Aurelia Nayla, gadis pendiam yang terlihat biasa saja di mata teman-teman kampusnya, sebenarnya menyimpan misi berbahaya. Atas perintah sang ayah, ia ditugaskan untuk mendekati Leonardo—dosen muda yang terkenal dingin dan sulit disentuh. Tujuan awalnya hanya satu: membalas dendam atas kematian ibunya.
Tapi semua berubah saat Lia menyadari, kode rahasia yang ia cari tak hanya terkait kematian, tapi juga masa lalu yang jauh lebih kelam dan rumit. Apalagi ketika perasaannya mulai goyah. Antara kebencian dan cinta, antara kebenaran dan kebohongan, Lia terjebak di dunia penuh tipu daya… termasuk dari orang yang selama ini ia percaya.
Akankah Leo dan Lia tetap saling menghancurkan, atau justru saling menyelamatkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak bisa kabur
Kain satin yang lembut menempel di kulitnya, membuat Lia merasa asing dengan dirinya sendiri. Pakaian tidur yang terlalu pendek dan tipis itu bahkan bukan miliknya—entah milik siapa. Ia berdiri mematung di depan cermin kamar asing yang kini mengurungnya, pikirannya berkecamuk. Hatinya penuh amarah, takut, dan bingung. Semua ini tidak masuk akal.
Ia ingin tahu kebenaran. Tentang dirinya. Tentang masa lalunya. Kalau Dario bukan orang tuanya—lalu siapa?
Sudah beberapa kali Lia mencoba membuka pintu kayu itu. Dia ingin keluar dari kamar asing ini. Tapi setiap kali dia menarik gagang pintu, hasilnya tetap nihil. Terkunci rapat. Lia berteriak meminta untuk keluar, memukul-mukul daun pintu dengan kedua tangannya, memohon agar ada yang membukanya. Tapi tak ada jawaban.
Lia terduduk di lantai dengan napas tersengal. Frustrasi. “Sebenarnya apa mau dia?” gumamnya pelan, suara seraknya menyebut satu nama—Leo. Lelaki yang begitu dominan, penuh rahasia, dan kini mengurungnya tanpa penjelasan.
Tok. Tok.
Suara ketukan pelan membuat Lia refleks menoleh. Pintu terbuka perlahan. Seorang pelayan perempuan masuk, membawa nampan makanan. Wajahnya tampak biasa, sopan dan patuh. Tapi Lia tak peduli.
Hatinya dipenuhi satu keinginan: keluar dari sini.
Begitu pelayan itu mendekat, Lia menghantamkan bingkai foto kecil dari atas meja ke kepala si pelayan. Perempuan itu terjatuh dengan erangan pelan, nampan terlempar, sup panas tumpah ke lantai, menguarkan aroma ayam dan rempah yang malah membuat Lia semakin mual.
“Maaf... aku harus keluar dari sini,” gumam Lia dengan napas memburu. Ia tak menunggu lama. Kakinya melangkah cepat, membuka pintu kamar dan mengendap keluar, menahan napas setiap kali melewati sudut gelap lorong rumah besar itu.
Jantungnya berdentum seperti genderang perang saat ia melewati tangga, mendekati suara dari salah satu ruangan besar di lantai bawah. Suara berat dan gema langkah kaki terdengar dari balik pintu yang sedikit terbuka.
Lia menahan napas dan mendekatkan tubuhnya ke dinding. Ia mengintip dari celah kecil.
Leo.
Tubuh tinggi itu berdiri dengan postur tegas. Di depannya, seorang pria tergeletak sambil memegangi bahu yang berdarah. Satu lagi berlutut, wajahnya pucat dan ketakutan, memohon ampunan.
“Kau kira aku nggak tahu?” suara Leo terdengar dingin. Tenang tapi mematikan. “Mengkhianati aku... berarti kau siap mati.”
Tembakan kedua meledak.
Tubuh pria berlutut itu tumbang. Darah mengalir, membentuk genangan gelap di atas marmer putih.
Lia menutup mulutnya rapat-rapat, tubuhnya bergetar hebat. Seluruh pemandangan itu seperti adegan dari film mafia—bukan kenyataan. Tapi ini nyata. Satu hal lagi kenyataan yang dia dapatkan, sifat asli dari lelaki yang namanaya mulai jadi pengisi hatinya. Leo bukan hanya dosen dingin yang sering membuatnya kesal. Dia adalah seseorang yang jauh lebih berbahaya dari yang pernah Lia bayangkan.
“Siapa dia sebenarnya?” bisik Lia, nyaris tak terdengar.
Ketakutan menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia tak bisa tinggal di sini. Tak bisa terus terjebak dengan orang-orang yang bahkan tak ragu menarik pelatuk di depan wajah manusia lain.
Dengan napas tercekat, Lia berbalik dan mulai berlari menjauh. Tapi langkahnya belum jauh saat suara berat itu memanggilnya.
“Lia.”
Tubuhnya membeku. Napasnya tercekat. Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang berdiri di belakangnya.
Langkah Leo mendekat. Wajahnya keras. Rahangnya mengeras menahan emosi. Mata itu—mata yang dulu membuatnya merasa aman—kini hanya membawa ancaman.
“Kau masih berusaha untuk pergi dari sini?” tanya Leo datar.
Lia mundur satu langkah, menelan ludah. “Kau... pembunuh,” desisnya.
Leo tak bicara. Dalam sekejap, ia meraih tubuh Lia dan mengangkatnya ke dalam gendongan paksa. Lia meronta, memukul dada dan bahu Leo sekuat tenaga, berteriak, menangis.
“Lepaskan aku! Kamu monster! Kamu gila!”
Leo tidak menggubris. Ia membawa Lia menaiki tangga, membuka kembali pintu kamar yang sebelumnya digunakan untuk mengurung gadis itu, lalu membaringkannya ke atas ranjang.
Lia langsung bangkit, mencoba kabur lagi, tapi Leo menahan kedua pergelangan tangannya di atas kepala. Tubuh mereka hanya terpisah oleh beberapa sentimeter udara.
“Mau sampai kapan kamu nekat kayak gini, hah?” gumam Leo, napasnya memburu. Suaranya berat dan tajam.
“Aku nggak mau di sini!” jerit Lia. “Aku cuma ingin hidup normal. Aku nggak mau jadi boneka yang kalian pakai seenaknya!”
Beberapa detik keheningan. Ketegangan di antara mereka terasa begitu tebal hingga nyaris bisa dipotong dengan pisau.
Leo menatap dalam-dalam ke mata Lia. Keduanya kini saling bertatapan.
Tangannya yang tadinya menggenggam erat, kini turun menyentuh pipi Lia, lalu turun ke dagu, dan berhenti di lehernya. Jemarinya hangat, tapi sentuhannya terasa menegangkan.
Tatapan mata Leo berubah. Bukan lagi penuh kemarahan atau dingin tanpa emosi. Ada sesuatu di balik sorot matanya—sebuah perasaan yang tertahan, atau mungkin luka lama yang belum sembuh.
Lia menoleh ke samping. Ia tak berani membalas tatapan itu. Tapi tubuhnya tak bisa mengingkari: jantungnya tak berhenti berpacu. Rasa takut dan gelombang emosi campur aduk di dalam dirinya.
“Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu... kecuali kamu yang memintanya,” bisik Leo pelan.
Leo akhirnya bangkit dari sisi ranjang, melangkah menuju pintu.
Sebelum keluar, ia menoleh sedikit. “Kunci dari kamarmu sudah kuambil. Tapi kamu tetap nggak bisa keluar dari rumah ini, Lia.”
Ia menatap lurus ke arah gadis itu.
"Nanti akan ada pelayan baru yang mengantarkan makanan. Kamu patuh dan makan." ucap Leo datar tapi raut wajahnya penuh perintah.
“Percuma kabur kalau dunia luar lebih kejam dari aku.”
Klik.
Pintu tertutup pelan, menyisakan keheningan dan tubuh Lia yang masih gemetar di atas ranjang. Matanya menatap kosong ke langit-langit, mencoba memahami dunia yang kini terasa begitu asing.
Tangannya menggenggam erat kain satin di tubuhnya. Lembut, dingin, dan asing—seperti hidup yang sekarang ia jalani.
Dia tidak tahu mana yang bisa dipercaya.
Yang ia tahu, mulai detik ini, semua jawabannya hanya bisa ia cari sendiri.
Dan dunia Leo... adalah tempat pertama yang harus ia taklukkan.
"Sepertinya percuma aku berusaha kabur dari sini. Orang kejam seperti dia mungkin harus ditaklukan dengan cara yang lebih lembut," gumam Lia dengan isi kepala yang mulai menyusun rencana untuk menaklukan lelaki itu.
Bersambung.....
Like, koment, vote!!
Terimakasih...