Karena dipaksa untuk segera memiliki anak, Jovan sang CEO dari perusahaan ternama diam-diam menikah lagi. Dengan kejamnya, dia mengusir Seina selaku istri pertamanya yang dikira mandul. Namun nasib buruk pun menimpa Jovan yang mana istri keduanya mengalami kecelakaan hingga membuatnya keguguran bahkan rahimnya terpaksa harus diangkat demi menyelamatkan nyawa Ghina.
Lima tahun kemudian, Seina yang dikira mandul kembali dengan tiga anak kembar yang memiliki ketampanan mirip Jovan.
“Bunda, Oom itu milip Kakak Jelemy, apa Oom itu Ayah kita?” tanya Jelita, si bungsu.
“Bukan!” elak Seina.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selamat Dari Kritisnya
Berjam-jam menepuh jalan yang panjang, Seina dan si kembar tiba dengan selamat malam ini. Barang-barang wanita cantik itu diangkut dan dipindahkan ke bagasi taksi pesanannya.
“Bunda.. Jelita udah mau bobo,” lirih gadis mungil itu mengucek sebelah matanya. Ia sudah tidak bertenaga lagi untuk berjalan atau bicara. Jhansen? Tak perlu ditanya lagi, anak itu sudah tidur sedari tadi di gendongan sang Ibu. Sedangkan Jeremy, ia masih kuat meski sudah mengantuk sedikit.
“Macih lama kah campe lumah?” tanya Jeremy yang sekali-kali membuka lebar mulutnya.
“Kita sudah dekat kok, tapi kalau kalian sudah ngantuk, kalian bobo saja duluan, sayang.” Elus Seina pada rambut Jelita dan Jeremy yang bersebelahan dengannya.
Melihat mata Jelita dan Jeremy terpejam, Seina pun menyuruh pak supir taksi menuju ke alamat rumah Gara. Lalu di saat menikmati udara dan keheningan malam, ponselnya tiba-tiba berdering.
“Halo, Kak. Di mana kalian sekarang?” tanyanya dari Gara.
“Nih, kakak udah di jalan, mungkin beberapa menit kita udah sampe ke rumahmu.” Jawab dari Seina.
“Kak, mending ke rumah sakit. Gara sama Vara ada di sini soalnya.”
“Ohh siapa yang sakit?” tanya Seina.
“Kakak mending ke sini aja, nanti kakak tahu sendiri.”
“ Ok, kakak ke situ.”
Terpaksa Seina menyuruh pak supir balik arah menuju ke kota lain.
.
.
.
Bipp...
Suara klakson mobil terdengar. Namun itu bukan Seina melainkan dari mobil lain yang masuk menepi di depan rumah mewah seseorang.
“Selamat datang, Tuan Elson.” Sambut para penjaga pada Elson dan Bella, sekaligus si kecil Leon.
“Mana Ibu dan Ayahku?” tanya Elson.
Belum sempat para penjaga bicara, terdengar dari dalam rumah, Elgard tengah memarahi anak buahnya.
“Sudah saya bilang, cari ke semua tempat. Tapi kenapa tidak ada satu pun dari kalian yang bisa menemukan Ghina? Haaa?!!”
Di sofa, Mauren masih terisak-isak.
“Dad... Mom.. apa yang terjadi pada kalian? Apa yang terjadi pada Ghina??” Elson masuk bersama Leon yang segera memeluk Ibunya karena takut pada kemarahan sang kakek.
“Mom.. semua baik-baik saja, kan?” Bella lalu duduk di samping mertua perempuannya.
“Huhuhu Ghina... dia sekarang sedang sekarat tapi dia malah hilang...”
“Apa, hilang?!!” Elson dan Bella terperanjat kaget.
“Bagaimana bisa Ghina hilang, Ma?” tanya Bella pelan.
“Ini pasti gara-gara Jovan!” Terka Elson.
“Bukan, sialan itu bukan dia pelakunya.” Imbuh Elgard.
“Hiks... Ghina...” Mauren semakin tertunduk sedih memikirkan kondisi putrinya. Si kecil Leon yang duduk, ia membuang nafas. Dari dulu ada saja masalah yang datang dalam keluarganya.
“Kalau udah becal nanti, Leon nda mau jadi mapia.” Batin Leon kesal tapi bocah itu pun kembali murung karena Leon merupakan cucu dari pemimpin mafia yang merupakan pewaris berikutnya.
.
.
Di waktu yang sama, Seina sampai dengan cepat di hotel tempat Gara bermalam. Kedatangan mereka disambut hangat oleh Vara.
“Vara, di mana Gara? Kenapa cuma kamu sendirian di sini?” tanya Seina seraya duduk menyelimuti triplenya yang sudah pulas.
“Masih di rumah sakit, kalau kakak mau ke sana, kakak tinggal pergi ke depan hotel ini. Tapi sebaiknya kak Sei istirahat saja dulu.” Saran Vara karena Seina terlihat sudah mulai kecapean.
“Kakak mau ke sana, kau jaga anak-anak di sini.” Seina berdiri, menepuk bahu Vara dua kali.
“Apa mungkin yang sakit, Salwa? Raut wajah Vara tadi agak murung, kan?” batin Seina lalu menuju ke bangunan besar di depannya.
Tidak lama kemudian, Gara yang terduduk sendirian di depan kamar seseorang lantas menoleh ketika ia mendengar suara hak sepatu milik kakaknya. Terlihat Seina memakai mantel hitam berjalan dengan cepat ke arahnya.
“Gara...”
“Kak...”
Gara berdiri dan pada saat Seina berhenti di depannya, pria tampan itu tiba-tiba memeluknya membuat Seina terhenyak. Ia bingung pada Gara yang berbeda hari ini.
“Semua baik-baik saja kan, Ga?” tanya Seina.
Gara melepaskannya, ia berkata. “Baik, Kak. Tapi orang di dalam sana baru saja selamat dari masa kritisnya.”
“Kritis? Salwa kritis?” Kaget Seina.
“Kak Salwa baik-baik saja, Kak. Di dalam itu bukan Salwa, kok,” ucap Gara.
“Terus siapa?” tanya Seina seraya menghela nafasnya lega. Namun detik kemudian, Seina terguncang.
“Ghina.”
Seina mundur ingin berbalik pergi, namun Gara meraih tangan Seina cepat.
“Kak, aku tahu hubungan kalian tidak baik, tapi sekali ini saja tolong beri kesempatan dia bicara padamu, Kak.”
Seina menghempaskan tangan Gara.
“Gara, kenapa kau harus memohon demi dia? Dia sudah menyakiti kakak, menghancurkan hidup kakak!” marah Seina.
“Aku tahu, Kak. Tapi aku saat ini butuh dia untuk menjelaskan sesuatu.”
“Apa yang mau kau tahu darinya?”
Gara pun menjelaskan Ghina sempat berkata Papa padanya. Oleh karena itu, Gara merasa Ghina tahu sesuatu soal orang tua mereka. Seina lantas teringat pada kalung giok Elson.
“Gara, mana kalung kakak?” tanya Seina.
“Nih, masih Gara pakai.” Pria berjaket hitam itu mengeluarkan kalungnya dari balik baju kaosnya.
Alis Gara terangkat sebelah melihat Seina merogoh tasnya lalu Seina mengeluarkan sesuatu. Mata Gara seketika terpaku pada kalung yang persis di lehernya.
“Gara, kakak dapat kalung ini, coba kau lepaskan kalungmu itu,” pinta Seina dan kemudian benar kata Jelita, kalung giok tersebut berpasangan dan menyatu.
“Kak, darimana kakak dapat kalung ini?” tanya Gara menunjuk benda itu.
“Dari seorang pria bertato, kalau tidak salah namanya Elson Elgard. Pria itu berasal dari keluarga Elgard. Kakak tidak tahu apakah si Elgard ini sama dengan Elgard dari keluarga Ghina?” Jelas Seina seraya jarinya menunjuk ke kamar Ghina.
“Apa kamu bisa menyelidikinya, Gara?”
Gara mengangguk, “Kalau begitu, Gara pergi dulu, Kak. Tolong jaga juga wanita ini.” Gara mengambil kalung giok itu, bahkan memakai dua-duanya.
Seina yang ditinggal sendiri, berdiri di depan jendela seraya melihat Ghina di dalam sana yang dibantu oleh alat pernapasan.
“Apa Jovan tahu dia ada di sini?” pikir Seina merasa cemas bertemu lagi dengan pria itu.
Seina lalu memandang penuh arti ke arah Ghina. Rasanya mau marah padanya tapi Seina merasa kasihan juga. Perasaannya campur aduk tak karuan. Lalu Seina duduk ke kursi di sampingnya, ia merasa kesakitan di kepala memikirkan banyak hal.
