Pangeran Sampah Yang Menyembunyikan Kemampuannya
Langit kelam memuntahkan hujan deras, menyelimuti medan perang dengan hawa dingin yang menusuk tulang dan aroma besi darah yang menguar tajam. Kilat menyambar dari kejauhan, cahayanya menerangi sosok seorang pria yang berdiri tegar di tengah kehancuran. Di sekelilingnya, tujuh roh raksasa melayang, masing-masing memancarkan kekuatan elemen—api, air, tanah, angin, cahaya, kegelapan, dan petir. Setiap serangan yang mereka lancarkan mengguncang bumi, meluluhlantakkan barisan musuh pengguna roh iblis.
Pertempuran telah berlangsung lama, tetapi hasilnya tak lagi diragukan. Pasukan persatuan kerajaan telah menang. Sisa-sisa musuh hanya bisa melarikan diri atau menyerah di bawah hujan yang tak kunjung reda. Namun, sang pria tidak merasakan euforia kemenangan.
Ia berdiri diam, tubuhnya penuh luka, napasnya berat. Pandangannya kosong menatap medan perang yang kini dipenuhi tumpukan mayat. Jeritan, dentingan senjata, dan raungan roh yang sebelumnya memenuhi udara kini digantikan oleh suara gagak yang hinggap di tubuh-tubuh tak bernyawa.
"Sudah berakhir," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam hujan deras. Namun, tak ada rasa lega dalam nada bicaranya.
Di dalam hatinya, ia tahu perang ini hanyalah awal dari yang lain. Akan ada lagi peperangan, lagi dan lagi, seperti siklus tanpa akhir. Ia hanyalah alat, diciptakan untuk bertarung.
Tetapi kini, hatinya lelah. Jiwanya hancur.
Langkah kakinya terdengar berat ketika ia berjalan menjauh dari kerumunan prajurit yang bersorak merayakan kemenangan. Ia tidak butuh tepuk tangan, tidak butuh pujian. Di bawah hujan deras, ia berhenti dan mencabut pedangnya dari sarung. Ketujuh roh yang setia mengikutinya perlahan menghilang, seolah memahami keputusan tuannya.
“Cukup,” bisiknya. “Aku muak dengan semua ini.”
Dengan satu gerakan cepat, ia menusukkan pedang ke dadanya sendiri. Darah hangat mengalir bercampur dengan air hujan, tubuhnya jatuh di antara mayat-mayat yang berserakan. Tak ada satu pun yang menyaksikan akhir hidupnya. Hanya burung gagak yang terbang melingkar di atasnya, seperti berkabung atas seorang pahlawan yang dilupakan.
.
.
.
Ketika ia membuka matanya lagi, ia tidak berada di medan perang. Tidak ada hujan, tidak ada gagak, tidak ada tumpukan mayat. Yang ada hanya langit-langit krem yang asing.
Ia mencoba menggerakkan tangannya, tetapi sesuatu terasa berbeda. Tangannya kecil dan mungil.
"Eh? Di mana aku? Kenapa tanganku sekecil ini?" pikirnya, bingung.
Yang ia tahu, ia telah meninggalkan kehidupannya yang lama. Namun, apa yang terjadi kini bukanlah akhir yang ia harapkan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...----------------...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Lima tahun telah berlalu sejak kelahirannya kembali sebagai Ferisu Von Velmoria, pangeran ketiga Kerajaan Velmoria. Dalam usia lima tahun, ia telah dikenal di seluruh istana—bukan karena prestasi, melainkan karena kemalasannya yang luar biasa.
Di dunia di mana keluarga kerajaan terkenal dengan roh kontrak tingkat tinggi, Ferisu menjadi pengecualian. Ia tidak menunjukkan minat terhadap roh atau kekuatan apa pun. Bagi istana, ia adalah aib.
Pagi itu, Ferisu duduk di bangku taman istana. Matahari bersinar cerah, angin berhembus membawa aroma bunga-bunga. Namun, ia tidak menikmati semua itu. Dengan mata sayu, ia menatap langit biru, melarikan diri dari tanggung jawab dan kegaduhan istana.
"Kenapa mereka selalu mencariku? Bukankah lebih baik jika aku dibiarkan sendiri?" gumamnya, menyandarkan tubuhnya ke bangku.
Langkah kaki para pelayan terdengar mendekat. Mereka memanggil namanya, tetapi Ferisu hanya mendengus malas. Ia berbaring, menutupi wajahnya dengan tangan kecilnya, berharap mereka menyerah mencarinya.
"Ferisu-sama! Raja memanggil Anda untuk menghadiri pertemuan keluarga!" teriak seorang pelayan.
"Ah, tidak tertarik," jawabnya pelan, meski tahu mereka tidak akan menyerah.
Tidak seperti saudara-saudaranya yang ambisius dan membanggakan roh kontrak mereka, Ferisu memilih menjauhi semua itu. Kontrak dengan roh hanya mengingatkannya pada kehidupan sebelumnya—pertempuran, kekuatan, dan tanggung jawab yang menghancurkannya. Ia tidak ingin terikat pada apa pun lagi.
Namun, kedamaian singkatnya terganggu oleh langkah kaki tegas yang mendekat. Sebuah suara lantang memecah keheningan.
"Di sini kau rupanya!" seru seseorang.
Ferisu mendesah panjang. Tanpa membuka mata, ia tahu siapa pemilik suara itu—Verina Von Velmoria, kakak perempuannya yang terkenal akan ketegasan dan kemampuannya. Sebagai putri pertama, Verina telah menjalin kontrak dengan roh angin tingkat tinggi, Sigurd. Segel berbentuk sayap elang hijau menghiasi punggung tangan kanannya, lambang kemampuannya yang diakui seluruh kerajaan.
"Kenapa kau selalu bersembunyi, Ferisu?" tanya Verina, melipat tangan di dadanya. "Ayah sudah menunggu. Kau pikir bisa terus menghindar?"
Ferisu membuka sebelah matanya, menatap Verina dengan tatapan malas yang bercampur keengganan. “Apa pentingnya aku di sana? Mereka hanya akan membicarakan roh dan kontrak. Dua hal itu, terus terang, sangat membosankan bagiku.” Nada bicaranya datar, penuh penolakan.
Verina menarik napas dalam, berusaha keras menahan emosinya. Sorot matanya yang tajam menunjukkan betapa frustrasinya ia menghadapi adik bungsunya ini. “Sudah cukup, Ferisu! Kau tidak bisa terus-terusan seperti ini. Kau adalah anggota keluarga kerajaan Velmoria! Apakah kau tidak peduli dengan martabat keluarga kita?”
Ferisu menguap kecil, menutupi mulutnya dengan tangan mungil. Raut wajahnya jelas-jelas menunjukkan ia tak peduli. “Martabat keluarga? Aku rasa kalian semua sudah cukup hebat tanpa aku. Lagipula, tidak ada gunanya aku ikut. Jadi, biarkan aku di sini saja.”
Tatapan Verina semakin mengeras. Amarah yang semula coba ia tahan mulai mendidih. Dengan langkah cepat, ia meraih tangan Ferisu, memaksanya berdiri dari bangku taman yang ia duduki dengan nyaman.
“Hey, hey! Aku bisa jalan sendiri, tahu!” protes Ferisu, meski tubuh kecilnya tidak benar-benar melawan genggaman tegas kakaknya.
“Diam!” suara Verina terdengar dingin, hampir seperti perintah. “Kau harus datang. Ayah sudah menunggu, dan ia tidak akan menerima alasan apa pun. Semua orang harus hadir, termasuk kau!”
Ferisu mendesah panjang, membiarkan dirinya diseret oleh kakaknya tanpa perlawanan berarti. Punggung tangan kanan Verina dengan segel kontraknya yang berbentuk sayap elang hijau tampak jelas saat ia menggenggam tangan Ferisu dengan kuat. Simbol itu adalah pengingat pahit bagi Ferisu tentang jurang besar yang memisahkan dirinya dengan keluarganya—mereka semua telah diakui oleh roh-roh tingkat tinggi, sementara ia bahkan tak pernah berniat mencoba.
“Aku benar-benar tidak suka keluarga ini,” gumam Ferisu pelan, suaranya cukup keras untuk sampai ke telinga Verina.
“Terserah kau mau suka atau tidak,” balas Verina tanpa menoleh, nadanya tegas dan dingin. “Tapi kau tidak bisa terus menghindar dari tanggung jawabmu, Ferisu. Cepat atau lambat, kau harus menghadapi kenyataan ini.”
Langit biru yang cerah tampak tidak cocok dengan suasana hati Ferisu yang gelap. Ia hanya bisa menyerah, membiarkan Verina menyeretnya menuju pertemuan keluarga yang tak ia inginkan. Dalam hati, ia tahu betul bahwa ia tak bisa terus-menerus menghindar. Namun, untuk saat ini, ia hanya berharap tidak ada hal besar yang akan mengganggu kehidupannya yang ia usahakan tetap malas dan damai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments