Hutang budi membuat Aisyah terpaksa menerima permohonan majikan sang ayah. Dia bersedia meminjamkan rahimnya untuk melahirkan anak Satria dengan Zahra melalui proses bayi tabung.
Satria terpaksa melakukan hal itu karena dia tidak mau menceraikan Zahra, seperti yang Narandra minta.
Akhirnya Narandra pun setuju dengan cara tersebut, tapi dengan syarat jika kesempatan terakhir yang dia berikan ini gagal, maka Satria harus menikahi Gladis dan menceraikan Zahra.
Gladis adalah anak dari Herlina, adik tiri Narandra yang selalu berhasil menghasut dan sejak dulu ingin menguasai harta milik Narandra.
Apakah usaha Satria dan Zahra akan berhasil untuk mendapatkan anak dengan cara melakukan program bayi tabung?
Yuk ikuti terus ceritaku ya dan jangan lupa berkarya tidaklah mudah, jadi kami para penulis mohon dukungannya. Terimakasih 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia Fajar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33. NGGAK MAU MEMPERPANJANG MASALAH
Setelah kondisi Aisyah mulai membaik, Satria pun menanyakan kejadian yang sebenarnya, kenapa Aisyah sampai jatuh ke dalam kolam.
Aisyah sebenarnya tahu siapa orang yang telah mendorongnya, tapi dia nggak mau memperpanjang masalah, apalagi Herlina adalah adik dari papa mertuanya.
"Syah kenapa kamu diam? apa kamu terpeleset?"
"Eh...iya Kak. Aku memang terpeleset."
"Lain kali hati-hati Syah, jika memang kamu ingin berenang biar aku atau Zahra yang akan temani."
"Iya maaf, aku telah membuat semua khawatir. Oh ya Mas, mbak Zahra memangnya sakit apa, kok juga dirawat?" tanya Aisyah yang melihat Zahra tidur dengan tangan terpasang selang infus.
"Dia sakit perut, penyakit asam lambungnya kambuh."
"Jangan-jangan gara-gara aku ya Mas? Mbak Zahra jadi telat makan."
"Nggak juga gara-gara kamu Syah, memang penyakitnya mau kambuh. Yang penting sekarang kalian baik-baik saja."
"Kapan aku boleh pulang Mas?"
"Tunggu keputusan dokter Syah. Jika dokter besok mengatakan kalian sudah tidak kenapa-kenapa, kita pulang."
"Mas, aku mau pulang ke rumah kita saja ya. Di rumah Papa aku merasa nggak berguna, semua serba dilayani. Aku jenuh Mas."
Satria tidak menjawab hingga membuat Aisyah berkata lagi, "Mas dan mbak Zahra nggak apa-apa jika ingin tinggal di sana, biar aku sama Bibi."
"Pokoknya Mas nggak usah khawatir, aku pasti akan menjaga bayi kita dengan baik."
Zahra yang terbangun dan mendengar hal itu, langsung menimpali, "Kenapa Syah, kamu tidak suka tinggal di rumah Papa?"
"Eh, Mbak sudah bangun? maaf jika suaraku terlalu kuat hingga membuat tidur mbak terganggu. Bukannya nggak suka Mbak, tapi rasanya lebih tenang tinggal di rumah sendiri."
"Bagaimana Mas, apa kita tinggal bersama Aisyah saja? Aku juga tidak tenang jika membiarkan Aisyah tinggal sendiri, meski ditemani Bibi."
"Ya sudah, kami ikut kamu saja Syah. Tapi aku minta izin kepada papa dulu."
"Terimakasih Mas."
Aisyah pun lega, setidaknya dia akan menjauh dari Herlina yang hampir saja membuat nyawanya melayang.
Herlina yang pergi mencari Gladis tidak juga menemukannya. Lalu diapun kembali menelepon, tapi oleh Gladis malah dirijek.
Herlina marah lalu diapun menelepon Papa Gladis. Herlina ingin suaminya itu membantu mengurus Gladis.
"Hallo, ada apa Ma!"
"Kamu jangan enak-enakan Pa dengan pelakor itu, sementara putrimu merusak dirinya dan saat ini aku tidak tahu dia ada di mana. Gladis tidak mau mengangkat teleponku!"
"Hemm, kamu tenang saja, biar aku yang mengurusnya," jawab Papa sembari menutup ponselnya.
Herlina kesal, dia merasa tidak dihargai oleh suaminya itu. Jika tidak karena butuh dan tepaksa karena khawatir dengan Gladis, mungkin Herlina tidak akan mau meneleponnya lagi.
"Kenapa kamu marah-marah?" tanya kekasih Herlina.
"Dia matikan panggilan ku, padahal masih ada yang ingin aku katakan tentang Gladis."
"Kan sudah aku bilang, putrimu pasti pulang, jadi nggak usah kamu khawatir. Percuma juga menelepon suamimu, sekarang malah membuat moodmu tidak baik."
"Awas saja, jika sampai terjadi apa-apa dengan Gladis, aku bakal jambak tuh pelakor!"
Herlina terus mengomel, meskipun sang kekasih sudah menasehatinya.
Sementara Gladis pura-pura sibuk dengan ponselnya, saat sang papa memberi nasehat.
"Dis, kamu dengar apa yang Papa katakan?"
"Iya Pa, aku dengar. Cepat dong Pa, minta duitnya. Teman-teman ku sudah menunggu!"
"Kamu lebih pentingkan teman, daripada Papa? Kalau begitu Papa nggak akan berikan uangnya."
"Ah...Papa, percuma dong aku datang kesini, Papa pelit!" ucap Gladis sembari bergegas pergi.
Ibu muda yang melihatnya langsung mengejar dan berkata, "Dis tunggu! sebaiknya kamu balik. Papa pasti akan memberikan uang yang kamu minta. Tapi kamu juga harus mengerti jika beliau hanya ingin lebih lama berbincang. Papa merindukan kamu, Dis. Sudah lama kan kalian tidak bertemu seperti ini?"
"Jangan ikut campur, jangan sok baik, aku tidak butuh nasehatmu!" ucap Gladis.
Ibu mudapun menghela nafas, beliau tidak tahu lagi bagaimana caranya agar bisa dekat dengan Gladis.
Bersambung....