Axeline tumbuh dengan perasaan yang tidak terelakkan pada kakak sepupunya sendiri, Keynan. Namun, kebersamaan mereka terputus saat Keynan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya.
Lima tahun berlalu, tapi tidak membuat perasaan Axeline berubah. Tapi, saat Keynan kembali, ia bukan lagi sosok yang sama. Sikapnya dingin, seolah memberi jarak di antara mereka.
Namun, semua berubah saat sebuah insiden membuat mereka terjebak dalam hubungan yang tidak seharusnya terjadi.
Sikap Keynan membuat Axeline memilih untuk menjauh, dan menjaga jarak dengan Keynan. Terlebih saat tahu, Keynan mempunyai kekasih. Dia ingin melupakan segalanya, tanpa mencari tahu kebenarannya, tanpa menyadari fakta yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Axeline merasakan sesuatu yang tidak beres dengan tubuhnya. Hawa panas mulai menjalar, seolah membakar dari dalam, dan kepalanya terasa berat, membuat pikirannya kabur. Napasnya memburu, tubuhnya terasa semakin lemas, dan tempat di sekelilingnya mulai berputar.
"Ada apa denganku? Kenapa tubuhku ..." Axeline terdiam, matanya menatap Mita yang duduk di depannya dengan senyum licik, membuatnya sadar jika semua ini ulah Mita.
Axeline menelan ludahnya, berusaha menstabilkan napasnya yang tersengal. "Apa yang kau masukkan dalam minumanku?" tanyanya dengan suara bergetar, meski amarah mulai menyusup di dalam nada suaranya.
Mita menyeringai, menarik Axeline agar kembali duduk. Wajahnya semakin dekat, napasnya tercium aroma alkohol. "Aku hanya ingin membantumu bersenang-senang," ucapnya lembut, namun penuh nada ejekan. "Bukankah kita datang ke sini untuk merayakan keberhasilan proyek yang kau kerjakan, hm?"
Axeline menatapnya penuh kecurigaan, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Sementara itu, Mita dengan santai meraih ponselnya, mencari kontak seseorang, lalu menempelkan ponsel ke telinganya.
"Kau sudah bisa membawanya," ucapnya singkat. Tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya, dia memutus panggilan tersebut dan meletakkan ponselnya kembali di meja.
Jantung Axeline berdegup kencang, bukan karena efek obat yang mulai menguasai tubuhnya, tapi karena ketakutan yang kini menjalar di pikirannya. "Kenapa kau melakukan ini padaku, Kak?" pekiknya, berusaha menahan efek yang semakin kuat. "Apa salahku?"
Mita menatapnya dengan mata berkilat, penuh kebencian. "Bukankah sudah kukatakan? Kau telah menghancurkan hidupku, dan aku akan membawamu hancur bersamaku." Ia tertawa keras, tetapi suara dentuman musik di bar menyamarkan tawa jahatnya.
Axeline menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan tenaga untuk bangkit. Tangannya gemetar saat ia mengeratkan jaketnya di tubuh, seolah bisa melindungi dirinya dari sensasi panas yang semakin menggila di dalam tubuhnya.
"Rasanya tidak nyaman Sangat tidak nyaman," lirihnya lemah, sebelum akhirnya tubuhnya merosot di kursi dengan napas yang semakin memburu.
Mita menatapnya dengan puas, lalu bangkit dengan langkah santai. Ia menunduk, mendekat ke wajah Axeline yang semakin pucat. "Tidak perlu terburu-buru, Axeline," bisiknya lembut, namun terdengar mengerikan. "Sebentar lagi, temanku akan datang untuk membantumu."
Tidak lama kemudian, seorang pria menghampiri mereka dan berdiri tegak di depan Axeline dengan seringai menjijikkan. Pria itu menjilat bibirnya sendiri, matanya berkedip genit seakan menikmati pemandangan di depannya.
Mita menyambutnya dengan senyum puas. "Akhirnya kau datang juga," ucapnya santai. "Kau boleh membawanya sekarang. Dan, selamat bersenang-senang."
Axeline tersentak, jantungnya mencelos. Ia menoleh menatap Mita dengan panik. "Ja-jangan, Kak," suaranya lemah, hampir tidak terdengar di antara dentuman musik yang memenuhi ruangan. "Aku mohon."
Namun, Mita hanya tersenyum sinis. Ia mengibaskan tangannya, memberi isyarat agar pria itu segera membawa Axeline pergi.
Pria itu menyeringai lebar sebelum membungkuk, meraih tubuh Axeline yang lemah. Dengan mudah, ia menariknya agar berdiri, lalu mengangkatnya ke bahu seolah Axeline hanyalah boneka yang tidak berdaya.
"Tidak! Lepaskan aku!" Axeline berusaha memberontak, tetapi tubuhnya lemas, tidak memiliki tenaga sedikit pun untuk melawan. Rasa panas dan pusing yang menguasai tubuhnya membuatnya semakin tidak berdaya.
Pria itu terkekeh, cengkeramannya semakin erat. Sementara itu, suara musik yang menggelegar dan lampu yang berkedip-kedip membuat suasana semakin kacau. Semua orang tenggelam dalam kesenangan mereka masing-masing, tidak menyadari keberadaan Axeline yang tengah berjuang meminta pertolongan.
Pria itu membawa Axeline ke kamar yang sudah di sewa oleh Mita. Dia melempar tubuh Axeline dengan kasar, sehingga terlentang di atas tempat tidur.
Axeline menggeleng lemah, berharap pria itu akan melepaskannya. Tapi, seolah mendapatkan mangsa yang lezat, pria itu justru menyeringai senang.
"Ti-tidak, aku mohon, jangan lakukan," pinta Axeline dengan suara yang bergetar, hampir tidak terdengar.
Namun pria itu hanya menyeringai, seolah-olah ia baru saja mendapatkan mainan baru. Jemarinya mulai bekerja, melepaskan kancing kemejanya satu per satu, memperlihatkan niatnya dengan jelas.
“Tenang saja, cantik,” ucapnya dengan nada merayu yang justru membuat bulu kuduk Axeline meremang. "Kau cukup diam dan menikmatinya saja. Aku jamin, kau akan puas malam ini," seringai pria itu.
Dia mulai menarik kaki Axeline dan merangkak di atas tubuhnya. Kepalanya perlahan mengendus aroma vanila dari leher Axeline, membuat wanita itu menahan napas saat merasakan hembusan napas pria itu di lehernya. Aroma alkohol bercampur dengan nafasnya yang panas, membuat perut Axeline terasa mual.
"Harum sekali. Tubuhmu, benar-benar harum. Kau membuatku semakin bergairah, cantik. Aku jadi tidak sabar ingin menikmati tubuhmu."
Axeline hanya bisa menangis. Ia ingin melawan, namun tubuhnya justru berkata lain. Di saat seperti ini, entah mengapa yang muncul di pikirannya justru Keynan. Ia sangat berharap, Keynan akan datang menolongnya.
"Ti-tidak, jangan!" lirih Axeline.
Pria itu mulai membuka jaket Axeline dan membuangnya begitu saja. Seolah ingin menikmati setiap keindahan yang ada di depan matanya, pria itu mengusap pelan perut Axeline yang masih terhalang oleh baju.
"Aku tidak sabar, tapi aku ingin menikmati setiap momen ini agar meninggalkan kesan yang tidak akan pernah kau lupakan," ujar pria itu. Namun, saat hendak mencium Axeline, tiba-tiba pintu di dobrak dengan kasar.
B**RAK**!
Pintu terbuka lebar, membuat pria itu tersentak, refleks menoleh dengan mata membelalak.
Sebelum ia sempat bereaksi, sebuah pukulan keras mendarat tepat di wajahnya, membuatnya terhuyung jatuh ke lantai dengan erangan kesakitan.
Axeline, yang sejak tadi hanya bisa menangis dalam keputusasaan, membuka matanya dengan lemah. Samar-samar, ia melihat sosok yang begitu ia kenal, berdiri di dekatnya dengan napas yang memburu penuh amarah.
"Kak Keynan?" lirihnya.
Keynan beralih menatap tajam ke arah lelaki yang masih terkapar di lantai, dengan darah yang mengalir dari sudut bibirnya akibat pukulan yang baru saja ia terima. Dengan sorot mata penuh amarah, Keynan melangkah mendekat, mencengkeram leher pria itu, lalu menghantamkannya ke dinding.
"Apa yang kau lakukan pada Axeline, hah?" geramnya, suaranya bergetar menahan emosi yang hampir meledak.
Pria itu berusaha meronta, tetapi cengkeraman Keynan terlalu kuat. "A-aku hanya ..." Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Keynan kembali menghantam wajahnya dengan pukulan keras. Kali ini, lelaki itu nyaris kehilangan kesadaran, tubuhnya merosot ke lantai dengan napas tersengal.
Setelah memastikan pria itu tidak berdaya, Keynan berbalik, menatap Axeline yang masih terbaring lemah di tempat tidur. Matanya meredup saat melihat kondisi wanita itu yang terlihat pucat, mata sembab, dan tubuhnya yang tampak gemetar tidak berdaya.
"Axeline!" suara Keynan lebih lembut kali ini. Ia buru-buru melepas jasnya dan memakaikannya ke tubuh Axeline sebelum mengulurkan tangan untuk menyentuh wajahnya. "Aku datang. Kau aman sekarang."
Axeline menggigit bibirnya, air mata yang sempat tertahan kembali mengalir. Dengan sisa tenaga yang ia punya, ia meraih tangan Keynan, menggenggamnya erat seolah takut kehilangan pegangan satu-satunya di dunia ini.
"Ka-kak, aku takut," lirih Axeline.
"Tenang saja, ada aku di sini. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu."