Siapa yang bakalan menyangka kalau nama pena akan berakibat sebesar ini.
Nama pena yang ternyata membuat tetangga sekaligus musuh bebuyutan jadi mengira kalau aku menyukainya hanya karena aku meminjam namanya untuk tokoh novel yang kubuat.
Hingga akhirnya terjadi kesalahpahaman yang membuat kami terjebak di sebuah ikatan yang bernama pernikahan.
Kenapa bisa seperti ini? Apa yang harus kulakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andiyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resepsi Pernikahan
Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari. Kini, tibalah hari resepsi pernikahan.
Wajahku kini ibarat tembok, dari tadi disapu dengan kuas kecil yang entah apa namanya. Bukan hanya alis yang digambar, bahkan tanganku juga digambar.
Diberi gambar seperti di film-film India saat tokohnya akan menikah.
Ini semua cukup menyusahkanku. Gara-gara tangan diberi sesuatu yang disebut dengan henna, saat ada yang terasa gatal, aku dilarang menggaruknya. Karena hennanya belum kering.
Mbak Mila, anaknya Haji Amat, orang yang meriasku, dari tadi marah-marah terus selama proses makeup.
"Merem dulu ya," ucapnya setelah memberi sesuatu pada bagian atas bulu mata yang terasa sangat dingin. Kuanggukkan kepala sebagai jawaban.
Merasa tidak ada pergerakan dari Mbak Mila, aku jadi penasaran.
Dia sedang apa? Ini sampai kapan aku harus menutup mata? Kenapa lama sekali?
Aku sedikit membuka mata untuk mengintip apa yang sedang dilakukannya. Dari sudut mata, aku melihat Mbak Mila sedang mengotak-atik alat makeup-nya.
Segera kututup lagi mata ini saat Mbak Mila menoleh ke arahku.
"Ya Allah, Diyas! Kan aku sudah bilang jangan buka mata dulu," serunya.
"Nggak kok, Mbak. Aku dari tadi merem," sahutku berbohong dengan mata terpejam.
"Apanya yang merem? Dikira Mbak nggak tau apa? Nih lihat!"
Ketika membuka mata, dan menatap cermin di depanku, aku terkekeh kecil saat melihat kelopak mataku belepotan dengan warna hitam.
Setelah itu aku hanya bisa nyengir dan meminta maaf ke Mbak Mila.
"Aku menyuruhmu menutup mata dulu, itu karena eyeliner-nya belum kering," ujarnya, lalu menghembuskan napas pelan.
Kemudian aku kembali disuruh menutup mata. Terasa kalau kelopak mataku diusap-usap dengan sesuatu oleh Mbak Mila. Setelah itu, sensasi dingin kembali terasa seperti pertama kali tadi.
"Merem dulu. Awas lho ya kalau buka mata lagi," ucapnya memberi peringatan. Aku hanya bisa mengangguk pasrah.
Aku benar-benar seperti boneka yang harus menurut. Harus menutup mata ketika disuruh menutup mata. Harus membuka mata, ketika disuruh membuka mata. Harus mangap ketika disuruh mangap.
"Yas, Diyas!"
Aku mengerjab-ngerjab begitu merasakan pundakku ditepuk beberapa kali.
"Disuruh merem, malah molor!"
Aku menguap. "Hehehe. Maaf Mbak, habisnya kelamaan meremnya. Jadinya malah ketiduran."
Mbak Mila berdecak sambil geleng-geleng kepala.
"Sudah selesai," ucapnya.
Kutatap pantulan diriku di cermin yang dibalut gaun pengantin dengan hijab. Di atas hijab ada semacam mahkota yang terasa begitu berat. Belum beberapa menit, leherku sudah terasa pegal.
"Mbak, ini berat banget." Aku menyentuh mahkota yang ada di atas kepalaku. "Nggak usah pakek ini ya?"
"Loh, ya jangan, Yas. Udah, sekarang kita keluar dan naik ke pelaminan. Pasti para tamu undangan sudah nggak sabar mau lihat pengantin wanitanya."
Kuhela napas pelan ketika aku dituntun naik ke pelaminan. Ibu tersenyum bahagia melihatku.
Ke mana Aril? Kenapa hanya ada aku di sini?
Aku tolah-toleh mencari keberadaan orang itu. Kutemukan dia sedang berdiri memegang mangkuk di tempat makan sana, tangannya sibuk mengaduk serving dish yang berisi bakso.
Dasar! Dia enak-enakkan makan, sementara aku harus menahan lapar gara-gara didandani berjam-jam.
Tangannya dengan cepat menuang saus, kecap, dan sambal. Aku ikut menelan saliva ketika melihatnya melahap pentol.
Ck!
Segera jariku membuka aplikasi WhatsApp, mengiriminya pesan, kalau aku memintanya mengambilkanku bakso juga. Aku berdecak kesal ketika pesan yg kukirimkan centang satu.
Kuputuskan untuk turun dari pelaminan dan menghampirinya. Dengan sepatu yang hak-nya tinggi, membuatku sulit berjalan. Belum lagi gaun yang amat merepotkan ini, menambah susah untuk melangkahkan kaki.
Aku berjalan pelan, karena tidak terbiasa menggunakan sepatu yang tinggi seperti ini. Sehari-hari terbiasa memakai sandal jepit.
"Enak banget ya, baksonya!" ujarku saat sampai di tempat makan. "Enak banget kamu. Bisa bebas ke sana ke mari. Sementara aku? Kenapa kamu nggak didandani kayak aku juga, sih?"
Matanya terus menatapku, dari atas ke bawah, lalu kembali ke atas lagi. Mulutnya sibuk mengunyah pentol.
"Mau gerak susah, mau jalan susah, mau … hap!" Mataku membulat saat Aril malah memasukkan pentol ke dalam mulutku yang belum selesai berbicara.
"Enak, kan?" tanyanya.
"Ssh … pedes. Minum dong." Tanganku mengipas-ngipas mulut, lalu meraih aqua gelas yang disodorkan Aril.
"Duduk." Aril sedikit menggeserkan kursi yang diberi baju yang ada di sampingnya. Tanpa menjawab, aku langsung duduk.
"Tolong ambilin bakso dong, Ril. Aku susah buat gerak." Kutunjuk gaunku bagian bawahnya yang agak mengembang.
"Sama lontongnya sedikit aja," tambahku.
Aku tersenyum sumringah saat menatap bakso yang ada di depanku.
"Ternyata kalian ada di sini!"
Aku yang hendak melahap pentol bakso jadi urung begitu mendengar suara ibu.
"Ini gimana, sih? Masa pengantinnya pada ada di sini. Ayo balik ke pelaminan. Banyak tamu undangan yang nanyain kalian." Ibu menarik tanganku supaya berdiri.
"Tapi aku lapar, Bu." Kulirik Aril yang sudah selesai makan, sementara aku baru makan sesuap yang dikasih Aril tadi.
"Iya, nanti Ibu bawain bakso ke sana."
Aku masih bergeming.
"Ayo, Ril, Yas. Banyak yang sudah nungguin kalian di sana." Ibu berjalan terlebih dahulu dan menyambut para tamu yang berdatangan.
Aku menghela napas panjang. "Ril, tungguin dong. Aku susah ini jalannya."
Bukannya menunggu, Aril malah terus berjalan dan tak menggubris ucapanku.
Baru dua langkah, aku malah menginjak gaun pengantin. Seketika tubuhku oleng. Tanganku refleks meraih apa saja yang bisa kuraih untuk dibuat pegangan.
Sreet ….
Krompyang!
Serving dish yang berisi bakso itu tumpah karena taplak mejanya kutarik untuk pegangan.
Bakso panas itu mengenai gaun pengantinnya. Beruntung gaunnya tebal, jadi tidak mengenai kulitku.
"Ya Allah Diyas!" seru ibu yang melihat ke arahku.
Sementara Aril malah ngakak melihatku jatuh.
Kampr3t emang dia!
"Bantuin dong, Ril! Malah ketawa!" seruku sembari melotot kesal.
Bukan sakit yang kusarakan, tapi malu. Semua mata sekarang memandang ke arahku.
Dengan mulut yang tertawa lebar, Aril membantuku bangun. Sedangkan ibu terus saja mengomel karena gaun pengantinnya ketumpahan bakso. Belum lagi sayang sama baksonya yang tumpah itu.
Ini kenapa ibu malah lebih khawatir sama baksonya? Harusnya kan bersyukur karena kuah panas itu tidak mengenai kulitku.
Aku kembali dibawa masuk ke dalam kamarku yang saat ini disulap menjadi ruang rias.
Mbak Mila geleng-geleng kepala melihat gaun yang kupakai basah dan bau bakso. Aku hanya bisa nyengir dan meminta maaf.
Ini semua gara-gara sepatu ini!
"Maaf ya, Mil," ucap ibu. "Nanti aku tambahin lagi deh biayanya sebagai ganti laundry gaunnya yang terkena kuah bakso ini."
Terdengar helaan napas panjang Mbak Mila. Padahal belum waktunya pergantian gaun, tapi aku sudah ganti duluan. Mau nggak mau Aril juga harus mengangganti bajunya agar seragam dengan gaun yang kupakai.
Selesai mengganti gaun, kami kembali ke pelaminan. Kali ini Aril menuntunku, tentunya dia masih saja tertawa kecil. Menertawakanku yang jatuh tadi. Aku hanya meliriknya kesal.
Setelah tamu undangan yang ingin bersalaman dan berfoto mulai mereda, akhirnya kami bisa duduk.
Dadaku rasanya berdebar-debar. Bukan karena duduk berdampingan dengan Aril di pelaminan, bukan, tapi karena suara sound sistem yang memutar lagu dangdut begitu keras sampai menggetarkan kaca jendela.
Kami kembali berdiri karena lagi-lagi ada tamu undangan yang datang.
"Pernikahan ini tidak boleh terjadi!" teriak seorang perempuan yang entah datang dari mana. Semua mata kini berpusat pada perempuan itu.
kehamilan walaupun disembunyikan, pd akhirnya ttp akan ketahuan..
kami masih menunggu update nya loh
kak Andiyas please segera update ya kami rindu karyamu 🙏🙏
apa gk lnjut lgi sdh
ditnggu para pembaca setia ini
kok masih belum ada kelanjutannya???
kami rindu thor
kok blum ada up nya nih