Mencintai akan di sakiti.
Di cintai akan menyakiti.
Saling mencintai akan tersakiti
Sang anak Athena bersinar bak surya.
Merubah konsonan takdir dunia.
Kekasih takdir yang saling memberontak.
Membuat jurang kebodohan.
Sang anak Athena yang terus merintih sakit.
Yang melihatnya adalah saksi-saksi kekejaman takdir.
Sinopsis: Seorang dara yang masuk ke dalam sebuah novel Dektektif dengan segudang misteri. Namun tidak pernah terpikirkan bahwa dia memiliki peran di bawah pena takdir.
Terbagi menjadi pikiran dan emosi, sang jiwa luntang-luntung mencari jiwa yang asli. Paus yang bertemu putri duyung di pinggir laut lepas, serta sang Dewi yang terus mencari sang dara.
Mengikat janji di bawah lembayung biru bumantara dan berkeliaran di dunia yang menurutnya fiksi. Sang dara yang terus mencari apakah ia pikiran atau emosi, sampai ia mengetahui ekspresinya adalah 'kebohongan'.
—BLUE ROSE—
Tak peduli bahwa ia merubah takdir, takdir tetaplah takdir. Ia tidak akan bisa menebus semua dosanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon olivia junia f., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31: Kita Sama-Sama Pendosa (1)
Ikanaide!
00:08 ————————————— • ——————01:06
⏭ ▶ ⏮
“**Sikapmu hanyalah sebuah kenyataan jati dirimu yang sebenarnya.” —Yukijima Athanoe**.
Harapan semua orang ...
♪♦
“Nah, ini baru namanya baku tembak!” seru Zenotoka lalu ia membuat bola-bola api dan melancarkannya pada Kyuusaku serta Tachibana.
Tachibana menebas semua bola api dengan cepat, membuat debu bercampur angin di sekeliling mereka. Di waktu yang sama, Noe mengemudikan helikopter menuju Akami dan yang lain.
Sebuah tali terjulur ke bawah menuju Akami dan yang lain. Akami melihat ke atas, di mana ujung tali lainnya di ikat pada Helikopter.
“Pegangan!” ucap Zenotoka dengan senyum miring.
Akami dan yang lainnya mulai mencengkeram tali dengan erat. Zenotoka berhenti melancarkan bola api dan Noe mengendarai Helikopter dengan kecepatan penuh pergi dari sana.
Namun di menit terakhir, mata hitam mengkilapnya bertemu dengan mata violet indah milik Tachibana. Tachibana tertegun, lalu ia tersenyum tipis. Noe terdiam sejenak lalu smirk di bibirnya terpampang.
Kyuusaku yang melihat Tachibana dengan tatapan bertanya, ia mendongak ke atas apa yang Tachibana tatap. Di sana Kyuusaku melihat gadis itu. Bertatapan langsung dengan mata indah Noe. Namun detik berikutnya, Noe memalingkan wajahnya.
Helikopter itu pergi, meninggalkan Kyuusaku dan Tachibana yang menatap sang helikopter yang lama-kelamaan pergi. Kyuusaku tersenyum tipis, tertarik dengan keadaan sekarang.
“Mustahil. Masih ada yang mau membantu SevenSix?” ucap Kyuusaku dengan nada mengejek.
Tachibana berhenti tersenyum, ia menatap Kyuusaku, “Athanoe ...”
Kyuusaku menatap Tachibana, “Aku tahu, dia Rubah Kelabu.”
Di Helikopter, suasana tampak hening dan canggung. Noe masih fokus untuk menyetir helikopter itu, tapi otaknya sedang berputar untuk merencanakan kedepannya.
Ia sudah bertemu dua anggota Little Wolf, artinya tinggal tiga lagi. Noe juga tahu, identitasnya sebagai Rubah Kelabu telah di ketahui.
Hatinya berdesir cemas, bagaimanapun ia harus bertahan di situasi ini. Walaupun rasa kesal dan lainnya berkecamuk dan campur aduk menjadi satu. Setelah inipun Noe pasti akan di beri banyak pertanyaan oleh anggota lain. Karena ia meminta bantuan Aldhein, musuh terbesar SevenSix, organisasi kejahatan terbesar di Yokohama.
“Tak disangka, kami diselamatkan oleh Aldhein.” ucap Akami sambil menatap Zenotoka.
Zenotoka menatap Akami datar, “Menyelamatkan? Jangan bodoh. Rekan kalian serta anak angkat dari Sachou kalian membuat kesepakatan dengan Bos. Imbalan menyelamatkan kalian adalah menghancurkan Little Wolf.”
Setelah perkataan Zenotoka, semua anggota menatap kaget ke arah Noe yang masih mengendarai. Noe tidak mempedulikan tatapan itu, tujuannya sekarang hanya: bertahan hidup.
Fujitsu menatap ke arah Zenotoka sambil mengernyit bingung, “Noe melakukan itu?”
“Tapi jika terus seperti ini, kita bisa mati.” ucap Hiro sambil mengerutkan kening.
Noe yang mendengar itu jantungnya terasa berhenti beberapa detik lalu berdebar kencang. Efek traumanya terasa lagi saat mendengar kata 'mati'.
“Aku akan mencegah kata 'mati' itu terjadi.” ucap Noe dengan nada tegas yang jarang ia keluarkan.
Semuanya menatap Noe tertegun. Tarasama menggigit bibir bawahnya geram. Ia tidak suka ketika Noe terus berada di barisan depan dan sudah merancang rencana.
Ia bukan iri, ia hanya tidak tega. Noe yang seharusnya sudah menikah dan bahagia di umurnya sudah 28 tahun harus berjuang di era gempuran organisasi tidak jelas ini. Harusnya Noe sudah pensiun dan mencari pendamping hidup.
“Itu benar. Melakukan secara idealisme saja tidak cukup, kita harus realistis.” ucap Akami sambil membenarkan letak kacamatanya.
Noe, Hiro, Tarasama, dan Fujitsu terkejut ringan. Namun aksi ghibah tidak luput dari mereka. Noe mulai berbisik-bisik pelan.
“Apa kepalanya tadi terbentur?” bisik Noe.
Hiro menggeleng pelan, “Apa karena tubuh aslinya terbelah dua?” bisiknya sangat pelan.
Tarasama begidik ngeri, “Terbelah dua?”
“Oh, maksudmu buku catatannya?” bisik Fujitsu Sweatdrop.
Akami yang tidak mendengar ghibah tersebut kalut kedalam lamunan dan pikirannya. Otaknya memutar memori kata-kata Kyuusaku pada dirinya.
“Sungguh, detak jantung yang mempesona. Akami si Perfeksionis, kau baru saja merasa lega, kan?”
“Hah? Aku sudah melihat laporannya. Cita-citamu megah dan membubung tinggi seperti balon udara. Tapi balon udara akan kehabisan bahan bakar dan terpaksa mendarat. Kau tidak mau menantikan hari di mana balonnya mendarat, kan?”
'Apa benar, saat melihat rekanku mati perfeksionisku akan hilang ...' batinnya miris.
Bagaimanapun, Akami hanya ingin melakukan semuanya dengan sempurna. Tapi sekarang ia merasa perfeksionisnya itu akan hilang begitu saja.
'Apa aku menantikan hari itu?' batinnya lagi.
Noe melirik sedikit ke arah Akami. Ia tahu apa yang Akami pikirkan, tahu dari buku. Tatapan Noe menyendu. Bagi Noe, Akami adalah individu yang tegar. Tapi saat melihatnya rapuh seperti itu, Noe merasa melihat dirinya sebagai 'Lakeswara Athanoe'.
Sebuah getaran pada Helikopter dan suara yang keras mengejutkan Noe. Semua mata mengarah pada Fujitsu di mana ia bersandar pada pintu helikopter.
Namun bukan itu, sebuah pedang menembus dadanya walau bukan pada jantung. Darah mengucur dan merembes di bajunya. Mulut Fujitsu mengeluarkan darah lalu ia memuntahkannya saat pedang itu di tarik.
Fujitsu langsung limbung ke depan, namun di tahan oleh Hiro. Zenotoka pergi mengecek keluar helikopter yang masih terbang itu. Mata Zenotoka membulat dan pupil matanya mengecil kaget.
Ia melihat Tachibana yang terbang dan mendarat di atap Helikopter. Zenotoka menatap ke arah Noe. Noe yang tahu kode itu langsung fokus ke depan untuk mengendarai helikopter.
Jujur saja, detak jantung Noe sudah tidak karuan. Dalam pikirannya hanya ada kata 'bertahan hidup'. Keringat dingin sudah membasahi pelipisnya serta matanya menajam.
Tarasama mencoba memberhentikan pendarahan Fujitsu di bantu Hiro dan Akami dengan sebuah kain sebagai pertolongan pertama sementara.
“Takkan kubiarkan!” ucap Tachibana sambil bersiap memotong baling-baling helikopter mereka.
Zenotoka mengerutkan kening, “Oi. Serius? Gawat! Dia akan memotong baling-balingnya!”
Bibir Akami bergetar mendengarnya, lalu tatapannya menjadi serius. Noe yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya berdiri dari duduknya. Ia meminta Zenotoka menggantikannya mengemudikan helikopter.
Akami berdiri lalu menuju pintu helikopter dan membukanya. Angin dengan cepat membuat surai milik Akami berterbangan. Akami menghembuskan nafas pelan.
“Tolong ... Kalian semua, cari pelakunya sampai ketemu.” ucap Akami membuat Hiro dan Tarasama menatap ke arahnya, “Aku mengandalkan kalian!” lanjut Akami serius.
Lalu ia melompat ke atap helikopter. Tubuhnya sedikit terhuyung, namun ia dapat mengimbangi tubuhnya pada angin. Tachibana sudah bersiap pada tempatnya. Sedangkan Noe, tangannya terjulur seperti akan memegang tangan Akami.
Namun semuanya terlambat, ia terlambat untuk mencegah apa yang akan terjadi. Noe membeku, lalu giginya bergemeletuk geram. Ia gagal sekali lagi, gagal lagi.
“Aku di sini untuk mengubah takdir, tapi aku gagal lagi. Lagi dan lagi.” gumam Noe sambil menggigit bibir bawahnya sampai berdarah.
“Kejahatan akan binasa! Bleid: Red Phoenix, Wisteria Musim Gugur!”
Seruan Tachibana untuk mengaktifkan Bleidnya terdengar. Pedangnya hampir akan memotong baling-baling helikopter. Namun tubuh Tachibana terdorong karena Akami yang mendorongnya.
Tubuh Akami dan Tachibana terasa ringan di udara, bahkan kacamata Akami sudah terjatuh entah kemana. Tubuh mereka terjun ke bawah karena dorongan Akami.
“Bodoh, meski di ketinggian seperti ini, aku takkan mati.” ucap Tachibana sambil bersiap mengepakkan sayapnya.
“Sayang sekali, ya?” tanya Akami sambil mengeluarkan pisau lipat di sakunya.
Tachibana meringis pelan saat sayapnya di tusuk oleh benda tajam itu. Sayapnya kaku, alhasil ia tidak bisa mengepakkan sayapnya. Darah terus menetes dari sana, menajamkan rasa ngilu pada Tachibana.
'Gomenne, Noe ... Akhirnya saat-saat terakhirku, kau juga melihatnya. Janjiku sudah di tepati.' batin Akami.
“Kamulah yang bodoh! Aku tidak akan membiarkanmu berhasil!” seru Akami, “Namae wa Haruka Akami! Cita-cintaku takkan runtuh! Dengan hidupku, balonku akan terbang selamanya! BLeid: Imajinasi Liar, granat!” lanjutnya.
Sebuah granat sudah berada di tangan Akami. Noe yang melihat itu dari pintu helikopter terus memanggil nama Akami. Kenapa ia tidak bisa berhasil satu kali saja? Setidaknya satu kali saja?
“Tidak! Akami! Haruka Akami! Jangan! Sialan, ku mohon! AKAMI!?”
Teriakan Noe menggema saat Akami menarik kunci granat. Sebuah cahaya menyilaukan dari granat terlihat, setelah itu suara ledakan terdengar sangat keras. Asap mengepul, menyelimuti Akami dan Tachibana yang entah masih hidup atau tidak.
“Iie! AKAMI-KUN!?”
Jangan tanya bagaimana air mata Noe sekarang ...
“Noe, apa jawabanmu jika ada yang menyukaimu?”
Noe menoleh ke arah Akami, “Entahlah,”
“Noe-San, aku menyukaimu—”
Jeritan Noe terdengar histeris, Hiro lantas memeluk Noe dari belakang. Tidak ada yang mengerti, kenapa takdir mempermainkan mereka. Mereka yang hanya manusia biasa yang akan mati kapan saja.
“TUHAN! KEMBALIKAN AKAMI PADAKU! BERIKAN PADAKU! TUHAN! TIDAKKAH KAU MENDENGAR JERITANKU! PARA SAKSI TAKDIR, KUMOHON BUJUK SANG PENGENDALI DUNIA!—
—KEMBALIKAN AKAMI PADA KAMI!?”
Sudah dua hari setelah kejadian kasus SevenSix berlalu. Namun itu tidak menyurutkan adanya pencarian anggota yang lain. Desas-desus dari masyarakat sekitar terdengar pedas, apalagi beberapa warga yang di tolong oleh SevenSix.
Lembayung biru bumantara dan sang surya sebagai saksi bisu desas-desus masyarakat di bawah sana. Dan juga sebagai saksi bisu di sebuah gudang, dimana terdapat satu perempuan dan satu sosok laki-laki terengah-engah.
Tanpa makanan dan tanpa minum, selama dua hari mereka di sana, bersembunyi. Tenggorokan yang terasa kering serta perut yang meminta makanan. Sang perempuan menunduk dalam, rasanya ia tak sanggup berdiri.
Akankah ini berakhir?