NovelToon NovelToon
Titisan Darah Biru

Titisan Darah Biru

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Dikelilingi wanita cantik / Epik Petualangan / Budidaya dan Peningkatan / Dendam Kesumat / Ilmu Kanuragan
Popularitas:25.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ebez

Mahesa Sura yang telah menunggu puluhan tahun untuk membalas dendam, dengan cepat mengayunkan pedang nya ke leher Kebo Panoleh. Dendam kesumat puluhan tahun yang ia simpan puluhan tahun akhirnya terselesaikan dengan terpenggalnya kepala Kebo Panoleh, kepala gerombolan perampok yang sangat meresahkan wilayah Keling.


Sebagai pendekar yang dibesarkan oleh beberapa dedengkot golongan hitam, Mahesa Sura menguasai kemampuan beladiri tinggi. Karena hal itu pula, perangai Mahesa Sura benar-benar buas dan sadis. Ia tak segan-segan menghabisi musuh yang ia anggap membahayakan keselamatan orang banyak.


Berbekal sepucuk nawala dan secarik kain merah bersulam benang emas, Mahesa Sura berpetualang mencari keberadaan orang tuanya ditemani oleh Tunggak yang setia mengikutinya. Berbagai permasalahan menghadang langkah Mahesa Sura, termasuk masalah cinta Rara Larasati putri dari Bhre Lodaya.


Bagaimana kisah Mahesa Sura menemukan keberadaan orang tuanya sekaligus membalas dendamnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ebez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Siapa Mereka?

Ki Karto dan Juragan Wongso saling berpandangan satu sama lain seolah-olah saling bertukar pikiran. Ketika keduanya menatap kepingan kepeng perak di atas meja, otak pedagang mereka pun seketika berputar cepat.

"Mau tahu dimana orang itu sekarang? Aku rasa otak ku tak bisa berpikir lagi jika cuma sekeping kepeng perak saja yang ada.. ", ucap Ki Karto mencoba untuk memanfaatkan kesempatan.

" Dasar tak tahu terimakasih! Apa kau benar-benar ingin macam-macam dengan Lembah Seratus Pedang??! ", Sempani yang gusar karena melihat sikap Ki Karto langsung menggunakan nama besar perguruan nya.

Juragan Wongso yang khawatir dengan masa depan mereka, langsung menarik Ki Karto sedikit menjauh dari tempat mereka semula.

" Jangan macam-macam dengan Lembah Seratus Pedang, Adik Karto. Rute perdagangan kita selalu melewati dekat tempat mereka. Jika kita membuat mereka tidak senang, bukan cuma Lembah Seratus Pedang saja yang akan bertindak tetapi juga pemerintah Mandala Jagaraga.

Apa kau ingin seumur hidup tidak berdagang lagi di Jagaraga dan sekitarnya? ", peringat Juragan Wongso sedikit berbisik.

" Tapi Kang, kita... "

"Diamlah! Biar aku yang bicara dengan mereka.. ", mendengar suara Juragan Wongso yang sedikit meninggi, Ki Karto tidak berani membantah dan memilih untuk diam.

" Maafkan kami Kisanak. Kami hanya... "

Klunntiingg!!!

Dua kepeng perak kembali di lempar ke atas meja makan oleh Cempakawangi sebelum Juragan Wongso menyelesaikan omongan.

"Masih kurang lagi?", ucap Cempakawangi dengan suara penuh penekanan. Jelas ini bukan pertanda baik. Juragan Wongso yang paham situasi pun segera tersenyum.

" Cukup cukup Nisanak, sudah cukup...

Begini setahu kami setelah pendekar itu menghabisi nyawa Dewi Upas dan para muridnya di Lembah Seribu Bunga, bersama Dewi Kipas Besi mereka menuju ke arah ibukota Mandala Kertabhumi. Apakah mereka masih disana atau tidak, kami juga tidak tahu Nisanak ", ucap Juragan Wongso penuh hormat.

Usai mendengar keterangan Juragan Wongso, Cempakawangi dan Sempani serta Tumpaksuru segera bergegas meninggalkan tempat itu. Dengan menunggangi kuda kuda pilihan, ketiganya segera menuju ke arah wilayah Mandala ( kerajaan bawahan ) Kertabhumi. Tujuan nya jelas untuk menemukan keberadaan si pendekar yang berjuluk Si Iblis Wulung secepatnya.

Usai melewati sungai kecil yang menjadi batas alam yang memisahkan antara Mandala Jagaraga dan Kertabhumi, ketiganya memacu kuda-kuda mereka sekencang-kencangnya ke arah timur dimana ibukota Mandala Kertabhumi berada.

Namun sayangnya, matahari telah hampir tenggelam di langit barat saat mereka memasuki Pakuwon Caruban yang merupakan wilayah penyangga ibukota Mandala Kertabhumi.

Sementara itu di timur Kotaraja Kertabhumi, Mahesa Sura sedang asyik membolak-balikan jagung muda yang di dapat dari petani. Setelah berhari-hari hidup dengan mengandalkan kekuatan bertahan hidup dari alam, mereka akhirnya berhasil bertemu lagi dengan peradaban manusia.

"Setelah ini apa rencana mu, Mahesa? ", tanya Dewi Kipas Besi yang duduk dekat api unggun.

" Aku berencana untuk menuju ke Padepokan Bukit Tengkorak, Nini Dewi. Dua guru ku memiliki dendam kesumat pada Si Jerangkong Hitam dan ia harus dimusnahkan ", ucap Mahesa Sura penuh keyakinan.

" Si Jerangkong Hitam adalah tokoh besar dalam dunia persilatan golongan hitam, Mahesa. Dia kondang sebagai sosok pendekar berilmu sangat tinggi yang bahkan Lembu Peteng Si Dewa Pedang dari Lembah Seratus Pedang pun harus berhati-hati jika berhadapan dengan nya.

Aku tahu kau memiliki ilmu bela diri yang tinggi, juga memegang salah satu pusaka dunia persilatan. Tetapi apakah kau yakin bisa mengalahkan nya? ", Dewi Kipas Besi menatap wajah Mahesa Sura penuh keraguan.

" Jika kita tidak mencobanya maka kita tidak akan tahu seberapa besar kekuatan yang kita miliki, Nini Dewi..

Aku tahu bahwa cita-cita ku untuk membalaskan dendam para guru ku ini sangat berbahaya bagi keselamatan ku tetapi kebaikan mereka selama 10 tahun terakhir ini layak untuk diperjuangkan meskipun nyawa ku sendiri menjadi taruhannya. Aku juga tidak memaksa Nini Dewi untuk ikut serta ke Bukit Tengkorak tetapi aku juga akan senang hati jika Nini Dewi bersedia untuk membantu membalaskan dendam Guru Ki Kidang Basuki. Semuanya terserah pada keputusan Nini Dewi ", tegas Mahesa Sura sembari mulai mengunyah jagung bakar yang masih mengepulkan uap air panas itu.

" Tentu saja aku ikut dengan mu, Mahesa. Apa kau pikir aku juga tidak dendam pada orang yang membuat aku harus hidup tanpa kekasih ku heh?!

Hanya saja, Cendani dan Ranti aku perintahkan untuk kembali ke Padepokan Gunung Kipas. Jika terlalu lama kami pergi, para murid ku pasti akan kacau. Jadi cukup aku saja yang bersama mu ke Padepokan Bukit Tengkorak "

Mendengar jawaban itu Mahesa Sura tersenyum lega. Bantuan dari orang lain memang ia perlukan untuk mengatasi Padepokan Bukit Tengkorak yang memang berisi para pendekar berilmu tinggi.

Selain Si Jerangkong Hitam, ada juga Manik Angkeran dan Dewi Secang Putih yang merupakan sesepuh Padepokan Bukit Tengkorak. Kedua sesepuh ini memiliki kekuasaan sedikit di bawah Si Jerangkong Hitam walaupun konon gabungan dari keduanya belum bisa dikalahkan oleh sang pimpinan Padepokan Bukit Tengkorak itu sendiri.

Selain mereka ada juga ratusan murid Padepokan Bukit Tengkorak yang bisa sangat merepotkan jika

dihadapi seorang diri. Sekalipun Mahesa Sura sangat percaya diri tetapi menggunakan otak juga perlu untuk menghadapi musuh yang mungkin saja bisa merepotkan.

Malam bergulir dengan cepat, meninggalkan kegelapan abadi yang menyelimuti bumi dengan dinginnya yang menusuk tulang. Apalagi sekarang adalah musim peralihan dari penghujan ke kemarau, membuat udara malam begitu tidak bersahabat dengan siapapun yang berada di luar ruangan.

Ketika pagi menjelang tiba, rombongan kecil Mahesa Sura bergerak meninggalkan timur Kotaraja Mandala Kertabhumi ke arah utara. Di tempat ini rombongan mereka terpecah menjadi dua bagian, rombongan Cendani dan Ranti ke arah barat sedangkan rombongan Mahesa Sura, Dewi Kipas Besi, Tunggak dan Pusparini bergerak ke arah yang berbeda. Tujuan mereka adalah salah satu ujung Pegunungan Kendeng yang menjadi tempat salah satu perguruan silat aliran hitam terbesar di wilayah itu : Padepokan Bukit Tengkorak!.

Menyusuri jalan yang membelah kawasan hutan jati yang masih lebat daunnya, mereka terus bergerak. Memanfaatkan kuda yang di beli oleh Tunggak dari seorang pedagang yang baru saja kerampokan, rombongan ini akhirnya tiba juga di kawasan kaki Pegunungan Kendeng Utara. Sejauh mata memandang hanya ada hutan lebat yang banyak ditumbuhi semak belukar juga pepohonan rimbun.

Jalan yang mulai terjal sulit untuk di lalui dengan kuda maka terpaksa mereka meninggalkan kuda kuda mereka di semak belukar yang ada di sekitar tempat itu. Sebuah jalan setapak bekas di lalui orang terlihat menaiki sisi punggung bukit yang terjal.

"Apa kita ini tidak salah jalan, Sura? Kok gak ada pemukiman sama sekali? ", tanya Tunggak sembari celingukan kesana kemari.

" Jangan salah sangka Nggak! Padepokan Bukit Tengkorak letaknya tersembunyi di kedalaman hutan, jika kita terus berjalan ke arah sana di balik pepohonan itu mestinya Padepokan Bukit Tengkorak sudah mulai terlihat.

Ayo jalan... ", sahut Dewi Kipas Besi sembari melangkah ke arah jalan setapak. Mahesa Sura, Pusparini dan Tunggak pun segera mengikuti langkah perempuan paruh baya ini.

Dan benar saja, di balik rimbun pepohonan yang cukup rapat terlihat sebuah pemukiman penduduk yang ada di lereng sebelah timur bukit berbatu. Di puncak bukit ini ada sebuah batu besar yang bentuknya menyerupai tengkorak manusia. Inilah dia Bukit Tengkorak, markas besar sebuah perguruan silat yang punya nama besar di dunia persilatan Tanah Jawa kala itu.

Di lereng bukit yang sedikit datar, berdiri sebuah bangunan besar yang memiliki halaman luas. Sekelilingnya berdiri bangunan rumah kecil dan pondok kayu yang jumlahnya sekitar 6 puluhan. Dari kejauhan terlihat beberapa puluh orang sedang berlatih.

"Jadi ini Padepokan Bukit Tengkorak, Nini Dewi? ", tanya Mahesa Sura seraya menajamkan penglihatan nya ke seluruh tempat itu.

" Benar, Mahesa. Inilah sarang mereka. Jumlah murid-murid mereka sekitar 200 orang lebih, meskipun tidak terlalu berbahaya bagi kita tetapi beberapa sesepuh dan murid memiliki ilmu kanuragan yang lumayan. Jika kita memaksakan diri untuk bertarung satu lawan satu, kita sudah pasti kehabisan tenaga saat harus bertarung melawan Si Jerangkong Hitam.

Kita harus menggunakan taktik jika ingin mereka bisa dikalahkan ", ucap Dewi Kipas Besi segera.

Hemmmmmmmmm...

Mahesa Sura manggut-manggut mendengar omongan Dewi Kipas Besi. Tetapi sesaat kemudian, sesuatu menarik perhatian nya. Dengan Ajian Indra Dewata nya, dia menajamkan penglihatan nya pada sebuah kelompok orang mengenakan pakaian hijau yang sedang bergerak ke arah Padepokan Bukit Tengkorak. Segera saja ia menunjuk ke arah orang orang itu sembari bertanya pada Dewi Kipas Besi,

"Nini Dewi, siapa mereka? "

1
Windy Veriyanti
Mahesa Sura nyantai dulu...sambil melihat situasi dan menikmati jalannya pertarungan...😉
Tarun Tarun
jgn ksh kendor upnya kg ebez
Ali Khadafy
cersil kang ebezz ga kaleng² cm syg ga bisa update tiap hari
saniscara patriawuha.
bantaiiii habissss manggg Belongggggg,,, ojooo kendorrrrr.....
Batsa Pamungkas Surya
hemat energi hemat makanan nie si Sura
🗣🇮🇩Joe Handoyo🦅
ibarat kendaraan menghemat bensin biar gak mogok dijalan 😅
🐼𝒫𝒶𝓃𝒹𝒶𝓃𝒲𝒶𝓃𝑔𝒾: makanya cari kendaraan jangan yg boros bensin doongg.. ish ish 🙄🙄
total 1 replies
arumazam
mati semua
arumazam
iblis wulung
arumazam
jago bener
arumazam
adu sakti lagi
arumazam
perang
arumazam
wah jd pembunuh bayaran nih
🗣🇮🇩Joe Handoyo🦅
Pelabuhan Tanjung Emas yang sekarang di semarang kah kang Ebez 🤔
arumazam
cadassd man
arumazam
sadis
arumazam
bantai bos
arumazam
bikin macet dikit,jgn tll dingin ama cewek
arumazam
ini baru jih,gahar hajar bantai
arumazam
adu sakti
arumazam
mantapppp
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!