Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.
Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.
Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Bukan Lagi Tentang Kebetulan
Cahaya sore menyelinap lewat celah gorden kamar Davison, menciptakan bayangan lembut di dinding. Udara di kamar itu tenang. Hanya suara detak jam di meja kecil yang sesekali terdengar samar.
Davison terbaring di ranjang, matanya setengah terbuka. Di kursi dekat jendela, neneknya duduk tenang, memperhatikan cucunya dengan sorot mata yang mulai lega.
Sheina berdiri di dekat meja kecil. Tak banyak bicara. Perannya masih kabur di antara semua ini, tapi ia mencoba tetap di tempatnya.
“Kalau butuh apa-apa, panggil Sheina aja, Dev,” ucap sang nenek, lalu menoleh ke Sheina. “Kamu jaga Dev baik-baik ya.”
Sheina hanya mengangguk kecil. Kata-kata itu terasa berat, bukan karena tanggung jawabnya, tapi karena semua ini dibangun di atas kebohongan.
“Nenek istirahat dulu, ya,” sambung wanita tua itu sambil berdiri pelan. “Kalian berdua juga jangan terlalu banyak ngobrol. Dev harus banyak istirahat.”
Begitu pintu tertutup, Sheina baru menarik napas panjang. Ia duduk di kursi kecil di sudut ruangan, lalu merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel yang sejak pagi tak ia sentuh.
Layar ponselnya menyala, dan notifikasi langsung memenuhi layar. Tapi matanya hanya tertuju pada satu deretan nama: Ibu.
Ibu: Sheina, kamu ke mana?
Ibu: Kenapa HP kamu nggak aktif?
Ibu: Ibu tunggu kabar, Nak. Tolong balas.
Sheina diam. Pesan itu dikirim sejak siang, lalu menyusul pesan lain sejam sekali. Semua dengan nada sabar, tapi jelas menyimpan cemas.
Ia menunduk. Rasanya bersalah, tapi juga terjebak.
Perlahan, jari-jarinya mulai mengetik.
Sheina: Maaf, Bu. HP Sheina mati dari tadi. Tadi bantuin temen yang sakit. Sekarang nginep dulu ya, ngga apa-apa kan?
Sheina: HP Sheina baru nyala sekarang. Sheina nginep dulu, ya. Nanti kabarin lagi.
Kalimat itu dikirim tanpa banyak rasa. Karena kalau terlalu jujur, ia harus cerita semuanya. Dan kalau terlalu bohong, ia takut mulai kehilangan arah.
Ia meletakkan ponsel di meja. Pandangannya kosong.
Dari atas ranjang, Davison melirik. “Itu dari Ibu kamu?”
Sheina menoleh pelan. “Iya.”
“Kamu bohong?”
Sheina terdiam. Lalu mengangguk kecil, tanpa menjelaskan lebih.
“Capek, ya?” suara Davison lebih pelan kali ini.
Sheina mengangguk lagi. Tapi kali ini matanya mulai berkaca-kaca.
Sheina masih duduk diam di kursi, punggungnya sedikit membungkuk, tangan bersedekap di dada. Ponsel di atas meja sudah tak ia lirik lagi. Matanya menatap kosong, tapi pikirannya sibuk.
Dari atas ranjang, suara Davison kembali terdengar, pelan.
“Adik kamu Sean, udah tahu?”
Sheina menoleh. Pertanyaan itu sederhana, tapi nadanya penuh pertimbangan. Seolah Davison tahu, pertanyaan itu sensitif.
Sheina mengangguk pelan. “Udah.”
“Dia tahu semuanya?”
“Iya,” jawab Sheina, akhirnya bersuara. Suaranya rendah, hampir seperti bisikan. “Dari awal.”
Davison tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Sheina lebih lama, membiarkannya bicara.
“Sean ngerti semuanya,” lanjut Sheina. “Dia tahu aku pura-pura jadi istri Bapak. Dia juga tahu aku harus terus bohong sama Ibu.”
Suara Sheina sempat terputus di kata ‘Ibu’, tapi ia teruskan juga. “Tapi dia ngga banyak tanya. Dia cuma bilang kalau aku butuh sandaran, dia siap.”
Kata-kata itu membuat ruangan terasa lebih sempit. Davison memejamkan mata sejenak, menahan sesuatu yang sulit dijelaskan. Antara kagum, bersalah, atau terjebak.
“Sean anak yang baik,” gumam Davison akhirnya.
“Iya,” Sheina menunduk. “Dia lebih dewasa dari yang orang-orang pikir.”
Hening kembali mengisi ruangan. Tapi kali ini, bukan hening yang canggung. Lebih seperti jeda yang menyisakan ruang untuk bernapas.
...
Suara acara komedi dari televisi mengisi ruang keluarga, bercampur dengan bunyi-bunyian dari game yang dimainkan Sean di HP-nya. Ia duduk bersila di lantai, headset setengah tergantung di leher, jempolnya lincah menekan layar.
Di sofa, sang ayah duduk bersandar sambil memegang remote. Matanya tertuju ke TV, tapi tatapannya kosong. Lebih seperti sedang mikir hal lain daripada fokus menonton.
Ibu keluar dari dapur sambil mengelap tangan dengan handuk kecil. Begitu melihat ponsel yang tergeletak di meja ruang tamu berbunyi, ia segera menghampiri. Pesan dari Sheina muncul.
Sheina: Maaf, Bu. HP Sheina mati dari tadi. Tadi bantuin temen yang sakit. Sekarang nginep dulu ya, ngga apa-apa kan?
Sheina: HP Sheina baru nyala sekarang. Sheina nginep dulu, ya. Nanti kabarin lagi.
Ibu mendesah pelan. Antara lega dan sedikit dongkol. Ia duduk di pinggiran sofa, menatap layar ponsel itu lama, lalu mengomel sendiri, “Ini anak udah gede, tapi aja nggak ngerti tata krama minta izin. Pamit itu bukan berita, tapi adab.”
Sean yang dari tadi menguping sambil pura-pura sibuk main game langsung menyeletuk, “Gapapa kali, Bu. Siapa tau nanti ini jalan buat Kak Sheina ketemu jodohnya.”
Ibu langsung melotot pelan. “Jodoh apanya? Orang ini jam segini masih bantuin temen sakit. Emang ada jodoh yang datang pas orang lagi sakit?”
Sean nyengir. “Ya siapa tau. Dikirimin Tuhan lewat demam. Kayak sinetron-sinetron gitu.”
Bapak yang dari tadi diam, mendadak berdehem pelan. “Halah, kamu tuh, percaya banget sama sinetron.”
“Tapi kan Pak dulu juga ketemu Ibu waktu lagi nebeng motor pas kehujanan,” celetuk Sean santai, pura-pura sibuk ngatur strategi gamenya.
Bapak langsung menegakkan duduknya. “Itu beda. Dulu Ibu kamu tuh sopan, minta tolong baik-baik.”
Ibu menyambar dengan senyum setengah mencibir. “Ohh, sekarang berarti Sheina nggak sopan? Anak kita sendiri loh.”
Bapak langsung gelagapan. “Bukan gitu maksudnya. Maksud Bapak, ya tetep harus izin lah. Jangan tiba-tiba nginep.”
Sean tertawa pelan. “Iya iya, ini Bapak care tapi gengsi ngomong.”
“Apa? Siapa yang care?” Bapak melotot kecil.
“Yaa keliatan lah, dari tadi Bapak diem tapi tiap ponsel bunyi langsung nengok. TV mah cuma pajangan.”
Ibu ikut ketawa. “Udah, udah. Yang penting anaknya jawab. Tadi Ibu udah mikir macem-macem. Takutnya kenapa-kenapa.”
“Kayaknya Kak Sheina juga butuh waktu sendiri,” gumam Sean sambil melepas headset. “Maksudnya dia tuh kayak lagi mikir banyak hal. Aku liat tadi malam dia diem banget.”
“Dia cerita apa-apa sama kamu?” tanya Ibu pelan.
Sean menggeleng. “Nggak banyak. Cuma bilang lagi banyak urusan. Tapi keliatan capek banget, Bu. Bukan capek fisik, tapi kayak capek hati.”
Ibu menunduk sebentar. Raut wajahnya melembut. “Iya, Ibu juga ngerasa begitu. Mungkin Ibu harus lebih sering dengerin dia, ya.”
Bapak hanya mengangguk, meski pelan. “Anak perempuan itu susah ditebak hatinya. Tapi kalau dia pulang, bilangin. Jangan dibiasain bohong sama Ibu.”
“Siap, Pak.” Sean memberi hormat kecil, lalu nyengir. “Tapi kalo ternyata Kak Sheina beneran bawa cowok nanti jangan kaget ya.”
Ibu mendelik. “Bawa cowok? Jangan macam-macam kamu, Sean.”
Bapak langsung mendongak. “Cowok yang mana dulu?”
Mereka bertiga akhirnya saling pandang. Lalu tawa kecil meledak di tengah ruangan. Suasana rumah tak lagi tegang, hanya tersisa kehangatan yang sederhana, tapi tulus.