Bukan ingin Elea terlahir dari rahim seorang istri siri yang dicap sebagai pelakor, sejak sang ibu meninggal, Eleanor tinggal bersama ayah kandung dan istri sah sang ayah.
Sejak kecil ia tak merasakan kasih sayang dari ayah kandungnya, tinggal di rumah mewah membuatnya merasa hampa dan kesepian. Bahkan dia dipekerjakan sebagai pelayan, semua orang memusuhinya, dan membencinya tanpa tahu fakta yang sebenarnya. Elea selalu diberikan pekerjaan yang berat, juga menggantikan pekerjaan pelayan lain.
"Ini takdirku, aku harus menerimanya, dan aku percaya bahwa suatu saat nanti Ayah bisa menyayangiku." Doa Elea penuh harap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.33
Tak terasa malam pun tiba, setelah makan malam. Elea memilih duduk di halaman belakang dekat kolam, dimana terdapat bangku panjang. Elea memilih membaringkan tubuhnya, menatap langit malam bertabur bintang. Lebih baik dia diluar, dari pada satu ruangan dengan Bara.
Saat sampai rumah Bara tidak mengatakan apa-apa, dia memeluk Elea dan menciumnya. Lalu pergi mandi, seolah tidak terjadi apapun. Elea terisak jika mengingat itu semua.
"Astaga, kenapa aku cengeng sih!" keluhnya.
Bara menatap Elea dari kejauhan, dia tahu istrinya itu sedang menangis.
"Kamu bikin kaget saja," omel Elea, saat melihat Bara tiba-tiba duduk di sampingnya. Dia mengusap sisa air matanya berharap Bara tidak tahu.
Bara ikut berbaring di sisi Elea, dan meminta Elea berbaring di dadanya. Nyaman itu yang dia rasakan saat ini.
"Jangan khawatir, Elea. Aku dan Tiana sudah berakhir," kata Bara memulai obrolan.
"Kamu tahu, saat pertama aku melihatmu dulu aku begitu terpana bagaimana ada gadis kecil imut seperti barbie hidup." Bara menatap kosong ke depan, mengenang saat untuk pertama kalinya bertemu Elea. Memang dulu Elea sangat imut, dengan mata coklat mirip boneka barbie.
"Aku masih ingat, gadis itu menangis karena ditinggal Ibunya. Aku ingin mendekatimu dan menghiburmu, tapi Nyonya Mala dan Tiana melarang kami untuk mendekatimu."
Bara menatap Elea yang juga menatapnya, dia kembali bercerita. Sampai mereka beranjak remaja, Tiana mengatakan bahwa Elea adalah penghancur keluarganya membuat Mala dan Bima bertengkar, sampai Bara pun terpengaruh oleh ucapan Tiana.
"Tapi sekarang aku yakin, kalau Elea ku adalah yang terbaik. Dia berbeda dari gadis lainnya, bukan apa yang Tiana katakan."
"Elea percayalah aku hanya mencintaimu, beri aku waktu untuk menyelesaikan semuanya. Aku yakin Tiana akan mengerti," kata Bara, Elea hanya terdiam dia menatap hamparan bunga mawar yang mulai tumbuh.
"Entahlah Bara, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Memberikanmu waktu atau..."
"Tidak Elea, jangan pergi ... Jangan pernah berani pergi dari hidupku atau aku bisa gila."
"Baiklah, aku akan memberikanmu waktu tapi jangan pernah meminta apa yang tidak pernah bisa aku lakukan." Ucap Elea, membuat Bara tidak mengerti. Tapi dia senang, Elea memberikannya waktu untuk menyelesaikan urusannya dengan Tiana.
Dia berjanji jika selesai Bara akan mengajak Elea untuk bulan madu, ke Negara yang Elea suka. Misalnya bertemu dengan model yang suka pamer otot itu misalnya.
"Ohh, ya Ibu sama Bapak mau pulang." Kata Bara.
"Hah, kapan?" tanya Elea.
"Besok, katanya sudah terlalu lama ninggalin rumah sama kebun. Takut di curi," kekeh Bara.
"Bakal sepi, seandainya dia tidak pergi," lirih Elea, Bara tersenyum dan mengecup bibirnya sekilas. Dia tahu Elea sedih akan calon anak mereka yang keguguran.
"Kan ada Mita, kamu gak akan kesepian. Dan maafkan aku soal anak kita," balas Bara.
"Maaf aku sudah buat dia, pergi sebelum melihat Ibunya." Ucap Bara dengan wajah sendu, kesedihan dan rasa bersalah terbesar Bara adalah ketika dia kehilangan calon anaknya.
"Sudah tidak apa-apa, itu semua takdir dari Tuhan." Balas Elea mengelus tangan berotot Bara.
Malam ini suaminya memakai piyama berwarna hitam senada dengan dirinya, banyak hal yang Elea dan Bara bicarakan tentang masa depan mereka.
Elea tidak banyak berharap dan bermimpi, akan rumah tangganya kedepannya seperti apa. Dia akan menjalani semuanya, sesuai alur yang Tuhan berikan.
Tapi satu hal yang pasti, dia akan mempertahankan Bara sebagai miliknya. Walau badai didepan mata siap menerjang dirinya.
****
Sementara itu, Tiana lebih memilih untuk menemui Adrian di cafe milik lelaki tersebut. Dan disinilah Tiana berada, di sudut ruang yang bisa melihat keluar cafe dimana pengunjung mall sangat ramai.
"Maaf lama." Kata Adrian, sudah ada berbagai macam makanan manis juga kopi untuk Tiana.
"Tidak masalah, gue juga baru datang kok!" balasnya dengan nada angkuh.
"Bagaimana tawaran, yang saya, berikan?" tanya Adrian.
"Gue terima, tapi ada syaratnya."
"Apa syaratnya?"
"Lo harus mau jadi pacar gue, kalo misi kita gagal." Usul Tiana, membuat Adrian membulatkan matanya.
"Apa? Mana bisa begitu? Dasar gila, lebih baik gue jomblo." tekan Adrian.
"Ya terserah sih, lo mau atau engga. Yang jelas gue udah kasih penawaran terbaik sama lo, Adrian. Malah lo untung, karena lo nikah sama gue." Pungkas Tiana, dia memiliki niat lain lebih baik dia manfaatkan Adrian sekalian saja.
Dia akan melihat, apakah Bara cemburu atau tidak padanya?
"Ahh, sial serasa gue yang terjebak." Gumam Adrian dalam hati.
"Oke gue terima, itu kalau misi kita gagal. Tapi, kalau berhasil jangan mimpi jadi pasangan gue. Walau sekalipun itu dalam mimpi!" ucap Adrian dengan tegas, lalu pergi meninggalkan Tiana begitu saja. Beruntung Adrian memberikan secara percuma makanan tersebut.
"Heh, dasar gue juga mana mungkin jatuh cinta sama lelaki model dia." Cibir Tiana menggeleng pelan.
"Duh sayang makanan enak, kalau gak di makan mubazir. Lebih baik gue habisin atau.."
Tiana mengedarkan pandangan dan tatapannya tertuju, pada salah satu pelayan disana yang tengah membersihkan meja.
"Hey kamu, sini!" panggil Tiana.
Pelayan tersebut dengan cepat menghampiri Tiana.
"Ada apa Nona? Apa ada yang bisa, saya bantu?"
"Ini untukmu, bawa pulang." Tiana menunjuk makanan dimeja.
"I-ini beneran, Nona?"
"Ya, cepat bawa sayang kan dari pada di buang." Ketus Tiana.
"Baik, terima kasih." Ucapnya, dia membawa makanan tersebut. Walau berupa kue, tapi dia sangat bersyukur karena hari ini adiknya bisa makan enak.
"Sepertinya aku pernah lihat dia, tapi dimana? Apa hanya perasaanku saja ya?" gumamnya.
"Ahh, sudahlah lupakan aku harus fokus bekerja dan membahagiakan adikku." Katanya.
bersambung...
Maaf typo
Jangan lupa vote nya guys makasih 😍