Keturunan Terakhir, mengisahkan perjalanan ke lima remaja dalam mengabdi di suatu yayasan yang menyimpan misteri. Tazkia, si gadis dengan kemampuan istimewanya, kali ini ia berjuang melawan takdirnya sendiri, menjadi keturunan terakhir yang akan jadi penentu untuk anak turunnya. Dia harus mendapatkan cinta sejati. Namun, disisi lain ia tak ingin mengorbankan persahabatannya. Lantas bagaimana Kia menyikapi antara cinta dan sahabat?
Kisah ini adalah kisah lanjutan dari novel sebelumnya, berjudul TEROR BAYI BAJANG. Jika kalian bingung bacanya, disarankan baca novel pertamanya dulu ya. Happy reading yeorobun. 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Puluh Tiga
Kia bersungut-sungut kesal, sang ayah memintanya segera memastikan apakah benar Husin adalah jodohnya. Usianya sudah sembilan belas tahun sekarang, yang artinya ia tak memiliki banyak waktu tersisa untuk bersantai-santai.
“Tapi ayah, belum tentu juga Husin lah orangnya. Lagian, bagaimana coba cara untuk memastikannya. Ayah saja nggak tau, gimana Kia? kalau ternyata Kia salah orang, percuma kan?” ucapnya kala itu.
“Kamu kenapa sih? dari tadi kayak yang kesal banget gitu?” tanya Shella saat keduanya tengah belajar mengaji bersama anak-anak tpq. Kia memang sedang tidak fokus, menyimak bacaan Andini pun ia terkesan asal-asalan.
Percakapan dengan sang ayah tadi terus hadir dalam pikiran, tentang benarkah Husin adalah lelaki yang ditakdirkan untuknya, hanya karena ia lah satu-satunya orang yang tak bisa ia gali masa lalunya.
“Nggak apa-apa kok Shel.”
“Kamu bohong, eh Kia jangan menoleh ke arah mimbar. Husin dah gila kayaknya, ngapain dia ngadep sini terus, bukannya nyimak ngajinya si Dicky.”
“Yang bener Shel?” Wajah Kia memerah, ia bahkan tak bisa berhenti memikirkan tentang dugaan lelaki itu adalah jodohnya, dan kini Husin malah terang-terangan menatapnya.
“Kapan coba aku bohong?”
Kia tersenyum malu, ia berpura-pura fokus mengajari Andini bacaan iqra yang benar. Shella merasa heran dengan tingkah teman-temannya. “Kalian sama saja, kenapa kalau saling suka nggak ngomong aja. Biar beres dan tenang kalau sama-sama tahu kan?”
“Kata siapa aku suka dia? aku belum boleh menyukai seseorang Shel, siapapun itu. Sebelum semuanya jelas untukku dan masa depanku.”
Shella tertawa lirih, menepuk pundak Kia pelan lantas merangkulnya. “Ternyata kamu matre juga, tapi gak apa-apa yang seperti itu sangat penting.”
Buru-buru Kia melepas tangan Shella dari atas pundaknya, ia menggeleng pelan. “Sepertinya maksud kita berbeda Shella.”
Tawa lirih seorang gadis menarik atensi keduanya, Shella dan Kia mendapati Devina tengah bercanda dengan Husin, di tangannya ada buku tentang tata cara membaca Al-quran yang benar.
Sepertinya Husin tengah memberikan contoh cara membaca bacaan ghorib yang tepat, dan Devina menirukannya. Gadis itu tertawa riang setiap kali melakukan kesalahan saat menirukan ajaran dari Husin, mulut Shella menganga, ia tak menyangka Devina seperti ini.
“Jangan begitu lihatnya Shel, nggak sopan,” tegur Kia.
“Nggak mungkin juga dia nggak tahu Ki, makin lama kupikiran, sikap Kak Devi membuatku tak mengerti.”
“Ssst, sudahlah.” Kia mengubur bayangan tentang Husin menjadi jodohnya, sepertinya ia memang terlalu tergesa-gesa.
Di lain tempat, seorang lelaki membanting guci ke atas lantai. PRANG!....
“Katakan pada Ayah, apa yang kamu lakukan di rumah Roy semalam itu?” tanya lelaki itu, matanya melotot menatap putra semata wayangnya yang terlihat tak gentar di depannya.
“Haruskah aku melaporkan semua kegiatan ku pada Ayah? aku sudah besar ayah!”
Lelaki itu menarik nafas panjang, tangannya yang terkepal kuat mendadak melemah. Rupanya ia mencoba untuk tetap tenang, di tatapnya sang putra yang masih berdiri di samping pintu. “Dengar Ren, niat ayah baik. Ayah hanya tak ingin kamu ikut campur dalam masalah seperti itu, kamu adalah penerus bisnis Ayah, jika sedikit saja namamu tercoreng, kamu pikir rekan bisnis ayah akan bersedia melanjutkan kerjasama ini? jangan gegabah!”
Narendra tersenyum licik, ia sudah sangat hafal ayahnya di luar kepala. Ia tak akan lagi tertipu kini, seperti saat-saat sebelumnya.
“Dengar Rendra, ayah hanya ingin yang terbaik untukmu. Katakan, apa yang kamu inginkan? belajar mengaji? ayah bisa panggilkan guru privat, daripada melaksanakan ide gila itu.”
Rendra tertawa lirih, menggelengkan kepala pelan sebelum akhirnya benar-benar pergi meninggalkan tempat. Ia tak peduli meski sang ayah terus meneriakinya. Ia sudah sangat lelah.
***
Kehidupan di yayasan terasa sangat damai, aura mencekam seperti saat hantu kepala masih sering berkeliaran dulu memang sangat terasa. Meski siang pun asrama putri akan terlihat horor. Tapi tidak dengan saat ini.
Sejak ditemukannya ikatan tali kafan berisi potret wajah dan juga kulit ular, teror itu seolah menguap begitu saja. Kia berharap semuanya benar-benar telah berakhir.
Malam itu bersama Shella, Kia berangkat ke kamar mandi. Bel jam tidur akan berdering beberapa saat lagi, satu persatu anak-anak meninggalkan tempat dan kembali ke kamar masing-masing. Namun, Shella merasakan perutnya sangat sakit. “Ki, tungguin aku ya, aku mau setor nih perutku mules banget.”
“Ya sudah cepat sana, aku tunggu di luar.” Kia duduk di bangku panjang tepat di depan kamar mandi, tak jauh dari kolam. Ia baru sadar jika di tempat itu tinggal mereka berdua, bel tidur juga baru saja berdering keras. Shella mengajaknya bercerita dari dalam bilik, sepertinya ia mencoba menghalau rasa takutnya sendiri.
Tak lama kemudian gadis berkacamata itu keluar bilik dengan senyum mengembang. “Ah, aku sangat lega Ki. Yuk kita pulang,” ajaknya.
“Yuk.” Keduanya hendak melangkah saat tiba-tiba terdengar tangisan seorang wanita menyayat hati.
“Ki, siapa yang nangis ya? apa masih ada anak yang tertinggal di kamar mandi ini?” Keduanya berjalan cepat memeriksa setiap bilik, khawatir jika suara tangis itu sebab sang gadis dalam bahaya. Namun, mereka tak menjumpai apa-apa, hanya saja tangisan itu makin keras
“Shel, kayaknya suara itu berasal dari kolam deh, kita cek yuk.”
“Kia, yang bener aja deh, coba kamu pikir orang gila mana yang udah bel tidur akan menangis sekeras ini di depan kolam, hah? aku yakin itu bukan manusia. Kita pulang aja yuk, udah biarin aja.” Shella menarik-bari pakaian Kia berusaha membawa gadis itu kembali ke kamar.
“Justru itu, kita harus melihatnya. Siapa tau coba dia dalam bahaya dan nggak ada yang menolongnya. Kan kasihan,” jawab Kia, ia berjalan pelan menuju kolam bersama Shella yang menempel di belakangnya.
Keduanya melihat seorang gadis berpakaian serba merah, Shella semakin takut ia teringat pesan Devina kala itu. Namun, Kia tetap mengajaknya untuk mendekat.
“Hai, kamu siapa?”
🏃🏃🏃🏃🏃