MENGANDUNG BENIH TITIPAN CEO
"Pokoknya Papa nggak mau tahu, sesegera mungkin kamu harus menceraikan Zahra dan menikah dengan Gladis!" Seru Narandra sembari terhuyung dan memegangi dadanya yang terasa sesak.
Ucapan Narandra bak petir menyambar di siang bolong. Zahra yang mendengar hal itu seketika syock dan tubuhnya luruh ke lantai.
Air mata yang sejak tadi Zahra tahan akhirnya tidak dapat dibendung lagi, mengalir membasahi kedua pipinya yang chubby.
Sementara di balik pintu lain, terlihat dua orang wanita sedang berjingkrak penuh kemenangan.
Mereka senang dengan keputusan Narandra dan keduanya berharap Satria akan segera menuruti perkataan sang Papa untuk bercerai.
Satria yang melihat tubuh sang Papa terhuyung, tidak berani membantah lagi. Kemudian diapun berteriak saat melihat Narandra hampir saja terjatuh.
"Pa, awas!"
Satria dengan sigap menahan tubuh sang Papa hingga tidak sampai menggelinding jatuh di tangga.
Lalu Satria pun memapah Narandra dan membawanya turun, mendudukkan serta menyandarkannya di sofa.
Satria membuka kancing baju sang Papa agar beliau bisa bernafas dengan lebih lega.
Kemudian Satriapun berteriak memanggil pelayan agar mengambilkan obat jantung milik Narandra yang ada di dalam kamar.
Melihat Narandra kesulitan bernafas, Satria pun panik. Apalagi saat pelayan yang dipanggil tidak kunjung datang.
Zahra yang mendengar teriakan panik sang suami, tidak lagi menghiraukan rasa sakit di hatinya. Diapun menghapus air mata, lalu bergegas, berlari ke arah kamar Narandra.
Semua laci yang ada di sana Zahra buka sampai dia menemukan obat yang dibutuhkan sang papa mertua.
Kemudian Zahra pun buru-buru kembali sembari membawa segelas air minum hangat untuk Narandra.
Tanpa berani memandang wajah Satria, Zahrapun meminumkan obat tersebut. Dia tidak mau sampai Satria tahu, jika dirinya baru saja selesai menangis.
Zahra kemudian kembali ke kamar, setelah melihat Narandra tenang dan bernafas dengan lega.
Meski ucapan Narandra tadi begitu sakit menghujam jantungnya, tapi Zahra tidak bisa membenci dan membiarkan sang mertua celaka karena terlambat memberinya obat.
Satria tahu Zahra pasti mendengar pertengkarannya tadi dan dia yakin Zahra sedang terluka hatinya.
Satriapun mengantar Narandra ke kamar, lalu dia menelepon dokter agar segera datang untuk memeriksa kondisi sang Papa.
Sambil menunggu kedatangan dokter, Satria meminta pelayan untuk menemani Narandra. Kemudian diapun ke kamar untuk melihat keadaan Zahra.
Mendengar suara pintu terbuka, Zahrapun buru-buru menghapus air matanya yang kembali menetes.
Satria langsung menarik Zahra ke dalam pelukannya, lalu diapun mencium puncak kepala Zahra sambil meneteskan air mata.
Tangis Zahra kembali pecah, dan dia mempererat pelukannya. Tubuh Zahra bergetar hebat, dia tidak mampu untuk menyembunyikan kesedihannya lagi.
Satria membiarkan Zahra menumpahkan kesedihan di dalam pelukannya, lalu setelah tangis Zahra mereda, Satria pun berkata, "Maafkan Papa Yang, aku tahu hatimu hancur. Nanti setelah Papa pulih, kita akan bicarakan masalah ini lagi. Mudah-mudahan Papa akan mengubah keputusannya."
Di luar dugaan Satria, Zahra justru menimpali ucapannya dengan tenang dan tanpa amarah, "Papa tidak salah Mas, aku tahu bagaimana perasaan Papa. Aku ikhlas jika Mas Satria menceraikan ku tapi tidak ikhlas jika Mas menikah dengan Gladis."
"Gladis bukan wanita baik Mas, aku tahu Papa bersikap begini karena ada campur tangan Tante Herlina. Mas Satria carilah wanita baik dan aku siap memberi restu."
Satria terkejut mendengar keikhlasan Zahra, lalu dia menangkup wajah chubby sang istri sembari menatap dalam matanya dan berkata, "Aku tidak akan pernah menceraikan mu sampai kapanpun. Masih ada cara lain untuk mendapatkan anak dan aku akan menawarkan hal ini kepada Papa."
"Kamu tenanglah Yang, Inshaallah Papa pasti setuju. Harap kamu ingat, sampai aku mati kata talak tidak akan pernah terucap dari mulutku!" ucap Satria, lalu menarik Zahra kembali ke dalam pelukannya.
Sejenak keduanya hanyut dalam pikiran masing-masing dan Satria melepaskan pelukannya saat mendengar seorang pelayan memanggil serta mengetuk pintu kamar mereka.
"Aku keluar dulu ya Yang, mungkin dokter sudah datang. Kita harus memastikan apakah Papa musti dibawa ke rumah sakit atau bisa dirawat di rumah saja."
Zahrapun mengangguk, lalu dia membenahi baju kemeja Satria yang sempat berantakan karena pelukannya tadi.
Satriapun bergegas ke kamar sang Papa untuk melihat dokter yang sedang memeriksa keadaan Narandra.
Satria pun mendekati sang dokter lalu bertanya, "Bagaimana keadaan Papa Dok?"
"Sebaiknya kita bawa Pak Narandra ke rumah sakit saja, saya akan lakukan pemeriksaan ulang, sepertinya jantung beliau kembali bermasalah."
"Baiklah Dok, saya akan bersiap. Dokter duluan saja, biar saya dan istri yang akan mengantar Papa ke rumah sakit."
"Oke, kalau begitu saya duluan. Saya tunggu kedatangan kalian di ruangan pemeriksaan."
Setelah mengantar dokter keluar, Satria pun meminta pelayan untuk menyiapkan pakaian ganti sang Papa yang akan dibawa ke rumah sakit, lalu Satria kembali ke kamarnya untuk mengajak Zahra.
Melihat Satria datang tergesa, Zahrapun bertanya, "Bagaimana kondisi Papa Mas?"
"Bersiaplah Yang, kita akan membawa Papa ke rumah sakit. Dokter akan melakukan pemeriksaan yang lebih intensif di sana."
Zahra pun buru-buru mengganti pakaian, lalu menyambar tas dan menyusul Satria yang sudah duluan turun.
Satria dibantu pelayan memapah sang Papa dan membawanya masuk ke dalam mobil, sedangkan Zahra membawa tas serta perlengkapan lain yang mereka perlukan.
Bersama seorang pelayan merekapun berangkat ke rumah sakit dan selama dalam perjalanan masing-masing diam, sibuk dengan alam pikirannya masing-masing.
Narandra juga tidak mengatakan sepatah katapun, meski dia berterima kasih karena Zahra telah menolong, tapi keputusannya masih tetap sama. Dia ingin Satria menikahi Gladis.
Sepeninggal mereka, Gladis dan mamanya baru keluar dari kamar. Keduanya pura-pura tidak tahu dengan apa yang terjadi barusan.
Herlina menghampiri pelayan, lalu bertanya, "Rumah kok sepi Bi? Kakak, Satria dan istrinya pada kemana?"
"Tuan terkena serangan jantung, Nya, dan saat ini Den Satria sedang membawa beliau ke rumah sakit."
"Apa Bi! Papa Narandra terkena serangan jantung?" tanya Gladis sembari mengucek mata layaknya orang yang baru bangun tidur.
"Kenapa tidak ada yang membangunkan kami. Jika tahu, kami pasti ikut menemani Papa ke rumah sakit," ucap Gladis lagi.
"Ya sudah Dis, kamu bersiaplah! kita akan susul mereka. Barangkali Kak Narandra ingin kamu yang menemaninya di sana."
"Dia kan saat ini sedang marah dengan Zahra, jadi cuma bantuanmu lah yang dibutuhkan Kak Narandra sekarang," ucap Herlina dengan percaya diri.
Gladispun mengangguk, lalu masuk ke dalam kamar untuk berdandan dan menyiapkan pakaian ganti.
Dia sangat yakin jika Narandra bakal menolak Zahra dan akan memintanya untuk menginap serta menjaga Narandra di sana.
Setelah berputar sejenak di depan cermin untuk memastikan penampilannya, Gladispun menyusul Herlina yang sudah menunggu di dalam mobil.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments