Dalam dunia yang koyak oleh perang berkepanjangan, dua jiwa bertolak belakang dipertemukan oleh nasib.
Yoha adalah bayangan yang berjalan di antara api dan peluru-seorang prajurit yang kehilangan banyak hal, namun tetap berdiri karena dunia belum memberi ruang untuk jatuh. Ia membunuh bukan karena ia ingin, melainkan karena tidak ada jalan lain untuk melindungi apa yang tersisa.
Lena adalah tangan yang menolak membiarkan kematian menang. Sebagai dokter, ia merajut harapan dari serpihan luka dan darah, meyakini bahwa setiap nyawa pantas untuk diselamatkan-bahkan mereka yang sudah dianggap hilang.
Ketika takdir mempertemukan mereka, bukan cinta yang pertama kali lahir, melainkan konflik. Sebab bagaimana mungkin seorang penyembuh dan seorang pembunuh bisa memahami arti yang sama dari "perdamaian"?
Namun dunia ini tidak hitam putih. Dan kadang, luka terdalam hanya bisa dimengerti oleh mereka yang juga terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr_Dream111, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selamat tinggal Kapten
Rasanya sangat pusing sekali kepala ini. Kucoba membuka mata meski berat. Sepertinya aku pingsan atau aku sudah mati? Apa dunia kematian memang bersuhu sedingin ini dan sehening ini?
Saat mataku mulai terbuka, kusadar bahwa sekarang aku sedang terbaring di tanah. Samar-samar aku melihat seseorang berdiri disampingku sambil membawa obor.
" Syukurlah kau sudah bangun, "
" Gideon? " ucapku, menengok ke arah kiri dimana Gideon sedang membersihkan senapanya.
" Untung saja kita masih memiliki sisa alat medis dan benang untuk menjahit lukamu, " tandas kapten yang berjalan mendekat. Kedua tanganya berlumur darah.
Aku berusaha untuk bangkit tapi perutku rasanya sakit sekali. Aku terdiam sejenak menahan rasa ini.
" Hey tetaplah berbaring. Kau kehabisan banyak darah dan lukamu baru selesai dijahit jadi tetaplah berbaring. " ucap Gideon.
Kuturuti ucapanya kali ini. Karena memang rasanya sakit sekali. Ini bukan pertama kalinya aku terluka di peperangan, hanya saja aku masih tetap tak terbiasa dengan rasa sakitnya.
" Traumamu semakin parah. Jika kita mengambil logistik bulan depan, istirahatkanlah dirimu dulu Yoha. Obati penyakit itu sebelum kembali bergabung dengan kami. Jujur aku tidak ingin mengatakanya tapi ini demi keberhasilan misi. Jika kau terus memaksa bertarung dengan keadaan seperti ini, kau hanya akan menghambat kami, " ungkap kapten.
Kata-katanya sangat menyakitkan untuk didengar tapi memang itu adalah kenyataan. Aku tidak bisa mengelaknya. Trauma yang ku alami mau tidak mau harus segera kusembuhkan agar aku bisa menjalankan misi lagi.
" Baik kapten. Aku akan mengambil cuti saat pengiriman logistik nanti, " balasku dengan wajah masam karena kecewa. Bukan kepada kapten tapi kepada diriku sendiri.
" Baiklah kita harus segera pergi sebelum pasukan Varaya yang lain datang. " ujar kapten.
Sekali lagi aku berusaha bangkit. Meski sakit pada akhirnya aku bisa berdiri lagi. Saat kuamati sekeliling, kulihat kereta-kereta kuda pasukan Varaya sudah terbakar dan hanya menyisakan 1.
" Kenapa dibakar? " tanyaku. " Bukankah kereta itu bisa kita bawa, "
" Kemarilah Yoha! " seru kapten. Dia sedang menggali tanah dan kulihat dari kejauhan galiannya sudah cukup dalam.
Aku berjalan mendekat. Semakin mendekati galian, kapten mengarahkan obornya ke dalam.
" Ha?! Senapan mesin?? " kejutku melihat benda di dalam lubang itu ternyata adalah senapan mesin.
Senjata mematikan yang dapat menembakan 100 butir peluru dalam sekali tarikan. Banyak negara punya senjata ini tapi hanya Magolia yang punya dengan tingkat akurasi dan ketahanan bagus.
Dulu senapan ini diciptakan oleh beberapa pengrajin senjata Magolia. Di seluruh dunia pun belum ada yang mampu membuat dengan sempurna. Dan bagaimana bisa Varaya tiba-tiba memiliki senjata itu dan bentuknya 100% mirip dengan di Magolia.
" Kau terkejut bukan? Aku juga sama. Kemungkinan besar ada penghianat yang membocorkan rancangan senjata ini, " imbuh kapten dengan berbisik.
" Oh ya kapten bagaimana dengan para tawanan? " tanyaku lagi.
Kapten menunjuk ke arah kereta kuda yang masih utuh. " Aku hanya bisa menyelamatkan dua orang saja. Tiga pria yang sudah terluka parah tidak tertolong lagi, "
Tak lama Daylen menghampiri kapten lalu memberikan beberapa kertas yang sepertinya milik regu 1. Kapten membaca satu persatu kertas-kertas itu. Sementara Daylen melanjutkan menimbun lubang galian berisi senapan mesin itu dengan tanah.
Aku sempat bertanya-tanya tentang hal bodoh. Ya, aku mempertanyakan mengapa senapan itu dikubur padahal bisa dibawa tapi sudah jelas senjata itu sangat berat sekali dan jika dibawa hanya akan menambah beban.
" Kita harus segera pergi! " lontar kapten. Wajahnya terlihat panik.
" Ada apa kapten? " tanyaku.
" Regu 1 sepertinya tidak sengaja berhadapan dengan mereka. Dan kemungkinan besar ada pasukan susulan. Kelompok seperti ini biasanya akan dikawal kavaleri. "
Mataku langsung membelalak. Bagaimana bisa kita tetap santai disini saat kavaleri musuh kemungkinan besar mulai mendekat.
" Gideon bawa kereta kuda itu, kita harus menuju perbatasan dulu sekarang! Kebetulan lokasi ini tidak jauh dari pos pasukan Magolia di perbatasan. " Kapten menyimpan kertas tadi lalu melanjutkan penimbunan galianya secepat mungkin dibantu oleh Daylen.
Kali ini aku tidak bisa membantu dan bergegas menaiki kereta kuda.
Saat naik, kulihat 2 wanita berpakaian lusuh dan compang camping menunjukkan wajah ketakutan. Yah wajar saja topeng rubah hitam yang kupakai ini jelas menakutkan bagi orang awam.
Aku duduk sedikit menjauh dari mereka berdua. Bagaimanapun caranya aku tidak ingin membuat mereka merasa tidak nyaman.
Tak lama, kapten dan Daylen ikut masuk ke dalam kereta yang sudah mulai berjalan dengan Gideon sebagai kusirnya.
Kami menembus hutan lebat di gelapnya malam ini. Dengan hanya 2 obor sebagai penerangan.
Perjalanan kali ini cukup panjang. Meski kapten bilang perbatasan utara sangat dekat, tapi butuh waktu hampir 4 jam untuk sampai. Karena waktu perjalanan yang lama itulah kumanfaatkan untuk tidur agar saat bangun bisa membantu yang lain meskipun bantuanku kecil.
***
Belum ada 1 jam tertidur, aku dibangunkan oleh suara langkah kuda yang jumlahnya banyak. Indra pendengaranku memang lumayan tajam. Walau samar, tapi aku merasa derapan langkah kuda itu seperti mengikuti kami.
Saat ku membuka mata, tak kulihat lagi keberadaan kapten dan Daylen. Sambil menahan rasa sakit kucoba keluar dari kereta kuda yang mulai lambat jalannya.
" Kenapa kau turun bodoh!? " tanya ketus Gideon yang menghentikan kereta kudanya beberapa detik setelah aku turun.
" Dimana kapten dan Day- "
Perkataan terputus saat melihat Daylen dan kapten berlari dari belakang.
" Cepat naik! " pekik kapten.
" Apa yang terjadi? " tanyaku.
" Kavaleri Varaya mendekat! Kalian harus segera pergi! " tegas kapten yang mengambil pedang dari sarungnya.
" Lalu bagaimana denganmu kapten? " tanya Gideon.
" Aku akan mengalihkan perhatian mereka! Kalian pergilah dulu! Aku akan menyusul nanti! " balas kapten yang langsung berlari menghilang dari pandangan kami.
" Kita harus membantu kapten! " Aku ikut berlari mencoba mengikuti kapten tapi langkahku terhenti saat Daylen mencengkran bahuku.
" Perintah kapten tidak boleh kita langgar! Sekarang naik! " tak kusangka Daylen berbicara padaku. Untuk keempat kalinya kudengar suara dari manusia berbadan besar ini.
Tanpa sepatah kata ku ikuti perkataan Daylen. Aku masuk kembali ke kereta kuda. Gideon segera memacu kereta kuda kembali dan Daylen duduk di atap kereta untuk berjaga-jaga.
Baru beberapa kilometer kereta berjalan, hujan deras tiba-tiba turun dan membuat tanah berlumpur sehingga sedikit sulit bagi kereta kuda bergerak.
Sesekali Daylen harus turun dan mendorong kereta karena roda yang terjebak lumpur. Sebenarnya aku ingin membantu tapi Gideon selalu memarahiku dan menyuruhku untuk diam.
Disisi lain aku sangat khawatir terhadap kapten. Karena sejak tadi dia tidak menyusul dan hujan sederas ini semakin menambah kekhawatiranku.
***
Perjalanan yang kami tempuh melebihi waktu perkiraan yang seharusnya 4 jam menjadi 6 jam lebih dan hujan masih belum reda.
Kami sampai di parit militer Magolia saat pagi hari tanpa terlihat terbitnya matahari.
Kami menyerahkan kereta kuda dan 2 wanita kepada pasukan Magolia. Awalnya kami juga ingin menunggu kapten di pos ini tapi setelah kami bertiga berunding, kamipun memutuskan untuk menyusul kapten.
Kami meminjam 2 kuda dari pos dimana Daylen menunggangi sendirian sedangkan aku bersama Gideon.
Meski basah kuyub, kami nekat pergi kembali ke wilayah semalam demi menyusul kapten. Jelas resiko besar menunggu kami di depan sana.
Hanya masalah keberuntungan saja yang menemani kami. Jika kami beruntung, kami akan bertemu kapten dan jika sial, kami justru akan bertemu pasukan musuh yang jumlahnya bisa saja lebih banyak dari semalam. Kami menggunakan rute tercepat yang bisa dilewati kuda.
Pikiranku mulai kemana-mana tentang kapten dan kuharap sejua yang ada di kepalaku tidak terjadi.
***
Hari mulai siang sementara guyuran hujan masih belum reda. Kami berhasil sampai ke tempat pertarungan semalam. Tak kulihat batang hidung kapten di sini. Hanya ada mayat-mayat prajurit Varaya dengan kereta-kereta kuda yang sudah hangus. Tempat kami mengubur senapan mesin juga masih aman. Kami memutuskan berpencar untuk mencari kapten. Gideon ke timur, Daylen barat, dan aku ke selatan.
Pohon demi pohon kulewati sambil ku awasi area sekitar. Namun, tak kutemui jejak yang menunjukan keberadaan kapten. Sambil menahan rasa sakit di perut ditambah suhu dingin karena hujan, ku paksakan untuk terus mencari lebih jauh. Sesekali ku istirahat karena merasa pusing dan kurasa jahitan di perutku sepertinya terbuka.
Setelah beberapa jam mencari sendirian, tubuhku mulai lemas. Darah mulai mengotori perban yang membalut perutku. Tidak salah lagi, jahitan di lukaku benar-benar terbuka. Aku berhenti sejenak dan menyandarkan tubuh dibawah pohon.
Kapten sebenarnya dimana kau berada? Aku sudah mencarimu kemana-mana.
...Door...! Door...! Door..!...
Saat sedang merenung, ku dikejutkan oleh suara 3 letusan senjata api yang sepertinya jaraknya tak jauh dari sini. Segera aku bangkit dan berlari mencari sumber suara.
Gideon? Daylen? Atau bahkan kapten yang sedang bertarung disana? Pikiranku semakin kacau dan entah kenapa aku membayangkan sesuatu yang tidak pernah kuinginkan itu terjadi.
...Door! Door!...
Semakin kudengar jelas suara tembakan yang kemungkinan besar hanya beberapa ratus meter di depanku. Tak kupedulikan lagi rasa sakit yang menganiaya perut ini. Aku harus segera sampai ke depan sana dan membantu siapapun yang sedang bertarung.
***
Saat keluar dari area hutan, mataku terbelalak dan sekujur tubuhku bergetar ketika melihat seorang pria paruhbaya berjubah hitam dengan topeng anjing putih bermandikan darah sedang bersandar di bawah pohon dengan tangan kiri putus. Di sekelilingnya puluhan prajurit Varaya terkapar meregang nyawa.
" Ka-kapten? " panggilku lirih dengan bibir tak henti gemetar.
Benar saja, saat pria itu menengok ke arahku dapat kupastikan bahwa dia adalah kapten Alvar. ku berjalan mendekat walau tubuh tak henti gemetar lalu kubuka topengnya.
" Me-mereka menjebakku ketempat ini. " Pungkas kapten dengan senyum khasnya. Senyum yang seolah-olah sedang tak terjadi apa-apa.
Lalu aku mengangkat lengan kiri kapten yang terputus. Jubah kapten kusobek dan kuikat ke tangan lengan kirinya agar pendarahan terhenti.
" Kupikir jumlah mereka hanya 10 orang saja saat berada disini. Tapi, ternyata itu untuk memancingku keluar. "
" Berhentilah bicara kapten! Aku akan membawamu kembali. "
Ku coba mengangkat badan kapten ke pundakku.
...Bruk...!...
Baru kuberjalan beberapa langkah, aku terjatuh berasama kapten.
Argh...
Luka diperutku mulai mencengkram erat. Rasanya perih dan nyeri. Aku mengerang kesakitan tepat disamping kapten yang tergeletak lemah.
" Tak perku kau memaksa membawaku Yoha. Aku sudah kehabisan banyak darah dan sekarang adalah giliranku untuk bertemu dewa kematian, " ucap kapten menengok kepadaku.
" Tidak! Kita akan ke parit pasukan Magolia di perbatasan! Kapten akan mendapatkan perawatan di sana. " jawabku mengakhiri obrolan kami.
Aku berusaha bangkit dan mengangkat tubuh kapten lagi. Selangkah demi selangkah ku membawa kapten masuk ke dalam hutan.
Walau sempoyongan menahan rasa sakit, aku tidak akan membiarkan kapten berakhir di sini. Itu yang kuinginkan tapi sepertinya berbanding terbalik dengan tubuhku sendiri.
Sekali lagi aku terjatuh dan terpaksa menyandarkan tubuh kapten di bawah pohon.
Kulihat sejenak wajah kapten mulai pucat dengan mata sayu. Aku tidak bisa membendung air mata lagi.
Apakah akan berakhir seperti ini?
Apakah aku akan kehilangan orang yang kusayangi lagi?
" Ambil... ini. " Kapten mengambil sepucuk pistol yang ia simpan pinggang kanan.
" A-apa maksud kapten? "
" Akhiri... aku... disini. " Ucapnya terengah-engah.
" Tidak! Aku tidak akan melakukanya! "
" Yoha..., aku sudah tidak mampu bertahan lagi. Tolong lakukan... "
Aku mengambil pistol kapten dengan gemetar. Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Nafasku terasa sesak saat kutempelkan pucuk pistol pada dada kiri kapten.
" Ba-bagaimana dengan anak dan istrimu? " Tanyaku.
Kapten tersenyum dengan mata memandang langit. " Mereka sudah siap kehilangan bahkan sebelum aku menjadi pasukan Faks. Karena itu akhiri penderitaanku disini Yoha. Aku hidup sebagai prajurit dan biarkan aku mati seperti prajurit juga, "
" Tapi kapten... " Ucapanku terputus oleh air mata yang tak henti keluar.
" Ini adalah perintah terakhirku padamu! Sersan Yoha wakil kapten regu dua pasukan Faks. Kuperintahkan padamu untuk menggantikan posisiku dan mengakhiri tugasku! " Tegasnya walau suara sudah mulai serak lemah.
Kapten memegang erat pucuk pistol yang kutempelkan di dada kirinya.
" Sersan..., " kupejamkan mataku sambil menunduk menahan beban kesedihan, " sersan Yoha siap mengambil alih kepemimpinan dan siap menjalankan perintah terakhir kapten! "
" Setelah kematianku ambilah buku catatan di tas yang kutinggalkan dalam kereta kuda. Selamat tinggal Yoha.... Sekarang aku akan menuju tempat terjauh. Tempat dimana matahari terbenam dengan senyuman kebebasan. "
Kutarik pelan pelatuk pistol itu pelan mencoba terus meyakinkan diri untuk menjalankan perintahnya. Untuk terakhir kali kulihat senyum pucat dari wajah kapten. Senyumnya seolah mengatakan bahwa dia sudah bebas dan akan pergi menuju tempat terdamai di alam semesta.
Maafkan aku kapten...
...Dor!...
Suara tembakan membelah kesunyian hutan di tengah gemercik air hujan dan sekaligus mengakhiri perjuangan kapten Alvar.
^^^To be continue.^^^