Aku Shella, seorang gadis yang masih duduk dibangku sekolah Menengah Atas.
Berawal dari penolakan ibu dan saudariku yang usianya terpaut sepuluh tahun lebih tua dariku, membuatku berubah menjadi gadis yang tidak memiliki hati dan pendendam.
Aku juga bertekad ingin merampas apa yang dimiliki oleh saudariku.
Aku bahkan tidak mengeluarkan air mataku saat ibuku dinyatakan meninggal dunia.
Hingga terungkapnya sebuah rahasia yang begitu mengguncang kewarasan ku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nona yeppo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dilarikan Kerumah Sakit
Entah ini kebetulan atau tidak, Maurice datang ke hotel tempat diadakannya pernikahan. Namun begitu mobilnya tiba didepan rumah sakit, ia menyaksikan Rangga yang menggendong ibunya dengan wajah panik menuju mobil ambulans.
Maurice mengurungkan niatnya untuk keluar dan mengikuti mobil ambulans tersebut kerumah sakit.
Mungkin bibi Anggie sangat stress sehingga harus dilarikan kerumah sakit..
Ia sibuk dengan pikirannya sendiri hingga mobil yang diikutinya berhenti didepan sebuah rumah sakit besar.
Ia terlebih dahulu memperhatikan keadaan sekitar lalu segera turun. Namun tangannya tiba-tiba ditarik oleh seseorang yang membuatnya segera menoleh.
Sam, apa yang terjadi. Mengapa bibi Anggie dilarikan kerumah sakit.?
Untuk saat ini berpura-pura lah bahwa kau telah menikah didepan bibi Anggie, mengerti?
Maurice yang kebingungan namun menginginkan posisi itu hanya bisa mengangguk setuju. Ini yang ia inginkan sejak awal, menikahi pria kaya.
Bukankah ini menguntungkan ku? Mungkin bibi Anggie tidak lagi dapat mengingat sesuatu dengan jelas. Makanya Sam menyuruhku untuk berpura-pura.
Aku pikir semua akan marah padaku, nyatanya...
Ah tunggu...
Lalu siapa yang menikah dengan Rangga?
Ah,,
Seperti nya digantikan oleh orang yang bisa disewa.
Semua tampak berjalan sempurna bagi Maurice. Namun ia tidak menyadari jika posisinya telah digantikan oleh adiknya sendiri.
***
Aku tiba dirumah dengan perasaan yang hampa. Aku teringat akan perkataan paman Sam yang menyuruhku untuk menunggu dirumah saja.
Namun bagaimana pun aku mencoba berusaha untuk tetap tenang, semuanya masih berantakan di kepalaku.
Rasa bersalah muncul begitu saja didalam benakku. Mungkinkah bibi Anggie menyadari penyamaranku?
Aku berjalan kesana kemari sambil memikirkan semuanya dengan baik. Ini tidak benar. Aku harus pergi kerumah sakit untuk melihat keadaan bibi Anggie.
Apapaun itu perintah paman Rangga atau paman Sam, aku tidak peduli. Aku hanya ingin melihat keadaan bibi Anggie yang telah beberapa hari tidak bertegur sapa denganku karena sengaja ku hindari.
Seketika rasa bersalah memenuhi kepalaku, rasa bersalah akan kebohongan paman Rangga yang tak bisa kutolak. Juga karena telah menjauhi bibi Anggie karena alasan yang tidak jelas.
***
Aku tiba dirumah sakit yang ku yakin adalah rumah sakit tempat bibi Anggie dirawat. Aku yakin karena paman Rangga juga membawaku ke tempat ini untuk memulihkan pendengaran ku.
Aku menanyakan petugas resepsionis tetang nama bibi Anggie, dan ternyata benar. Aku segera berlari menelusuri lorong tiap lorong untuk mencari ruangan yang digunakan oleh bibi Anggie.
Aku perlahan mengintip kedalam dan melihat semuanya berkumpul termasuk Maurice. Aku jadi merasa asing ditengah-tengah keluargaku sendiri.
Oh, Shella...
Bos luo yang datang entah dari mana mengagetkan ku yang hanya mampu mengintip seperti seorang pencuri.
Aku sedikit takut karena paman Sam menyuruhku untuk menunggu dirumah. Sedangkan paman Rangga hanya diam sambil memegangi tangan bibi Anggie.
Darimana saja kamu baby...
Ayahlah orang pertama yang sangat mengkhawatirkan keadaanku. Ingin sekali kujawab bahwa aku ada disisi Ayah selama beberapa waktu terakhir ini.
Namun aku sadar bahwa aku hanya lah pemeran pengganti. Bahkan semuanya menganggap Maurice lah yang berdiri disamping Rangga pada saat acara pernikahan.
Entah apa yang dikatakan oleh paman Sam, sehingga dapat membungkam mulut seorang Maurice.
Karena kulihat ia sangat mulus melakukan perannya sebagai istri paman Rangga. Tidak ada keributan sama sekali.
Pandangan mataku beralih pada paman Rangga yang masih diam, Kadang-kadang menciumi tangan bibi Anggie.
Sebaiknya yang lain pulang saja dulu, aku akan memberi tahu kabar selanjutnya. Ujar paman Sam membuat semuanya segera bubar termasuk Maurice yang pergi mengikuti gerakan wajah yang dilakukan oleh paman Sam.
Tertinggal kami berdua ditempat ini menunggu keadaan bibi Anggie. Air mataku mengalir tanpa bisa ku bendung.
Jika kupikir-pikir, aku sudah sangat banyak mengeluarkan air mata untuk hari ini. Aku juga melihat air mata paman Rangga yang perlahan jatuh.
Sepertinya ia telah menahan semuanya sejak tadi, ia baru bisa melampiaskan emosinya saat tidak ada yang memperhatikan nya.
Nampaknya ia lupa akan keberadaanku disini, untuk kali pertama aku menyaksikan paman Rangga menangis.
Ia kembali menciumi tangan bibi Anggie, dapat kupastikan betapa ia mencintai ibu nya itu. Hatiku ikutan sakit melihat orang yang kucintai menangis seperti itu.
***
Dilobi rumah sakit yang agak sepi, Maurice sudah sangat tak sabar ingin menanyakan semuanya. Semua kejadian beruntun yang terjadi begitu tiba-tiba membuatnya sulit untuk berpikir jernih.
Terus terang saja, siapa yang menggantikan ku...
Aku tidak bisa bicara, aku hanya minta untuk tetaplah berpura-pura didepan bibi Anggie saat ia sudah sadar nanti.
Oke, dapat kupastikan jika wanita itu hanya sebagai pengganti sementara bukan?
Tetap saja namaku lah yang disebut...
Maurice berucap dengan wajah penuh kemenangan, entah sampai dimana perseteruan antara saudara ini akan terus berlanjut.
Maurice merasa lega, ia kemudian kembali keruangan bibi Anggie. Raut wajahnya yang semula berseri-seri berubah menjadi galak saat ia melihat adiknya yang duduk berduaan dengan Rangga.
Mengapa anak ini ada disini.?
Aku memilih diam saja karena menurut ku sangat tidak penting untuk menjawab pertanyaan tak berbobot nya itu.
Kau tidak mendengar ku,?!
Nada bicara nya naik satu oktaf membuat paman Rangga menoleh dengan tatapan tajamnya. Aku menggigit bibirku melihat amarah pria itu yang sepertinya sudah diubun-ubun.
Keluar.!!!
Aku segera berdiri dan hendak keluar mengikuti perkataannya. Namun perkataan paman Rangga yang selanjutnya berhasil membuatku berhenti bergerak.
Shella, kau tetap disini..
Kulihat tatapan membunuh Maurice menghujani ku, namun aku berhasil memasang wajah yang santai membuat nya semakin pias.
Kini tertinggal kami berdua lagi ditempat ini, karena paman Sam tidak lagi menampakkan batang hidungnya.
Mungkin ia sedang mengurus segala kekacauan yang terjadi akibat pingsannya bibi Anggie. Pasti banyak anggota keluarga yang merasa khawatir akan kejadian ini.
Ingin aku bicara pada paman Rangga sebagai caraku untuk menghibur nya. Namun tenggorokan ku rasanya sangat kering sehingga tidak dapat mengeluarkan suara.
Kulihat paman Rangga bergerak, sepertinya ia ingin kekamar mandi untuk membasuh wajahnya karena kudengar suara gemericik air.
Suasana ini begitu mencekam untukku, semua berubah total saat melihat raut wajah paman Rangga yang tidak menentu.
Tak lama kemudian ia keluar, diwajahnya masih tertinggal jejak air bekas ia mencuci. Kemeja putih yang dikenakannya juga tak luput dari cipratan air, membuat ketampanannya semakin bersinar.
Boleh aku memeluk mu.?
Hah.?
Ia berjalan semakin mendekat, membuatku tenggelam didalam dada bidangnya. Naluri ku berkata bahwa paman Rangga butuh bahu untuk bersandar, membuatku segera mengusap punggungnya nya barangkali ia bisa mendapat ketenangan.
Kau pasti terkejut ya...
Perkataan paman Rangga hari ini sangat sulit masuk kedalam otakku yang kecil ini. Karena tidak biasanya paman Rangga berbicara ngawur seperti ini.
Aku malah menangis lagi, padahal paman Rangga lah pihak yang bersedih disini.
.
.
Next...