Marsha Calloway terjebak dalam pernikahan yang seharusnya bukan miliknya—menggantikan kakaknya yang kabur demi menyelamatkan keluarga. Sean Harris, suaminya, pria kaya penuh misteri, memilihnya tanpa alasan yang jelas.
Namun, saat benih cinta mulai tumbuh, rahasia kelam terungkap. Dendam masa lalu, persaingan bisnis yang brutal, dan ancaman yang mengintai di setiap sudut menjadikan pernikahan mereka lebih berbahaya dari dugaan.
Siapa sebenarnya Sean? Dan apakah cinta cukup untuk bertahan ketika nyawa menjadi taruhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayyun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesan Ancaman
Pria itu terus mendekatkan wajahnya ke wajah Marsha, matanya penuh dengan niat jahat yang membuat Marsha semakin tertekan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya semakin menambah beban yang harus ia tanggung. Namun, di dalam hatinya, Marsha tidak menyerah. Ia tahu, meski keadaan begitu mencekam, ia harus tetap kuat, setegar mungkin, demi dirinya sendiri dan Sean yang pasti sedang berusaha mencari jalan untuk menemuinya.
Si pria itu memperhatikan Marsha dengan tatapan tajam, seolah sedang menikmati rasa ketakutan yang tergambar jelas di wajahnya. Ia tersenyum sinis, matanya menyipit dengan rasa puas. Marsha menahan napas, mencoba mengendalikan tubuhnya yang kaku akibat ketakutan. Meskipun hatinya berdegup kencang, ia berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahan.
“Aku rasa kamu sudah cukup sabar, Nona Marsha,” ujar pria itu, suaranya terdengar puas. “Tapi sepertinya suamimu belum menunjukkan rasa peduli ya. Mungkin ini akan memberinya pelajaran yang lebih berarti.”
Marsha merasakan jantungnya berdegup semakin cepat. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan pria itu, tetapi ia bisa merasakan niat buruk yang terpendam dalam setiap kata yang diucapkannya. Sebelum Marsha sempat bertanya atau berontak, pria itu melangkah ke arah meja kecil di sampingnya, mengambil sebuah pisau yang berkilauan di bawah cahaya lampu.
Matanya yang tajam terus menatap Marsha, seolah menilai reaksi takut yang semakin terlihat di wajahnya. Tangan Marsha terasa dingin, tetapi ia mencoba untuk tidak menunjukkan ketakutannya. Ia tahu betul, ia harus tetap tegar agar tidak menjadi lebih buruk.
"Jangan berpikir kau akan bebas begitu saja," pria itu mengancam. “Kau hanya perlu mengirim pesan untuk suamimu. Pahami apa yang harus dia lakukan untuk menyelamatkanmu."
Pria itu tanpa ampun merobek bagian atas pakaian Marsha dengan gerakan cepat dan kasar. Marsha menahan napas, merasakan kain yang terkoyak hingga memperlihatkan pakaian dalamnya yang tipis. Kulitnya meremang, bukan hanya karena udara dingin di ruangan itu, tetapi juga karena ketakutan yang semakin menghimpit dadanya.
Namun, ia menolak untuk menunjukkan kelemahan. Ia menggigit bibirnya, menahan gemetar yang hampir tak bisa dikendalikan. Tatapan tajamnya masih ia pertahankan, meskipun di dalam hatinya, ia ingin berteriak.
Pria itu menyeringai puas. Dengan tenang, ia mengangkat ponselnya dan mengambil foto Marsha. Satu ketukan jari di layar, dan foto itu terkirim pada seseorang.
Marsha menahan amarah yang mendidih di dadanya. "Apa yang kalian mau sebenarnya?" tanyanya, suaranya serak namun tetap mencoba terdengar tegar.
Pria itu menatapnya sejenak, seolah menikmati rasa putus asa yang perlahan mulai menggerogoti pertahanan Marsha.
"Kami ingin suamimu tahu bahwa waktu terus berjalan," katanya santai, menyimpan ponselnya setelah mengirimkan pesan. "Dan jika dia tidak bergerak cepat… mungkin lain kali aku tidak akan sekadar merobek pakaianmu."
Marsha mengepalkan rahangnya, menahan kemarahan yang bercampur dengan ketakutan. Tapi ia tidak boleh panik. Ia harus mencari celah.
Ruangan itu cukup sempit, hanya diterangi lampu redup yang menggantung di langit-langit. Aroma pengap bercampur bau logam menyengat memenuhi hidungnya. Di sudut ruangan, ia melihat beberapa barang berserakan—kursi tua, kabel listrik, dan sebuah botol kaca kosong. Ia mencoba mengingat semua itu, mencari kemungkinan untuk melawan.
Pria itu melangkah mendekat, kali ini lebih santai. Seolah ia yakin bahwa Marsha sudah berada dalam genggamannya.
“Apa kau tahu yang paling aku benci dari wanita sepertimu?” tanyanya tiba-tiba.
Marsha tidak menjawab. Ia hanya menatapnya tajam, meskipun kakinya terasa lemas.
Pria itu terkekeh. “Wanita kaya yang berpikir mereka selalu bisa lolos dari semua masalah. Kalian terbiasa hidup nyaman, selalu ada seseorang yang datang menyelamatkan.” Ia menatap Marsha dengan penuh penghinaan. “Tapi tidak kali ini, Nona Calloway.”
Marsha mengertakkan giginya. Ia tidak mau terjebak dalam permainan psikologis ini.
Sementara itu, jauh di luar sana, Sean sedang bergerak cepat. Ponselnya bergetar, sebuah pesan masuk. Begitu ia melihat isi foto yang dikirimkan, rahangnya mengeras. Matanya menyala dengan kemarahan yang tidak bisa ia redam.
Ia meremas ponselnya begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Napasnya terasa berat, dadanya bergejolak dengan amarah yang membara. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Marsha saat ini.
Sean segera menghubungi seseorang. “Temukan lokasinya sekarang juga,” perintahnya, suaranya dingin dan tajam.
...***...