NovelToon NovelToon
CEO DINGIN

CEO DINGIN

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Kaya Raya / Keluarga / Romansa / Dendam Kesumat / Pembantu
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.

Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.

Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2

Suara gemericik air dari kejauhan dan aroma sup hangat yang samar mulai merambat ke dalam kesadaran Arlena.

Kelopak matanya bergerak pelan, sebelum akhirnya terbuka, menyambut cahaya lembut dari langit-langit ruangan yang asing.

Matanya menyapu ruangan luas itu. Dinding putih bersih, lantai marmer, jendela besar dengan tirai semi-transparan yang menari pelan ditiup angin malam. Ini... bukan kamarnya. Bukan juga rumah keluarganya.

Ia mencoba duduk, tapi tubuhnya terasa berat. Seketika, pintu terbuka. Seorang pria muncul dengan nampan di tangannya.

Tanpa bicara, pria itu menghampiri dan meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur.

“Kau sudah bangun,” ucapnya singkat, lalu duduk di sofa seberang ranjang.

Arlena masih bingung. “Aku... di mana ini?”

“Di apartemenku,” jawab Aldric datar.

“Kau pingsan di mobil. Dokter bilang kau kelelahan dan kekurangan nutrisi.”

Arlena menunduk. Rasa malu menyergapnya. Ia membenci kelemahan ini.

Tapi lebih dari itu, ia merasa telanjur membuka sisi rapuh yang selama ini ia sembunyikan dari dunia.

"Maaf..." bisiknya.

Aldric mengernyit. “Untuk apa?”

“Karena merepotkan. Seharusnya aku kuat.”

Aldric berdiri, menatapnya dari atas. Tatapannya tajam, tapi ada sesuatu di sana… kekhawatiran yang tersembunyi.

“Kau tidak perlu minta maaf karena lelah. Itu bukan kelemahan, Arlena.”

Ia menunjuk ke sup yang mengepul hangat. “Makan. Pelan-pelan saja. Aku tidak butuh pelayan pribadi yang pingsan lagi minggu depan.”

Nada bicaranya tetap dingin, tapi Arlena bisa menangkap nada halus dari perhatian yang tersembunyi.

Ia mengangguk, mengambil sendok perlahan. Hangatnya sup mengalir turun ke tenggorokan, membawa ketenangan yang hampir terlupakan.

Aldric melirik jam tangannya. “Setelah kau pulih, kita akan bicara soal pekerjaanmu. Tapi satu hal dulu—”

Arlena menatapnya, menunggu.

“Mulai sekarang, kau tinggal di sini. Aku akan menyediakan kamar, pakaian, dan semua yang kau butuhkan.”

Matanya menyipit sedikit. “Tapi ingat batasannya. Aku tidak suka orang yang mengganggu rutinitas ku.”

Arlena mengangguk pelan. “Aku tidak akan mengganggumu.”

Aldric berbalik dan berjalan ke arah pintu.

Namun sebelum keluar, ia menoleh sebentar. “Dan kalau kau butuh sesuatu, jangan diam saja. Aku tidak bisa membaca pikiran.”

Pintu tertutup kembali. Hening.

Arlena duduk diam, memandangi semangkuk sup yang mulai dingin.

Ia masih bingung kenapa pria itu menolongnya. Tapi entah mengapa, untuk pertama kalinya setelah sekian lama... ia merasa sedikit aman.

Sendok demi sendok, Arlena menyuapkan sup hangat ke mulutnya. Rasa gurihnya sederhana, tapi hangatnya terasa sampai ke dada.

Tubuhnya mulai sedikit ringan, meski masih lemas. Ia makan perlahan, takut tubuhnya menolak makanan setelah berhari-hari kosong.

Setelah setengah mangkuk habis, ia bersandar di bantal, memandangi nampan dengan pikiran berkelana.

“Siapa dia sebenarnya?” batinnya bergema.

Pria itu… Aldric Hartanto. Ia belum pernah bertemu seseorang sepertinya. Wajahnya keras, tutur katanya dingin, seolah tak mengenal kata empati. Tapi tindakannya… berbeda.

Ia memberinya tempat tidur hangat.

Ia memanggil dokter.

Ia bahkan menyiapkan makanan.

Seseorang yang begitu asing... tapi memperlakukannya lebih manusiawi daripada keluarganya sendiri.

“Kenapa dia baik padaku? Apa dia sedang menjebak ku?”

Arlena menggigit bibir. Ia sudah terlalu sering disakiti untuk percaya begitu saja.

Dunia mengajarkannya bahwa setiap kebaikan pasti ada bayaran tersembunyi.

Tapi tatapan pria itu tadi… bukan tatapan pria licik. Bukan juga pria yang berniat memanfaatkan.

Lebih dari itu, justru tatapan… kesepian.

Arlena menatap keluar jendela. Malam menggantung tenang.

Ia memeluk lututnya, selimut tebal menutupi tubuhnya.

“Apa aku sudah terlalu rusak untuk pantas mendapatkan kebaikan seperti ini?”

Satu tarikan napas panjang, lalu ia berbisik pada dirinya sendiri, pelan:

"Aku akan tetap kuat. Tidak peduli tempat ini sementara atau tidak. Aku akan bekerja… dan membuktikan aku bukan gadis lemah seperti yang mereka kira."

Di luar, angin berhembus lembut. Di dalam, seorang gadis yang selama ini dihancurkan oleh keluarganya... perlahan mulai membangun ulang dirinya sendiri.

Arlena masih berbaring di ranjang empuk ketika suara pintu apartemen terbuka. Ia mendengar langkah kaki masuk — bukan langkah Aldric, lebih cepat, lebih ringan.

Suara laki-laki terdengar dari luar kamar, terdengar santai dan riang.

"Bro! Kau di rumah? Gila, susah banget ngajak lu nongkrong sekarang—"

Pintu kamar terbuka sebelum Arlena sempat bangun dari posisi tidurnya.

Seorang pria berambut cokelat terang dengan setelan kasual berdiri di ambang pintu, alisnya terangkat saat melihat Arlena.

Mata mereka bertemu.

Dia tampan, dengan aura lebih hangat dan terbuka dibanding Aldric. Tapi ekspresinya langsung berubah bingung.

“Eh?” Dia melangkah masuk pelan. “Siapa kamu?”

Arlena langsung panik dan mencoba duduk tegak, meski tubuhnya masih lemas.

“Ma-maaf… aku—”

Belum sempat ia menjelaskan, suara berat dan dingin tiba-tiba membelah keheningan.

“Jangan dekati dia.”

Aldric muncul di balik pintu, berdiri dengan mata tajam yang langsung mengarah ke sahabatnya.

Pria itu menoleh cepat, kaget dengan nada tajam Aldric.

“Whoa, bro, santai. Aku cuma nanya. Dia siapa?”

Aldric melangkah maju, berdiri di antara Arlena dan pria itu, seolah menjadi pelindung.

“Dia bukan urusanmu,” ucapnya tegas. “Dan jangan pernah masuk kamarku tanpa izin.”

Sahabatnya mendongak pelan, memandangi Aldric sejenak sebelum tersenyum geli.

“Wah, ini pertama kalinya gue liat lo kayak begini. Protektif banget.”

Aldric tidak membalas.

Arlena menunduk, merasa tidak enak sudah jadi penyebab ketegangan.

Pria itu akhirnya mengangkat tangan menyerah. “Baiklah, baiklah. Gue cuma mampir sebentar. Nggak akan ganggu. Tapi kapan-kapan, gue mau tahu siapa dia. Karena lo… bukan tipe yang biarin orang asing tidur di tempat lo, apalagi cewek.”

Aldric hanya menghela napas dan melirik ke arah Arlena sekilas.

Begitu sahabatnya pergi, Aldric menutup pintu perlahan. Saat berbalik, tatapan Arlena sudah menunggunya — bingung dan canggung.

Aldric hanya berkata singkat, “Istirahat saja. Kita bicarakan semua ini besok.”

Dan seperti biasanya, ia pergi — menyisakan keheningan dan pertanyaan baru di benak Arlena:

Kenapa dia melindungiku seperti itu…?

Pintu kamar tertutup perlahan, menyisakan ketegangan yang masih menggantung di udara.

Aldric berjalan cepat menyusul sahabatnya yang sudah bersantai di ruang tamu sambil menuang kopi dari pantry.

Ia berhenti di hadapan pria itu dengan ekspresi dingin dan tatapan tajam.

“Lu tahu batas, Raka. Tapi lu lewatin tadi.”

Raka adalah sahabat Aldric sejak kuliah — hanya mengangkat bahu santai.

“Come on, gue nggak ngapa-ngapain. Gue cuma kaget ngelihat ada cewek di kamar lo. Wajar dong gue tanya.”

Aldric menyilangkan tangan. “Dia bukan cewek sembarangan. Dia tinggal di sini karena kondisi darurat. Dia bukan mainan gue, dan bukan urusan lo.”

Nada suaranya tajam. Bukan sekadar peringatan, tapi ancaman dingin yang hanya keluar saat Aldric benar-benar serius.

Raka akhirnya menurunkan gelas kopi dan menatap Aldric lebih serius.

“Oke. Gue minta maaf kalau gue kelewatan. Tapi lo sendiri sadar kan, ini bukan gaya lo. Lo nggak pernah bawa siapa-siapa ke rumah, apalagi cewek asing.”

Aldric diam. Rahangnya mengeras. Ia tahu itu benar. Tapi situasi ini bukan tentang kebiasaan. Ini… tentang nalurinya.

Naluri untuk melindungi seseorang yang bahkan baru ia kenal.

Seseorang yang duduk sendirian di halte, dengan mata penuh luka tapi kepala tetap tegak.

Seseorang yang terlalu kurus karena ditelantarkan oleh orang yang seharusnya mencintainya.

Raka memperhatikan ekspresi sahabatnya. “Lo peduli sama dia?”

Aldric menatapnya tajam. “Dia karyawan baruku.”

“Tapi lo bukan tipe yang peduli karyawan sampe begini, Aldric. Bahkan sekretaris lo aja cuma berani bicara kalau ditanya.”

Aldric tak menjawab.

Raka menghela napas dan mengangkat tangan.

“Fine. Gue ngerti. Gue nggak akan ganggu dia lagi. Tapi hati-hati, bro. Cewek itu bisa jadi titik lemah, bahkan buat orang sedingin lo.”

Aldric membuang napas berat. “Dia bukan titik lemah. Dia cuma... butuh tempat aman. Dan selama dia di sini, dia tanggung jawab gue.”

Raka menatap Aldric lama, lalu tersenyum tipis.

“Kalau begitu, jaga baik-baik.”

Arlena, di balik pintu yang tak tertutup rapat, mendengar sebagian percakapan itu. Tangannya gemetar pelan, dan matanya berkaca-kaca.

“Tanggung jawab, ya…” batinnya lirih.

Ia tak tahu harus bersyukur atau takut. Tapi satu hal pasti kalau Aldric bukan pria biasa.

Dan ia harus berhati-hati menjaga jarak... dari seseorang yang hatinya dingin, tapi perlahan mulai menghangatkannya.

1
Kadek Bella
lanjut thoor
my name is pho: siap kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!