Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.
Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?
Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Properti Impian
Selasa pagi sekira pukul 9, Dion tiba di depan kantor pemasaran real estate milik keluarga Sutan Azhari di utara Kota Medan. Setelah melepas helmnya, sejenak Dion kagum memandangi rumah-rumah megah di sekelilingnya.
Dion lalu menghubungi Karenia melalui ponselnya. Mendapat jawaban bahwa Karenia telah menunggu di lobi, Dion pun memutuskan memasuki kantor pemasaran itu.
“Ada urusan apa?” tanya seorang petugas keamanan ketika Dion hendak membukakan pintu kaca berwarna hitam.
“Mau bertemu Bapak Ricky Rizky, Pak!” jawab Dion.
“Kau tunggu di sini saja, ya,” kata petugas keamanan berbadan gempal itu sambil memandangi Dion.
Kata-kata itu membuat Dion tak punya pilihan lain selain duduk di kursi tunggu di dekatnya.
“Kami sudah ada di sini. Kalau Bang Kiki sudah punya waktu, SMS balik, ya!” begitu pesan singkat yang dikirimkan Dion kepada Astrid, sekretaris Kiki.
Dion juga mengirimkan pesan singkat kepada Karenia memberitahu gadis itu bahwa ia sedang menunggu di depan kantor.
Tak lama kemudian, Karenia dan kakaknya Steven keluar dari kantor dan menyapanya. “Lho, kenapa malah menunggu di sini bukan di lobi?” tanya Karenia.
“Nggak apa-apa, lebih enak di sini. Aku sudah kirim SMS pada sekretaris Bang Kiki, kalau sudah tersedia ia akan memberitahu kita,” ujar Dion.
Kata-kata Dion membuat Steven ragu apakah Dion bisa benar-benar mempertemukan mereka dengan sang pemilik real estate itu. Sementara itu petugas keamanan juga menatap ketiganya dengan curiga.
“Ada masalah, Ibu?” tanyanya kepada Karenia.
“Masalah apa, Pak?” Karenia bertanya balik membuat petugas itu gelagapan dan kembali masuk ke dalam kantor.
Karena sudah akrab, Dion dan Karenia lalu terlibat perbincangan ringan sembari menunggu sementara Steven sibuk menatap ponselnya.
Tak sampai limabelas menit kemudian, seorang pegawai wanita menemui ketiganya didampingi petugas keamanan berbadan gempal tadi.
“Bang Dion, ya?” tanya wanita itu.
“Iya, Kak,” sahut Dion.
“Aduh, kenapa menunggu di sini?” keluhnya dengan nada hormat.
“Nggak apa-apa Kak. Tadi disuruh menunggu di sini,” ujar Dion sambil menatap ke arah petugas keamanan yang berdiri di belakangan pegawai itu.
“Abang sudah ditunggu Pak Ricky dari tadi. Yuk!” seru wanita itu dan meminta Dion dan kedua temannya mengikutinya.
“Bersiaplah, Pak Ricky akan marah besar. Dion itu keponakan Pak Sutan,” bisik wanita itu pada petugas keamanan yang memegangi pintu. Pria gempal itu tampak gugup dan pucat menyesali tindakannya tadi.
Baru beberapa langkah di ruangan itu, Kiki sudah menemui mereka. “Hei Dion, sudah lama menunggu?”
“Belum, Bang. Ini Cece Karenia dan Koko Steven,” Dion memperkenalkan kedua temannya kepada Kiki.
“Salam kenal. Aku Ricky Rizky, biasa dipanggil Kiki. Ayo kita ke ruanganku saja. Oh ya, kenal di mana sama adikku si Dion ini?” Kiki balik menyapa dan mengajak tamu memasuki ruangannya.
“Oh, Dion latihan di tempat kami,” jawab Karenia.
Di ruangan Kiki, mereka lalu mendiskusikan rencana Karenia dan Steven menyewa salah satu properti untuk usaha mereka.
“Ada banyak variasi dan aku tak hafal semua biayanya,” kilah Kiki lalu memanggil seorang stafnya untuk menjelaskan harga dan regulasi yang harus dipenuhi oleh penyewa.
“Itulah mengapa kami ingin bertemu dengan Pak Kiki, karena kami ingin menegosiasi harga dan aturannya,” ujar Steven.
“Baiklah. Karena si Dion, mari kita geser sedikit biayanya. Tapi aku ragu soal aturan dan regulasi itu, karena itu adalah perundang-undangan dan peraturan pemerintah kota,” jelas Kiki.
Setelah bernegosiasi, Kiki akhirnya menyetujui jumlah dan durasi penyewaan. Tapi pembicaraan kembali buntu karena Karenia dan Steven masih menginginkan perubahan aturan dan memperbolehkan usaha mereka memiliki akses pada kedua sisi jalan. Parkir terluar yang boleh diakses oleh umum, dan bagian belakang yang memiliki akses langsung ke perumahan.
“Itu terlalu berbahaya, Ce. Seseorang bisa saja memanfaatkan keadaan itu untuk masuk ke lingkungan perumahan tanpa pemeriksaan petugas keamanan,” jelas Kiki.
“Karenia dan Ko Steven sudah pernah meninjau unitnya?” tanya Dion yang sedari tadi diam saja.
“Sudah. Walaupun hanya sekilas,” jawab Karenia.
“Dion benar juga. Mari kita tinjau kembali unitnya. Aku juga ingin menunjukkan sesuatu pada Cece dan Koko,” ajak Kiki bersemangat.
Kiki lalu mempersilahkan Karenia, Steven dan Dion untuk menaiki SUV meninjau unit properti yang akan disewa. Mereka diikuti mobil lain yang merupakan staf atau pegawai real estate itu.
“Lihatlah, Ce! Semua unit komersil terdepan ini tak punya akses langsung ke jalan belakang, semuanya ditembok. Itu karena jalan di belakang ini adalah akses cluster. Jadi keinginan Cici dan Koko untuk memiliki dua akses tak mungkin kami penuhi,” jelas Kiki.
“Tapi, kami ada unit komersial spesial yang memiliki dua akses. Unitnya ada di blok berikut,” ujar Kiki lalu mengajak ketiganya menuju blok komersial berikut.
“Ini blok baru. Nah unit yang sedang dibangun ini sangat istimewa karena ia berada di sudut. Artinya, akan punya akses ke depan dan ke belakang. Sesuai dengan kriteria yang diinginkan Cici dan Koko tadi,” jelas Kiki lagi.
“Bedanya apa Pak. Kenapa yang ini diperbolehkan memiliki akses ke jalan perumahan?” tanya Steven.
“Beda, Ko. Blok yang pertama tadi, di belakangnya itu jalan cluster. Nah yang ini adalah jalan utama perumahan,” jawab Kiki.
Steven terdiam. Alisnya berkerut pertanda ia tak memahami penjelasan Kiki.
“Cluster itu seperti blok atau gugusan, Ko, meskipun satu cluster bisa saja terdiri dari beberapa blok. Nah setiap cluster hanya memiliki satu akses yang dijaga keamanan. Jadi petugas keamanannya bukan hanya yang di gerbang utama,” Dion bantu menjelaskan.
“Oh, sekarang saya mengerti,” Steven mengangguk tersenyum pada Dion.
“Dion benar. Malah keamanan di gerbang utama itu tidak terlalu ketat. Itu lebih pada ketertiban dan pusat koordinasi. Yang paling ketat adalah petugas di cluster. Mareka akan menanyakan keperluan setiap pendatang,” lanjut Kiki.
“Tapi agak jauh dari jalan utama di depan saja, ya? Takutnya malah tidak kelihatan dan orang tidak tahu kalau di sini ada tempat fitness,” keluh Karenia.
“Ah soal itu. Kami akan menyediakan billboard sign gabungan. Jadi orang-orang tahu usaha apa saja yang terdapat di sini. Untuk Cece dan Koko, saya bahkan akan memberikan izin memasang shop sign tunggal. Tapi tentu saja ukurannya kami yang menentukan supaya tertata rapi ketika berdampingan dengan shop sign lainnya,” jelas Kiki.
Penjelasan itu membuat kakak beradik itu justru tertarik dengan unit komersial yang baru. Dion dan Kiki membiarkan keduanya memasuki ruangan yang sedang dalam pengerjaan untuk melihat-lihat dan berdiskusi.
Kiki juga mengajak ketiganya melihat-lihat sekitar real estate. “Saya ingin tunjukkan calon pelanggan Koko dan Cece. Perumahan ini jauh lebih besar dari yang orang perkirakan,” ajaknya.
“Progresnya masih sekitar 30 persen dan mayoritas unit yang selesai dibangun telah dihuni. Nah di depan itu adalah hal yang membuat perumahan ini berbeda,” jelas Kiki.
“Kami mengalokasikan lahan yang luas untuk fasilitas olahraga. Dua lapangan sepakbola, salah satunya akan memiliki tribun, vanue badminton, futsal, 3 kolam renang, empat lapangan tenis, bola voli, dan basket juga. Semuanya dalam kompleks yang sama yang kami sebut Sports Center. Ini adalah perumahan bagi para pecinta olahraga,” jelasnya lagi lalu memberhentikan mobilnya di depan lapangan luas.
“Kami meletakkan investasi besar untuk proyek olahraga ini. Terlalu ambisius kata orang, tapi kami sudah punya rencana untuk menjadikannya mesin penghasil uang.”
“Kami juga menyediakan area komersial di area ini. Toko olahraga, kafe dan tentu saja pusat kebugaran,” jelas Kiki menarik perhatian Steven dan Karenia.
“Hanya saja proyek kompleks olahraga ini baru akan selesai dalam dua tahun.”
“Saya akan ajak kalian berkeliling. Real estate ini memiliki lahan lebih dari 200 hektar dengan rencana akan membangun lebih dari 3750 unit rumah, belum termasuk unit komersial. Satu atau dua usaha fitness pastinya tidak akan cukup,” Kiki menjelaskan gambaran umum real estate yang sedang mereka kembangkan.
Di dalam mobil, Dion tak henti-hentinya kagum melihat rumah-rumah mewah modern yang berbaris dengan rapi. Sementara Karenia dan Steven kursi belakang masih bisik-bisik diskusi.
“Kita sudah sampai di pertengahan. Di depan ini, 10 hektar akan menjadi taman dengan danau buatan. Selain sebagai jogging track dan taman bermain, tempat ini akan kami jadikan rumah bagi beberapa spesies burung. Karenanya, kami akan mempertahankan pohon-pohon itu bahkan menambahnya,” jelas Kiki yang mendapatkan perhatian serius dari Karenia dan kakaknya Steven.
Sementara itu perhatian Dion tertuju pada satu unit yang sedang dikerjakan, berseberangan dengan taman.
“Kau suka unit ini? Yang ini istimewa karena letaknya di sudut, memiliki lahan yang lebih luas,” ujar Kiki pada Dion.
“Lokasinya bagus, Bang. Arahnya juga menghadap ke utara.”
“Sayang sekali unit ini sudah dipesan. Pemesannya sedang menunggu permohonan kredit disetujui oleh bank,” jelas Kiki.
“Biasanya aku tak berani memimpikan sesuatu yang tak mungkin aku gapai. Tapi rumah ini membuatku berkhayal,” Dion masih menatap ke arah rumah itu.
“Kalau kau rajin bekerja dan menabung, suatu saat kau akan mampu memiliki rumah seperti ini. By the way, aku sendiri juga belum punya rumah, kok,” ujar Kiki tertawa.
“Masuk saja ke dalam lihat-lihat. Ini rumah tipe 80, kelas terendah di perumahan ini. Aku akan ajak mereka diskusi,” tambah Kiki lagi.