainya kalau kau tak mau. Tapi kalau kau pakai... aku juga tidak akan protes."
Mereka tertawa pelan, dan sejenak, ketegangan pagi itu mencair menjadi kebersamaan kecil yang hangat.
...****************...
Hari itu berlalu dengan sunyi yang berbeda.
Meski tawa Claire kembali mengisi rumah dan Adrian bersikap seperti biasa, Elina tahu ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Bukan karena tekanan Elizabeth, bukan pula karena tumpukan pakaian tidur tipis yang kini tersimpan di dalam lemari bajunya, melainkan karena kata-kata terakhir wanita itu menggema jauh lebih dalam dari yang ia kira.
"Claire butuh adik, bukan hanya teman bermain."
Ucapan itu tidak mengandung ancaman. Tidak memaksa. Tapi menancap. Seperti bisikan halus yang bergaung lama di ruang-ruang sunyi benaknya.
Malam itu, saat Adrian tertidur di sebelahnya, Elina duduk dalam gelap. Ia memeluk lutut di atas ranjang, menatap keluar jendela kamar mereka yang masih temaram diterangi lampu taman.
Ia menghela napas, perlahan menyentuh perutnya yang masih rata. Kosong.
Elina mengelus pelan jari manisnya, merasakan lingkaran cincin kawin di sana. Sebuah simbol yang dulu hanyalah kesepakatan, kini terasa seperti janji. Dan pikirannya kembali pada Claire, yang dengan polos memanggilnya "Mama" dan menggenggam tangannya dengan kepercayaan penuh.
Bagaimana rasanya memeluk anak yang tumbuh dari darah dan dagingmu sendiri?
Apakah aku akan cukup baik menjadi seorang ibu sungguhan?
Dan... apakah Adrian akan bahagia?
Wajah pria itu terlintas dalam bayangannya. Adrian yang mengusap rambut Claire dengan lembut. Adrian yang memeluknya diam-diam saat malam datang. Adrian yang... mencintainya, dalam versi paling jujur dan perlahan.
Senyum tipis muncul di wajah Elina. Bukan karena ia sudah siap sepenuhnya, tapi karena untuk pertama kalinya, ia tidak menolak kemungkinan itu.
Mungkin, ia ingin mencoba. Mungkin, ia ingin merasakan keajaiban itu bersama pria yang kini mulai mengisi lubang-lubang sunyi dalam hatinya.
Bukan untuk memenuhi harapan Elizabeth, bukan untuk menyenangkan siapa pun. Tapi karena cinta, cinta yang dulu tumbuh dari keterpaksaan, kini perlahan berubah menjadi pilihan.
Dan malam itu, di antara suara napas Adrian yang damai, Elina menutup matanya dengan satu keputusan yang belum ia ucapkan... namun telah ia terima diam-diam:
Jika Tuhan mengizinkan, aku siap menyambut kehidupan baru itu. Dalam cinta, bukan ketakutan.
...****************...
Pagi itu matahari belum naik tinggi, tapi aroma harum kopi sudah menyusup lembut ke seluruh rumah.
Adrian membuka mata perlahan, dan untuk sesaat, ia pikir ia masih bermimpi.
Di sisi ranjang, duduklah Elina, dengan senyum hangat dan rambut yang dikepang longgar, membawa nampan berisi sarapan sederhana. Sepotong roti panggang, telur mata sapi, dan kopi hitam tanpa gula, persis seperti yang biasa Adrian minum setiap pagi.
"Selamat pagi," ucap Elina dengan nada suara yang lebih lembut dari biasanya, matanya teduh dan tulus.
Adrian mendongak, menyipitkan mata seolah mencoba membaca sesuatu di balik sikap manis istrinya yang tiba-tiba ini. "Kamu bangun lebih pagi dari biasanya," gumamnya pelan, sambil duduk bersandar di sandaran tempat tidur.
"Aku hanya ingin jadi istri yang baik," sahut Elina ringan, lalu menaruh nampan itu di atas pangkuannya.
Ada senyum yang sulit ditebak di wajah Adrian. Ia menatap Elina dalam diam, seolah menyimpan pertanyaan. Tapi sebelum ia sempat bertanya, Elina membungkuk perlahan dan mengecup pipi suaminya. Lembut. Spontan. Dan jujur.
Adrian membeku beberapa detik.
Itu bukan kecupan basa-basi. Bukan kewajiban. Bukan akting untuk menyenangkan siapa pun.
Itu adalah rasa.
"Apa yang membuatmu begitu manis pagi ini?" tanya Adrian dengan nada rendah, nada yang ia pakai ketika mencoba menahan gejolak yang tumbuh di dalam dirinya.
Elina tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum, lalu duduk di sampingnya, membiarkan bahunya menyentuh bahu Adrian. Ia menyandarkan kepalanya di sana, santai, nyaman, seolah tempat itu memang sudah seharusnya untuknya.
"Aku hanya... merasa bersyukur," ucap Elina pelan. "Dan aku ingin mulai menunjukkan itu."
Adrian tidak membalas dengan kata-kata. Ia hanya menatap wanita di sampingnya itu dengan tatapan yang lembut dan dalam. Jemarinya mengusap punggung tangan Elina, mengeratkan genggaman mereka tanpa perlu berkata apa-apa.
Hari itu dimulai dengan lebih lambat, lebih hangat. Claire masih tertidur, dan untuk sesaat dunia hanya milik mereka berdua.
Di dalam hati Adrian, ada sesuatu yang mekar perlahan, pasti. Dan ia tahu, Elina sedang menyembunyikan sesuatu. Bukan rahasia buruk. Tapi sesuatu yang mulai bersemi.
Ia tidak tahu pasti apa itu, tapi ia bisa merasakannya.
Cinta. Harapan. Dan mungkin... sebuah awal baru.