Elena hanya seorang gadis biasa di sebuah desa yang terletak di pelosok. Namun, siapa sangka identitasnya lebih dari pada itu.
Berbekal pada ingatannya tentang masa depan dunia ini dan juga kekuatan bawaannya, ia berjuang keras mengubah nasibnya dan orang di sekitarnya.
Dapatkah Elena mengubah nasibnya dan orang tercintanya? Ataukah semuanya hanya akan berakhir lebih buruk dari yang seharusnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33: Firasat
"HAH!!!" Elena terbangun dari tidurnya dengan napas memburu. Jantungnya tidak bisa berhenti untuk berdetak dengan cepat.
Apa itu tadi?! Mimpi??
Elena mengitarkan pandangannya dan melihat langit yang masih gelap, dan mereka masih berada di dalam kereta yang bergerak.
Galeon tidak terlihat dimanapun, lalu Elena menjatuhkan pandangannya pada Ellios yang sudah terlelap di pahanya. Wajah damainya membuat Elena mengusap wajah.
"Astaga ...." lirihnya dengan pelan.
Kenapa aku bermimpi seperti itu?
Mimpi itu terasa begitu nyata untuk diabaikan. Tapi, mengapa Galeon mengkhianati Ellios?
Cerita novel ini dimulai saat mereka sudah dewasa. Cerita saat mereka kecil hanya disisipkan di kilas balik saja! Terus bagaimana caranya aku mengetahui kebenarannya!?
Elena mengacak-acak rambut hitamnya dengan perasaan frustasi. Ia tidak tahu apakah yang ia mimpikan adalah bagian dari cerita atau tidak.
"Ungh ...." Lenguhan kecil terdengar dan menarik perhatian Elena. Ia kembali menjatuhkan pandangannya ke arah Ellios yang mulai membuka matanya.
"Ada apa ...?" tanyanya dengan nada mengantuk. Ia mengusap matanya sambil menatap Elena dengan tatapan sayu.
"Ah! Maafkan saya, Tuan muda. Saya tidak bermaksud membangunkan anda!" ucap Elena dengan panik. Tanpa sadar, ia mengulurkan tangan dan mengelus kepala Ellios agar ia kembali tertidur.
Namun, hal itu membuat Ellios sadar sepenuhnya. Matanya melotot dan langsung bangkit ke posisi duduk.
"Ti-tidak apa ... Lupakan saja ...." Nada Ellios terdengar sedikit bergetar.
"Tuan muda? Ada apa—" Elena ingin mengintip sedikit, namun ia urungkan saat melihat rona merah di telinga Ellios.
"...."
"...."
Sungguh canggung. Disana hanya terdengar suara roda yang berderak dan beberapa suara jangkrik malam.
"A-anu ... Tuan muda—"
"Ellios! Sudah kubilang panggil Ellios saja," tegas Ellios dengan wajahnya yang ditekuk.
"Ba-baiklah ...."
"...."
"...."
Suasananya kembali menjadi canggung dan itu membuat Ellios merasa kesal.
"Katakan sesuatu!!"
"Maaf!!"
Elena menjawab secara spontan dan suaranya terdengar begitu keras.
"Ada apa itu?" Galeon tiba-tiba menimpali. Ia menarik tirai yang memisahkan antara isi kereta dan tempat kusir.
"Apa kamu melakukan sesuatu pada Ellios, El?" Galeon menuding Elena dengan matanya, dan hal itu membuat Elena menggeleng ribut.
"Ti-tidak! Sa-saya hanya—"
"Sudahlah. Lupakan saja." Ellios memotong ucapan Elena dan bangkit dengan hati-hati. Ia berjalan ke arah Galeon dan menyembulkan kepalanya keluar tirai.
Ia melihat di ujung cakrawala, langit mulai berubah kekuningan, menandakan matahari sebentar lagi akan terbit.
"Masih memakan waktu dua jam untuk sampai ke kota selanjutnya. Anda bisa istirahat lagi di dalam," jelas Galeon.
Ellios hanya mengangguk dan kembali masuk. Kali ini ia duduk berseberangan dengan Elena. Ia menekuk lututnya dan membenamkan wajahnya.
Elena sendiri juga tidak berniat mengganggu Ellios. Ia masih sibuk dengan pikirannya tentang mimpinya tadi.
Elena juga sudah mencoba melihat kapan kematian datang kepada Ellios. Namun, tidak ada perubahan sama sekali.
Takdir seharusnya tidak berubah semudah itu ... Apa benar itu hanya mimpi belaka saja?
Elena terlalu terhanyut dalam mimpinya hingga ia tertidur lagi.
...★----------------★...
Di istana, Lyra yang biasanya mengurus semua kebutuhan Selir Pertama sekarang mendapatkan perintah yang lainnya.
"Lyra, tolong awasi anak itu. Aku masih tidak percaya bahwa ia bisa menjadi sepenurut itu. Cari tahu apa yang ia sembunyikan dariku," pinta Viona.
Jadi, saat ini Lyra sedang melakukan kegiatan bersih-bersihnya seperti biasa. Namun, ia tidak membiarkan siapapun mendekati kamar Ellios sejengkal pun.
Seluruh lorong kamar Ellios kosong dan hanya menyisakan dirinya seorang. Pelayan lain juga tidak berani untuk bertanya alasannya karena, mereka yakin semua tindakan dari Lyra pasti adalah perintah dari Selir Pertama.
Lalu, saat Lyra berniat membersihkan kamar Ellios, ia membawa langkahnya dengan tegas hingga mencapai pintu kamarnya.
Tanpa mengetuk atau apapun, Lyra langsung memutar kenop pintu dan membukanya.
Disana, hanya kekosongan dengan pintu balkon yang tertutup, dan sesuatu yang terikat di pagarnya.
Lyra berjalan ke arah balkon dengan tenang, seakan tidak terganggu akan kekosongan itu.
Ia menarik kembali tali kain yang disatukan oleh Ellios semalam dan melepaskannya satu persatu.
Lyra merapikan segalanya dengan begitu telaten. Tenang dan pelan, tanpa suara yang berlebihan.
Setelah semuanya selesai, ia keluar dan menutup pintu kamar Ellios.
Saat itulah, satu pelayan berjalan mendekat sembari membawakan troli makanan untuk Ellios.
Hal itu tentu saja langsung dihentikan olehnya sebelum pelayan itu mencapai pintu.
"Apa yang kamu lakukan? Bukankah aku sudah mengatakan untuk tidak ada yang boleh berada disini?" tanyanya dengan nada dingin. Matanya seolah memandang rendah pelayan di depannya.
"Ma-maaf ... Pelayan Pribadi Tuan muda menyuruh saya untuk mengantarkan sarapan setiap jam segini," jelas pelayan itu dengan wajah tertunduk takut. Ia tidak berani untuk menatap langsung mata Lyra. Seakan ada tembok penghalang antara mereka yang membuat pelayan itu tidak sanggup untuk berlama-lama di dekatnya.
"Pergilah. Selama aku disini, semua keperluan Pangeran Kedua adalah tanggung jawabku. Beritahu yang lain untuk tidak menginjakkan kaki kalian di lorong ini lagi kecuali jika aku memanggil," perintahnya secara mutlak.
Pelayan itu tidak berani untuk berdebat dan langsung pergi dari sana.
"Pelayan pribadi itu ... Ada yang aneh tentangnya ...."
Wajah Lyra terlihat ditekuk saat memikirkan tentang Pelayan pribadi yang baru-baru ini melayani Ellios.
Ia bergelut dengan pemikirannya sendiri sembari berjalan kembali ke ruangannya.
...★----------------★...
Dua jam telah berlalu, kereta yang mereka kendarai akhirnya sampai di kota Bartelion. Tempat dimana banyak sekali orang yang singgah untuk sekedar istirahat dalam perjalanan menuju ke ibukota. Disini juga terkenal dengan banyaknya prajurit bayarannya hingga membuat pertahanan di kota Bartelion tidak bisa di remehkan.
Saat turun dari kereta hingga perjalanan ke penginapan terdekat, Elena tidak bisa melepaskan pandangannya sedikitpun dari Galeon dan Ellios.
Elena takut bahwa mimpi itu akan menjadi kenyataan. Jika Ellios mati seperti di dalam mimpinya ....
Bagaimana nasibku? Aku harus membuat Ellios menjadi Kaisar agar aku bisa keluar dari jeratan Selir Pertama!
Karena sibuk dengan pemikirannya, Elena tanpa sadar selalu diam sedari tadi hingga menarik perhatian dari Ellios.
Ada apa dengannya??
Ellios menaikkan sebelah alisnya saat melihat wajah Elena yang terus berkerut sejak turun dari kereta.
Mereka akhirnya sampai di satu penginapan yang dipesan oleh Galeon.
"Anda bisa beristirahat dan makan disini bersama El. Saya ada keperluan sebentar diluar," ucap Galeon. Ia akhirnya pamit setelah memesan dua buah kamar.
Melihat kepergian Galeon, Ellios kembali menaruh perhatiannya pada pelayan pribadinya.
Ellios terus memperhatikan dan menunggu hingga ia mulai kesal sendiri.
"Sampai kapan kamu akan diam disana terus?! Aku lapar!" kesal Ellios sembari mengguncang lengan Elena. Hal itu sukses membuat Elena kembali ke dunia nyata dan menyadari bahwa ia sudah lalai dalam tugasnya.
"Maafkan saya Tuan— tidak, maksud saya ... Er.. Ellios ... Saya akan memesankan anda makanan!" Setelah mengatakan itu, Elena langsung bergegas pergi ke pelayan dan memesan sesuatu.
...★----------------★...
Saat ini, Galeon sedang berjalan menyusuri jalan kota.
Ia menoleh di salah satu gang gelap yang dihimpit oleh dua bangunan, dan ia masuk ke dalam sana.
Di dalam sana, seseorang yang tidak terlihat begitu jelas mengatakan sesuatu pada Galeon. "Bukankah ini kesempatan? Kapan lagi ia akan pergi sejauh ini?" Nada suara pria itu terdengar begitu semangat, sedangkan Galeon menampilkan raut wajah kusut.
"Ada apa? Kenapa wajahmu seperti itu??"
"...." Galeon hanya diam.
"Kamu tidak lupa, kan? Mereka yang sudah membunuh ayahmu! Istriku juga!" Orang itu sedikit menaikkan suaranya.
"... Aku tahu. Kamu tidak perlu mengingatkannya lagi," lirih Galeon sembari membuang wajah.
"Sudahlah, aku tidak bisa membiarkan mereka sendirian terlalu lama. Aku pergi dulu," ucap Galeon sembari berbalik badan.
Galeon keluar dari gang gelap itu dan berjalan kembali ke arah penginapan mereka.
Ini yang kuinginkan. Ini yang selama ini kutunggu. Kesempatan ini. Tapi .... Kenapa sekarang aku ragu?
To Be Continued: