Karena kecerobohan sang Kakak, Nadira harus terjebak dengan seorang ketua geng Motor bernama Arash. Nadira dipaksa melayani Arash untuk menebus semua kesalahan kakaknya.
Arash adalah pemuda kasar, dominan namun memenuhi semua kriteria sebagai boyfriend material para gadis. Berniat untuk mempermainkan Nadira, Arash malah balik terjebak di dalam pesona gadis 17 Tahun itu.
Bagaimana ketika seorang badboy seperti Arash jatuh cinta pada gadis tawanannya sendiri?
Temukan kisahnya di sini, jangan lupa follow Ig Author @saka_biya untuk mengetahui info seputar Nadira dan Arash
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAKABIYA Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelukan Yang Nyaman
Nadira terbaring kaku dan membiarkan dr. Jasmine mendeteksi isi rahimnya dengan alat tranducer yang tersambung dengan layar monitor di sisi tempat Nadira terbaring.
"Ada keluhan?" tanya dr. Jasmine pada Nadira.
"A-ada, dok ...." jawab Nadira dengan segan, apa lagi di ruangan itu juga ada Rima yang menunggui dengan sikap dinginnya.
"Mual muntah?"
"Iya, dok."
"Tetap usahakan untuk memenuhi asupan nutrisi ya," nasehati dr. Jasmine.
"Baik, dok."
"Perkiraan usia kehamilan kamu saat ini sudah masuk minggu ke-6. Jangan kaget kalau kamu mengalami beberapa perubahan hormon pada tubuh kamu, dibawa enjoy aja, oke? Kalau ada keluhah, bisa kamu sampaikan pada keluarga ya, kalau keluhannya sudah tak bisa dihandle, kamu bisa kembali datang ke sini untuk berkonsultasi dengan saya."
"Iya, dok. Terima kasih."
"Oke, udah selesai. Tekanan darah normal dan tidak ada yang mengkhawatirkan."
Nadira bersyukur karena semuanya terpantau baik-baik saja.
Sepulang dari klinik, Rima tak bicara apa-apa lagi. Sesampainya di rumah pun, Rima langsung masuk ke dalam kamarnya dan tidak berbasa-basi pada Nadira.
Nadira mencoba membiasakan diri. Karena tak tahu harus bagaimana, Nadira pun langsung saja pergi ke kamarnya sambil menunggu Arash pulang kuliah untuk berbagi cerita soal hasil pemeriksaan hari ini.
"Sedang apa kamu di sana, kecebong?" Nadira memandangi hasil USG tadi, memang tidak ada yang dia lihat kecuali titik yang belum berbentuk apa-apa.
"Harusnya aku bangga menunjukkan kamu pada seluruh dunia, sayangnya ... Itu nggak mungkin sebab kamu bisa menghancurkan harapan banyak orang, sayang ...." lirih Nadira lalu mengusap-usap hasil USG itu.
Kemudian Nadira ingat kata-kata Rima saat di dalam perjalanan tadi.
"Ya! Setelah anak itu lahir! Pergi dan raihlah mimpimu, anak kalian, biar saya yang besarkan."
Kata-kata itu dengan jelas menegaskan kalau Rima tak menghendaki pernikahan di antara Nadira dan Arash. Di saat Nadira akan mulai percaya pada Arash, malah ada aral dan rintang yang tak kalah besar. Bagaimana bisa dirinya dan Arash memulai harapan baru kalau tak ada restu dari Rima?
Nadira merasa semakin hampa karena Teguh sudah berangkat bertugas kembali. Padahal Teguh adalah salah satu yang membuat Nadira merasa lebih baik. Teguh seperti seorang ayah yang menganggap Nadira sebagai anak sendiri.
"Berhenti mengeluh, sayang. Raihlah hidupmu yang baru, lalui dengan kesabaran, ibu dan ayah selalu ada bersamamu ...."
Di saat Nadira memejam mata, tiba-tiba Nadira merasakan kehadiran mendiang ibunya. Walau hanya sebuah delusi, tapi rasanya nyata sekali sehingga Nadira tak terasa menitikan air mata.
"Ayaah ... Ibu ...." lirihnya lalu setitik air mata berubah jadi aliran yang lebih deras.
*
*
Makan malam di rumah Arash sekarang ada yang berbeda karena kedatangan anggota baru. Karena Teguh sudah kembali bertugas, sekarang di meja makan itu hanya ada 3 orang saja. Rima, Arash dan Nadira.
Nadira hanya memainkan sendok di atas nasi yang tersaji di piringnya. Malam ini Nadira sedang tak ingin makan nasi.
"Besok kamu sekolah?" tanya Arash.
"Iya, Kak."
"Seragamnya udah disiapin?"
"Udah."
Hanya Arash dan Nadira saja yang berinteraksi, sementara Rima diam saja. Rima juga tampak tak nafsu makan. Terhitung, baru ada 2 suapan saja sedari tadi, padahal Arash sudah hampir menghabiskan makanannya.
Rima pergi dan mengabaikan makan malamnya. Rima juga tidak pamitan, dia pergi begitu saja.
"Kok nasinya nggak diabisin, Mah?" tanya Arash merasa heran. Rima tak menjawab dan terus berjalan menuju ke kamarnya.
"Mama nih gimana sih? Biasanya sewot kalo anaknya nggak ngabisin makanan di piring," gerutu Arash tapi Arash tak terlalu peka dengan sikap dingin Rima. Sementara Nadira sudah tahu kenapa Rima seperti itu.
"Mama kamu nggak suka ada aku di sini," ucap Nadira pelan. Arash melirik pada Nadira. Arash mengerti sekarang.
"Mungkin mama butuh waktu," kata Arash.
"Iya, mungkin."
"Lama-lama Mama juga akan bersikap hangat ke kamu, apa lagi kamu lagi ngandung calon cucunya, nggak mungkin mama nggak senang dengan hal itu," hibur Arash.
"Entahlah, aku nggak yakin ...."
"Kamu lagi nggak mau makan ini? Mau makan apa? Ntar aku beliin," tanya Arash mulai semakin peka dengan situasi yang dialami oleh Nadira.
"Dari tadi udah terlalu banyak ngemil, jadi sekarang nggak begitu lapar."
"Beneran?"
"Iya. Aku ke kamar duluan ya," pamit Nadira.
"Tunggu, aku juga udah selesai!" Arash mempercepat suapan terakhirnya, kemudian minum lalu setelah itu bersiap untuk pergi bersama dengan Nadira.
"Yok ...." Arash menggandeng tangan Nadira.
Sejenak Nadira terdiam lalu menatap genggaman tangan itu.
Lagi-lagi Nadira merasa dilema, di saat Arash sudah bersikap baik dan manis, kenapa Rima malah menginginkan mereka untuk berpisah kelak? Apakah Nadira memang tidak berjodoh dengan kebahagiaan?
"Kok malah diem? Mau digendong?" tawarkan Arash karena Nadira begitu pasif dan hanya diam.
"Nggak lah! Oh iya, aku mau nunjukkin sesuatu ke Kak Arash."
"Apa tuh?"
"Nanti aku tunjukkan begitu sampai di kamar."
"Oke ...."
Mereka berjalan bersama menuju ke lantai 2 rumah. Sebelum ke kamarnya, Arash ikut masuk ke kamar Nadira karena Nadira ingin menunjukkan sesuatu.
"Nih ...." Nadira menyerahkan potret hasil USG tadi siang dan Arash menerimanya dengan antusias.
Walau hanya gambar monoton, tapi entah kenapa Arash bangga sekali melihat itu. Arash memperhatikan poto itu dengan seksama sambil tersenyum. Barulah Nadira percaya kalau Arash memang bahagia dengan kehamilannya.
"Dia akan terus tumbuh, tumbuh, tumbuh dan lahir ke dunia ini ... Di saat itu, kebersamaan kita juga akan berakhir ...." ungkap Nadira membuat Arash mengalihkan tatapan matanya. Tatapan yang tajam bagai busur panah menusuk ke arah Nadira.
"Apa sih maksudnya?" Arash agak tersinggung dengan kata-kata Nadira.
"Kamu akan akan melanjutkan study di Luar negeri, aku akan melanjutkan kuliah dan anak ini akan diurus oleh mama kamu," ucap Nadira mengulangi apa yang Rima katakan tadi siang.
Arash kembali muram dan tampaknya memang tak suka dengan kata-kata Nadira.
"Kamu maunya begitu?" tanya Arash.
"Bukan aku. Tapi mama kamu!" tegas Nadira.
"Kapan mama bilang gitu?"
"Tadi, pas mau ke Klinik."
"Ya udah sih nggak usah ditanggapi! Kalaupun nanti kamu mau lanjut kuliah, ya kuliah aja, nggak mesti harus berpisah kan?"
"Aku nggak yakin, harapan mama kamu itu cuma kamu! Dan kehadiran anak ini, kehadiran aku di sini, sudah menghancurkan harapan mama kamu itu!"
Arash kesal. Perasaannya terasa ditarik ulur. Kenapa sesulit ini membuat hubungannya dengan Nadira menjadi hubungan yang mulus? Bahkan di saat Arash sudah memulai untuk menjadi lelaki yang baik, selalu saja ada aral dan rintang.
"Buat melawan yang lain, mungkin aku bisa! Tapi kalo harus melawan mama kamu, aku nggak mau!" kata Nadira, obrolan itu semakin serius.
"Ini baru beberapa hari, Nad! Kok dengan mudahnya kamu nyerah? Emangnya kamu siap buat menyerahkan anak itu ke Mama? Kamu nggak ada niat buat membesarkannya dengan tangan kamu sendiri?" desak Arash.
Tekanan itu ada, lama kelamaan Nadira pun tak kuasa membayangkan. Dia menangis menghadapi masa depannya nanti.
"Aku nggak akan nyerah dengan sikap mama! Kamu tahu? Aku yang berandal ini, bahkan membayangkan bisa membesarkan anak ini bersama-sama dengan kamu!" tegas Arash sembari menunjukkan potret USG itu.
Kata-kata Arash membuat Nadira semakin kebingungan.
"Ayo lah ...." Arash pun pada akhirnya menjatuhkan Nadira ke dalam pelukannya sehingga Nadira membasahi dadanya dan meleburkan semua kebingungannya di dalam pelukan itu.
'Kenapa aku malah nyaman di dalam pelukan ini? Kenapa aku malah berharap pada bajingan ini? Kenapa? Apakah aku memang perlu memperjuangkan hubungan ini?' batin Nadira dalam tangisnya, lama-lama malah nyaman sekali menangis di dalam pelukan Arash.
Arash memeluk Nadira sembari tak lepas memandangi hasil USG itu dan orang yang ada di dalam peluknya beserta dengan sosok kecil yang tergambar dalam poto itu adalah 2 sosok yang mulai mengubah cara pandangnya dalam menghadapi hidup.
Suasana di dalam kamar begitu mengharu biru. Tapi sungguh Nadira nyaman mencurahkan tangisnya di dalam dekapan Arash.
"Tidur ya? Aku temenin sampe kamu tidur, aku janji nggak akan macam-macam kok," kata Arash setengah berbisik.
Nadira hanya mengangguk lalu pergi ke atas ranjang dan berbaring di sana. Arash ikut naik dan tetap memeluk Nadira, Arash akan tetap di sana sampai Nadira terlelap nanti.