NovelToon NovelToon
Nabil Cahaya Hidupku

Nabil Cahaya Hidupku

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Anak Genius / Anak Yatim Piatu
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

sehari tanpa santi

 “Santiiiiii!”

Suara Sinta melengking memecah pagi, menggema dari dapur sampai ke lorong kamar.

Bayu keluar dengan langkah gontai, matanya masih setengah tertutup belekan. Napasnya berat, kesal karena tidur paginya diganggu.

“Ada apa sih, Bu?” keluhnya sambil mengucek mata.

“Kemana istri tak berguna kamu itu, Yu?” bentak Sinta, tangannya bertolak pinggang.

Bayu mendesah, malas menjawab. “Dia di rumah sakit, Bu. Nggak mau pulang. Nemenin Nabil katanya.”

“Kurang ajar! Dasar istri durhaka! Kamu ini gimana sih, Bayu? Bodoh banget, masa gak bisa bawa istrimu pulang? Kalau dia gak ada, siapa yang nyediain sarapan, hah?”

Bayu mengangkat bahu. “Yaiyalah, Bu. Bayu kan nggak bisa masak…”

Sinta mendengus keras. Matanya menyapu dapur yang kosong, meja makan masih dingin, tidak ada wangi nasi atau aroma tumisan pagi seperti biasanya. Perutnya melilit kesal.

Dengan emosi meledak, ia menggedor pintu kamar Nani.

Brak! Brak! Brak!

“NAANIII!!” teriaknya.

Dari dalam, terdengar suara malas. “Ada apa sih, Bu?”

“Kamu sekarang yang masak. Cepat!”

“Loh, itu kan tugasnya si Santi. Kok jadi aku?” sahut Nani sambil menarik selimut lagi.

“Dia di rumah sakit! Nemenin si Nabil! Masa kamu gak bisa bantu? Jangan manja aja kerjaannya!”

Nani mendengus. “Ya udah, tapi jangan aku doang dong, Bu. Suruh juga si Nunik tuh!”

Sinta memutar tubuhnya dan menghentakkan kakinya ke kamar Nunik.

Brakk! Brakk! Brakk!

“NUNIIIK! Bangun! MASAK!”

Dari balik pintu terdengar gerutuan malas. “Apa sih, Bu, pagi-pagi udah teriak-teriak?”

“Saudara kamu si Santi di rumah sakit. Sekarang kalian gantian masak!”

“Kenapa dia gak pulang sih? Apa dia lupa sama kewajibannya sebagai istri?” gumam Nunik, masih malas bangkit.

“Jangan banyak omong! Cepat ke dapur!” hardik Sinta.

Tak lama, Pak Adi keluar dari kamar, masih mengenakan sarung dan kaos oblong lusuh. Ia menguap lebar, lalu melihat ke arah dapur yang sepi.

“Bu, kopi aku mana?” tanyanya santai.

“Bikin sendiri, Pak!” jawab Sinta ketus.

Pak Adi mengerutkan dahi. “Loh, kenapa aku yang bikin? Mana si Santi?”

Sinta mendengus keras, kali ini suaranya lebih dingin dari biasanya. “Dia mati!”

Semua yang mendengarnya terdiam. Tapi bukan karena terkejut, melainkan karena bosan. Bosan mendengar Sinta menggerutu, bosan dengan rutinitas pagi yang mendadak kacau hanya karena satu hal: Santi tidak pulang.

Nani dan Nunik berdiri di dapur dengan muka masam. Keduanya sama-sama memegang spatula, tapi tidak ada yang tahu harus mulai dari mana.

“Kamu tahu cara masak nasi, gak?” tanya Nunik sambil melirik rice cooker.

“Ya enggak lah. Biasanya kan tinggal makan aja,” jawab Nani seenaknya.

Akhirnya mereka tuang beras ke rice cooker tanpa dicuci. Airnya kebanyakan. Mereka asal pencet tombol, berharap mukjizat turun dari langit.

Sementara itu, Nani mulai menumis bumbu bawang merah dan bawang putih. Tapi api kompor terlalu besar, dan dia lupa mengupas bawang sampai bersih. Asap mengepul dari wajan. Bawang-bawang itu gosong hitam.

“Duh, gosong!” teriak Nani panik.

“Turunin apinya! Tambahin minyak! Tambahin air!” sahut Nunik, panik juga, padahal sama-sama gak tahu caranya.

Air dituangkan ke wajan panas—cessshhh!—asap makin menggila. Seketika dapur diselimuti kabut putih pekat, mata pedih, dan aroma gosong bercampur minyak terbakar memenuhi udara.

“Bu! Kipas anginnya, mana sih!” teriak Nani, sambil mengibas-ngibaskan piring plastik.

“Pake sapu aja tuh, sapuin asapnya keluar!” balas Nunik, batuk-batuk sambil membuka jendela.

Tak berhenti di situ. Mereka mencoba menggoreng tempe. Tapi saat memasukkan potongan tempe ke minyak panas, cipratan minyak mengenai tangan Nani.

“AWWWW!! PANAS!!” jeritnya, menjatuhkan tempenya ke lantai.

Nunik spontan panik, menjatuhkan telur yang sedang ia pegang. Telurnya pecah, mengalir lengket di lantai bercampur minyak.

“Aduh ini dapur apa medan perang sih!” keluh Nunik.

Setelah satu jam penuh kekacauan, dapur seperti kapal pecah. Lantai lengket, minyak tumpah, rice cooker mendidih tanpa arah, dan hasil masakan?

Nasi lembek seperti bubur. Telur gosong dan menempel di wajan. Tempe hitam legam. Tumis kangkung... berubah jadi arang.

Sinta datang dan melihat dapur. Matanya membelalak. “Astaghfirullah ini dapur atau habis kebakaran?!”

Dapur rumah itu tampak seperti medan perang. Minyak berceceran di lantai, aroma gosong menyengat menyeruak dari penggorengan yang masih mengepulkan asap, dan sisa-sisa adonan tercecer sembarangan di meja dapur. Di tengah kekacauan itu, Nani dan Nunik duduk lunglai di lantai, napas mereka tersengal, wajah mereka belepotan asap dan minyak.

“Udah, Bu... kalau Santi nggak pulang juga… besok kita catering aja, ya,” gumam Nani sambil menyeka keringat di dahinya. Suaranya pelan, tapi cukup untuk membuat Sinta yang baru masuk ke dapur mendengus kesal.

Tatapan mata Sinta menyapu dapur yang porak-poranda. Gumpalan amarah menggelegak di dadanya.

“Kalian semua tidak berguna! Dapur ini jadi hancur begini!” hardiknya, nadanya tinggi.

Nunik, yang sejak tadi sibuk membersihkan telapak tangannya dari bekas minyak, mendongak dengan wajah murung. “Ibu jangan marah-marah terus. Ibu aja yang masak. Aku nggak bisa masak. Nih, kuku aku jadi rusak semua,” ucapnya sambil menunjukkan kuku-kukunya yang sebelumnya selalu dirawat di salon langganan.

“Bayuuuuuu!” teriak Sinta.

Bayu muncul dari ruang tengah, wajahnya kesal. Tadi hampir saja ia memenangkan taruhan di aplikasi judi online langganannya, namun suara ibunya menginterupsi konsentrasinya. “Ada apa sih, Bu?”

Sinta menoleh tajam. “Ibu nggak mau tahu. Kamu harus bawa Santi pulang sekarang juga. Hidup kita berantakan kalau dia nggak ada. Baru urusan masak aja udah kayak gini, belum lagi bersihin rumah, nyuci baju. Lama-lama ibu bisa gila. Kakak dan adikmu itu benar-benar nggak bisa diandalkan, kerjaannya cuma main HP. Untung si Nani belum punya anak. Nggak kebayang deh kalau punya, bisa ngurus atau nggak.”

Bayu terdiam. Ada sesuatu yang menampar kesadarannya. Kata-kata ibunya... tanpa sadar telah mengakui betapa besar peran Santi selama ini. Ia, perempuan yang selama ini dianggap tak berguna, rupanya adalah poros yang membuat rumah ini tetap berjalan.

Namun, sebelum ia sempat menanggapi, Nunik membuka suara dengan nada tinggi. “Bu, aku nggak sudi dibandingin sama Santi. Aku ini wanita berpendidikan. Santi itu nggak sekolah!”

Sinta menatapnya dengan sinis. “Bangga-banggain aja tuh pendidikanmu. Tapi sekarang kamu bisa apa? Nasi kamu lembek kayak bubur, telur kamu gosong hitam. Pendidikan macam apa yang nggak bisa bikin sarapan?”

“Bu! Aku sekolah bukan buat ngurus dapur! Aku ini mau jadi wanita karir, bukan pembantu dapur!” seru Nunik dengan nada tinggi, air mata nyaris jatuh karena emosi.

“Terus, kalau gitu... siapa yang harus masak?” tanya Sinta, dingin.

“Ya ibu dong! Ibu kan nggak sekolah...” kalimat itu menggantung.

“PLAAAK!”

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Nunik. Suasana mendadak sunyi. Bahkan suara kipas angin pun terasa nyaring.

“Kurang ajar kamu, ya! Mentang-mentang ibu nggak sekolah, kamu suruh ibu masak? Kamu pikir siapa yang lahirin kamu, ha? Aku ini ibumu! Belajar sopan santun!”

Nunik menahan tangis, berlari masuk ke kamarnya, lalu membanting pintu. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia melihat ibunya seperti kehilangan akal hanya karena masalah dapur. Namun, bukankah apa yang dikatakannya tadi ada benarnya? Bukankah wajar jika perempuan yang tidak berpendidikan memang selayaknya mengurus dapur?

Begitulah yang selama ini ia pelajari. Dari lingkungan, dari tontonan, dari budaya. Perempuan karier tidak berada di dapur. Dapur adalah tempat rendahan. Tempat yang dipenuhi minyak, asap, dan bau keringat.

Nunik tak pernah membayangkan dirinya harus mengurus rumah. Hidupnya selama ini adalah tentang gelar dan karier. Tentang gaun rapi dan rapat-rapat penting. Tentang presentasi dan anggaran—bukan tentang wajan dan spatula.

"Awas kamu, Santi. Akan kusiksa kamu lewat Nabil. Semua ini gara-gara kamu lupa kewajibanmu. Dasar perempuan rendahan!"gumam Nunik dalam hati. Ia sangat marah pada Santi.

Sementara itu, di ruang tengah, Sinta duduk di sofa dengan wajah tegang. Tangannya bergetar. Ia kesal—sangat kesal. Namun, di balik kemarahan itu, terselip pula rasa bersalah. Ia tidak suka menampar anaknya. Tapi... rasa tidak berdaya itu semakin menyiksa. Ia telah melahirkan dan membesarkan anak-anaknya. Ia ingin menjadi ratu di rumah ini. Tapi mengapa sekarang semuanya terasa kosong?

Bukan karena ia tidak bisa memasak. Tapi karena ia tidak mau. Ia merasa, untuk apa memiliki dua anak perempuan dan satu menantu perempuan jika semua pekerjaan rumah tetap harus ia kerjakan sendiri? Untuk apa ia menua, kalau tetap harus mengurusi dapur yang bau dan sumpek itu?

"Kekacauan ini semua gara-gara Santi tidak ada. Menantu kurang ajar itu harus diberi pelajaran agar lebih patuh,"gumam Sinta dalam hati.

"Bayu..." panggil Sinta dengan nada berat.

"Ya, Bu?" sahut Bayu pelan.

"Ibu tidak mau tahu. Sekarang juga kamu ke rumah sakit. Bawa Santi pulang. Beri dia pelajaran. Biar dia tahu tempatnya. Kamu itu suami. Kamu harus mendidiknya dengan keras. Jangan sampai dia merasa bisa seenaknya meninggalkan rumah ini."

Amarah Bayu memuncak. Kebenciannya pada Santi semakin tinggi, terlebih setelah kemarin ia dicemooh oleh pengunjung rumah sakit gara-gara menghina Santi. Dan pagi ini rumahnya kacau. Semua orang belum sarapan—termasuk dirinya. Dan tentu saja, menurutnya, ini semua salah Santi yang lebih memilih mengurus Nabil ketimbang mengurus rumah.

Dengan langkah kaki panjang dan emosi yang membuncah, ia melangkah keluar. Ia harus mencari waktu saat Santi sendirian, dan ia bersumpah akan memukulinya sampai Santi menuruti dia lagi. Nabil akan ia bawa ke panti asuhan. Menurut Bayu, penyebab Santi tidak lagi tunduk padanya adalah karena kehadiran anak itu.

Santi akan ia siksa. Dan Nabil… akan ia buang.

Itulah kesimpulan Bayu.

1
Tata Hayuningtyas
suka dengan cerita nya
Tata Hayuningtyas
up nya lama sekali Thor...tiap hari nunggu notif dari novel ini...kalo bisa jgn lama2 up nya Thor biar ga lupa SM ceritanya
Wanita Aries
Nah yg bertamu ibu2 yg merasa trsaingi jualannya
Wanita Aries: Bner bgt ka sllu nungguin update
Vina Nuranisa: nagih bgt ceritanya wkwk
total 2 replies
Wanita Aries
Mantap santi mnjauhlah dari org2 dzolim
Vina Nuranisa
kapan up lagii dah nungguin bgt😁
Wanita Aries
MasyaAllah nabil hebat pinter
Wanita Aries
MasyaAllah nabil
Yurnalis
cerita yang bagus semangat terus di tunggu lanjitannya
Wanita Aries
Menguras emosi karyamu thor
Devika Adinda Putri
terima kasih atas cerita yang bagus ini, semoga bermanfaat untuk para pejuang di luar sana, untuk penulis tetap semangat, mungkin tulisan ini belum banyak peminatnya, tapi aku yakin akan banyak yang suka, dengan cerita yg mevotivasi untuk semua orang
Devika Adinda Putri
selalu di tunggu lanjutannya
Wanita Aries
Sama kyk kluarga arman ya ceritanya
Wanita Aries
Sukaaa
Lestari Setiasih
bagus ceritanya
Arlis Wahyuningsih
mantap shanti....maju terus...👍👍👍😘😘
Arlis Wahyuningsih
cerita yg menarik..perjuangan seorang ibu demi putranya ygtak sempurna fidiknys tp luar biasa kemampuanya...mantap thor..💪💪🙏🙏
Farldetenc: Ada karya menarik nih, IT’S MY DEVIAN, sudah End 😵 by farldetenc
SOPYAN KAMALGrab: makasih ka doakan lulus kontrak..kalau lulus lanjut
total 2 replies
ARIES ♈
jangan lupa mampir ya Kakak ke ceritaku. ☺️☺️☺️
.•♫•♬•LUO YI•♬•♫•.
hih geram banget ma bayu.. kalau gua mah dah gua racun satu kluarga 🙄🙄
.•♫•♬•LUO YI•♬•♫•.: iyaa sama"
SOPYAN KAMALGrab: terimakasih KA udah komen k
total 2 replies
.•♫•♬•LUO YI•♬•♫•.
ceritanya bagus, juga gak bertele-tele... semangat trus ya thor..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!