Wanita yang tidak percaya adanya hubungan dalam kata friendzone.
Apa itu friendzone? Apa gak aneh?
"Lo gak hadir sekali, gue bikin masalah."
-Nathan-
Alana tidak pernah menyangka.
diantara semua karakter diriku yang dia ketahui mungkin dia menyelipkan sedikit 'Rasa'.
aku tidak pernah tahu itu. aku cukup populer, tapi kepekaanku kurang.
dimataku, dia hanya sebatas teman kecil yang usil dan menyebalkan. aku tak pernah tahu justru dengan itulah dia mengungkapkan 'Rasa'.
pertemanan kami spesial.
bukan, lebih tepatnya, Friendzone dari sudut pandang 'Dia'.
#dont repost or plagiat this story ❗❗❗
jangan lupa komenn ^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daisyazkzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
•Takdir•
..."Gue memang menyukai dia. Tapi bukan berarti gue harus memiliki."...
...-Raven-...
...•...
...*...
...*...
"Bentar, kok gue jadi ikut kalian?"
Ada satu amusement park baru yang launching sepekan lalu. Tempat itu langsung ramai karena diviralkan banyak influencer dan selebriti di sosmed, walaupun harga tiketnya agak mahal, tapi pilihan wahana disana ada banyak dan lengkap.
Selain itu banyak figuran tokoh-tokoh film fantasi terkenal ditambah struktur dan bentuk bangunan luarnya yang unik.
Ola bilang, healing dulu sebelum ujian kenaikan kelas.
Makanya hari ini dia ngotot banget mengajak Raven kesana, kebetulan di tengah jalan mereka ketemu Bryan, jadi trio itu bareng.
Awalnya Ola sempat mengajak Alana juga, tapi dia bilang ada janji penting hari ini.
"Woy! Bukannya itu Alana? Apa-apaan dia?!"
Diantara sekian banyak manusia yang mengantri, Bryan malah melihat Alana sudah di dalam dari celah pagar pembatas, dia tidak sendiri. Disebelahnya ada seseorang berpostur tinggi.
"Nathan?!"
"Apaan sih?" Ola menyikut Bryan, ikut mengintip.
"Ih iya! Itu Alana!"
"AAAL-hhpp.."
"Jangan teriak kak. Dia gak akan denger juga." Raven menaruh telunjuk di bibirnya.
"Tiket kita sebentar lagi."
Sementara di sisi lain, Alana masih tidak sadar sama sekali keberadaan mereka. Ola memang mengajaknya pergi waktu itu, tapi ia tidak bilang mau kesini juga.
"Al kalo berat gue aja yang gendong."
"Lo ngeremehin gue? Barbel lima kilo aja bisa gue angkat ya."
Eden tertawa.
Bocah itu mengenakan pakaian serba tertutup, kacamata hitam, dan masker. Karena kulit albinonya sensitif terhadap matahari. Alana juga sudah mengoleskan sunscreen khusus.
"Kak Nathan, Eden mau beli permen kapas yang warna-warni itu." Eden menunjuk gerai permen kapas yang agak ramai.
Nathan menggandeng tangan Alana. "Ayo beli, Al sini, rame banget ntar Lo jadi anak ilang."
Tinggal melayani dua pembeli terakhir. Penjualnya ibu-ibu setengah baya yang melirik Nathan dan Alana dengan ramah.
"Ganteng banget kamu. Mau beli rasa apa?" Ibu-ibu itu tersenyum menatap Nathan dan Eden bergantian.
"Kalian pasangan muda ya? Aduh, si manis mirip ayahnya. Kamu artis luar negeri ya den?"
Eden kecil makin memeluk erat jaket Alana, seperti gemetar ketakutan.
"Enggak Bu. Pesen yang rasa bubble gum dua, satu dibentuk hati ya." Ucap Nathan, tangan kanannya mengusap punggung mungil Eden.
Dia berbisik, "Al, karena Lo gue jadi gak dideketin orang-orang."
"Hah?!" Alana Bolot, nggak dengar. "Loh pake lagi maskernya! Ntar diliatin kesel." Gadis itu malah ribut menaikkan masker di dagu Nathan.
"Ini permen kapasnya. Satu lagi buat siapa den? Kan anaknya cuma satu."
Ibu penjual menyerahkan dua batang permen kapas besar berwarna biru.
Aduh, kepo banget si ni ibu.
Alana cemberut, tambah kesal mendengar Nathan menjawab, "ini buat bayi gede yang ini Bu." Menunjuk dirinya.
Setelah selesai membayar, Mereka duduk sebentar di kursi panjang dekat sana menunggu Eden makan permennya.
"Kak Alana gak makan?"
Apaan coba, emang gue anak kecil?
Alana melirik tajam Nathan. Gara-gara permen kedua yang berbentuk hati dibelikan untuknya. Tapi ujung-ujungnya dimakan juga, Nathan tertawa.
"Al, kalo mau kemana-mana bilang. Jangan tinggalin Eden."
"Tahu kok." Seloroh Alana cepat. "Aku kan setia sama Eden. Ya kan Eden?"
Eden mengangguk kencang-kencang. "Iya! Kalo kak Nathan hilang juga gak apa-apa. Soalnya kak Alana jagain Eden."
"Udah berani kamu? Alana temen kakak, bukan kamu." Bantah Nathan, meledek.
"Kak Alana punya Eden!" Eden membalas sengit.
Alana pura-pura dipeluk Eden.
"Alana punya gue." Ucap Nathan sepelan mungkin, kata-katanya hilang ditelan angin.
Cowok itu mengusap wajahnya yang tiba-tiba memerah sambil mengalihkan perhatian ke hp.
Eden terus-terusan melet ke kakaknya Alana ikut memasang tampang jelek.
"Udah Al, atau Lo gue kawinin."
'BUAKH!'
"Apaan sih? Geli anjir!!"
Nathan terbahak-bahak, "yah, cupu. Menang kan Gweh!"
"Alana!"
Tiba-tiba ada suatu suara yang rasanya familiar di telinga Alana. Dia memanggil entah darimana.
"Al!! Aku disini!!"
Kedua mata Alana mulai menelusuri setiap orang.
Siapa itu?
"Al, diatas." Nathan menunjuk kearah bianglala raksasa yang sedang berputar, salah satunya kelihatan ada Ola melambai-lambai.
"Nathan!!! Kamu ngapain sama Alana?!" Teriak Ola lagi.
Alana tertawa melihat Raven sampai menutupi wajahnya, malu karena Ola berteriak-teriak.
Gadis itu memberikan lambaian kecil.
Mungkin, gue memang cuma bisa mengagumi dari jauh. Karena sedekat apapun, kak Alana sudah 'milik' seseorang. Dari awal, gue bukan siapa-siapa dimatanya.
Raven balas melambai.
Gue berhenti sekarang. Lupakan semua. Penyebab munculnya perasaan ini, hilangkan selamanya. Gue cuma bocah baginya, tidak pantas.
Raven mendengus kencang.
Entah kenapa saat melihat Alana duduk tenang di samping Nathan, ia merasa egois. Seharusnya dari awal ia tidak boleh menaruh hati sama sekali. Alana pasti sudah memiliki 'seseorang'.
Sudah selesai. Hubungan kita sebatas teman.
"Aduh~kapan sih selesai muternya? Aku pengen samperin Alana."
"Ola, itu siapa yang digendong Alana? Lo liat kan? Jangan-jangan...." Bryan sok tahu menatap dari ketinggian bianglala ke bawah, tidak terlalu jelas.
Ola reflek gebuk punggungnya, "bukan! Itu adiknya Nathan!"
"Adek? Nathan punya adek? Wadefuk?!" Histeris Bryan, makin kepo berusaha melihat lebih jelas.
"Kalo jatoh takdir." Tukas Ola, menarik ransel serut yang digemblok Bryan.
"Nanti kalo udah selesai ini, kita ke Alana dulu ya."
Beberapa menit kemudian, bianglala akhirnya berhenti, Ola bisa menghembuskan nafas lega. Gadis itu langsung lompat turun, akhirnya dibawah.
Dia berlari diiringi Bryan dan Raven kearah Alana yang masih duduk menunggu.
"Alana!!!"
Seperti biasa Ola memeluk Alana. Untungnya Eden lagi duduk di samping, kalau tertimpa bisa-bisa dia sesak nafas.
"Alana, astaga, kamu pake baju couple? Lucu banget!"
Bryan menatap Nathan dari atas sampai bawah. Turtleneck hitam dilapisi crewneck cream, baggy loose pants hitam, dan sepatu hitam putih brand Jord*n kesukaannya.
Dilihat dari manapun Nathan memukau seperti biasa. Tidak ada yang kurang, jari-jari tangannya berbentuk panjang runcing memakai cincin silver.
Alana juga mengenakan style yang hampir sama. Menonjolkan kecantikannya.
"Kalian kaya couple goals!" Seru Ola excited sendiri.
Alana melirik sebal Nathan.
"Iya, ini dia yang suruh pake."
"Alana pake bando? Pfft ..." Bryan tertawa tak habis pikir. Diatas kepala Nathan dan rambut Alana yang diikat high ponytail, mereka berdua sama-sama memakai bando bertelinga beruang pink fanta.
"Nat, Lo juga yang beliin? Buat gue mana?"
"Najis!" Spontan Nathan enteng. Bryan merangkul lehernya.
"Halah, Alana aja Lo beliin macem-macem."
"Berisik. Emang Lo pacar gue?!"
"Nat, ini adekmu ya? Sumpah bikin tersepona. Dia unik banget!" Ola menjawil punggung Eden. Dia menyembunyikan wajah di balik tubuh Alana.
Bocah itu menggeliat cepat. Reaksinya selalu begini setiap didekati orang asing.
Nathan buru-buru menahan tangan Ola.
"Sebentar la. Dia butuh adaptasi." Ucapnya pelan.
Ola mengangguk paham. Dari tampang saja anak ini kelihatan beda.
"Yaudah kalo gitu ayo kita lanjutkan!!"
Mereka semua bareng.
Melanjutkan keseruan disini, mencoba berbagai wahana seru yang menantang adrenalin.
Ontang-anting, roll coaster, tornado, niagara-gara, kereta hantu, balap air, dll sampai puas.
Sesekali Alana tidak ikut dan menemani Eden yang hanya bisa menonton karena mentalnya tidak kuat, mereka beli banyak sovenir dan jajanan unik.
Pukul enam sore. Tidak terasa, Ola sudah ditelfon kakak laki-lakinya. Bryan dan Raven juga harus pulang karena ada urusan mendadak.
Mereka bubar. Tinggal Alana dan Nathan yang masih menemani Eden keliling istana boneka dan tempat bermain selancar es.
Selesai pukul delapan malam. Nathan mengajak Alana makan di restoran. Di perjalanan pulang, Eden sudah tertidur lelap di sandaran gadis itu.
"Capek Al? Nih, gue punya kopi kaleng." Nathan menyodorkan paper bag dari supermarket, barusan ia berhenti sebentar membeli plester luka untuk Alana.
"Gak usah harusnya Nat. Gue jadi gak enak." Alana mengangguk pelan. Tubuhnya lemas sekali, kelelahan seharian ini.
Nathan sampai memberhentikan mobil lagi untuk menempelkan plester luka itu di betis kiri Alana, bekas jatuh di area selancar es tadi.
"Thanks Nat." Ucap Alana pendek. "Nanti di rumah Lo langsung tidur aja. Capek kan, sori ya gue ngerepotin."
"Masama Al. Gue mau kasih tau sesuatu."
"Lo tau gak? Tadi sore mama gue pulang ke rumah."
Alana yang tadinya lemas parah, langsung histeris, "hah?! Kok Lo gak bilang?!"
Nathan melirik Alana di kursi samping kemudi.
"Iya, mama kabarinnya mendadak. Dia bilang Lo nginep aja di rumah. Semua pakaian sama keperluan lain udah disiapin."
Alana mendengus kencang-kencang. Memelototi Nathan.
"Gue udah bilang gak usah repot-repot! Gue jadi gak tau harus gimana kan! Aduh..."
Nathan terkekeh.
"Yaa...abis gimana. Mama gue emang suka gitu, katanya biar surpres. Tapi karena gue baik, jadi gue kasih tau Lo."
Alana membalas dengan dengusan kencang sekali lagi. Ia menatap kaca jendela mobil yang berembun karena dinginnya AC.
Apa ya reaksi mamanya kalau ketemu gue? Emang gue siapa juga sampai bisa bertemu langsung sama pemilik utama perusahaan besar internasional kaya beliau? Gak pantes gak sih. Nathan juga kenapa mau bergaul sama anak kaya gue? Dia beda kelas. Dia mau temenan aja gue udah bersyukur banget. Gue kan bukan siapa-siapa.
Alana terus termenung, sampai akhirnya terlelap malam itu.
***
"Kak Alana!"
Pagi di hari Minggu.
Ini pertama kalinya Alana merasakan suasana pagi di penthouse mewah Nathan.
Sepi, hanya ada seorang pembantu yang sedang merapikan beberapa paper bag belanjaan bermerk mahal.
Gadis itu menoleh cepat pada Eden, dia menunggu di meja makan bersama semangkuk serealnya.
"Eden udah sarapan? Nathan mana?" Sapa Alana sopan, jaga sikap, kan gak lucu kalau ia ketahuan barbar di depan mama Nathan.
"Hi girls~" selalu begini, setiap ditanya, Nathan mendadak muncul dari belakang pundak Alana.
Eden tertawa menunjuk kakaknya, "itu dibelakang kak Alana."
Untungnya, kalau tidak ada dia, mungkin Alana canggung disini. Bingung harus berbuat apa.
Nathan mengintip kulkas, "ah, gak ada yang enak. Al, bikinin rotbak dong." Beralih menatap Alana.
"Roti bakar? Ngomong dulu yang sopan." Sarkas Alana tajam.
Nathan menggebrak meja sambil mendekat perlahan, "elo...."
Mata birunya, ditutup lagi...
Tanpa sadar Alana tidak bergerak.
"Cantik banget."
'BUK!'
"Geli anjir!" Alana lagi-lagi reflek menonjok perut Nathan. Tapi diluar dugaan Nathan malah meringis kesakitan.
Alana jadi panik, "eh, sori! Emang sakit banget ya? Coba sini gue liat."
Nathan menyingkap perutnya, berbentuk kotak-kotak atletis. Nyengir begitu Alana membuang muka.
Dia tertawa.
"Ketipu Lo."
Sumpah, kalo gak ada mamanya udah gue tonjok sekali lagi!
Alana berusaha sabar. Ia harusnya bisa tahan, Nathan kan sudah biasa menjahilinya begini. Malah biasanya di sekolah lebih parah.
Daripada akward sendiri, akhirnya Alana menuruti kemauan Nathan. Dia membuat roti bakar sederhana isi keju mozzarella dan beef.
"Wih, udah jadi aja. Pro emang beda." Sorak Nathan begitu roti bakarnya diletakkan di atas meja.
"Eh percaya gak, gue gak bisa masak."
Alana memutar bola mata, mendengus. Ikut duduk di samping Eden berhadapan dengan Nathan.
"Percaya lah. Lo kan emang gak becus apa-apa." Timpal Alana yakin.
"Gue bisa bantuin dikit. Bantu makan aja. Doain juga bisa." Balas Nathan pede.
"Enak, Lo makan juga nih."
Nathan menyodorkan roti ke depan mulut Alana.
"Kak Alana!" Ternyata Eden juga bisa cemburu, bocah itu kesal menatap kakaknya sendiri.
"Eh, iya? Eden mau apa?"
"Kak, Eden udah simpen keychain kembar yang dibeliin kakak kemarin." Ucap Eden bangga, mengalihkan pembicaraan.
Alana bertepuk tangan pelan, "pinter! Simpen terus ya sampai Eden besar nanti. Oh iya, kemarin seru gak?"
"Iya! Seru banget! Eden mau kesana lagi sama kakak! Ya kak?"
"Sure. Kapan-kapan kita main lagi kesana ya!"
Mereka saling beradu tos tangan. Eden tertawa lebar. Sementara Nathan berdecih pelan.
"Mama!!" Tiba-tiba Eden turun dari kursi dan buru-buru berlari ke belakang Alana.
Gadis itu tersentak, tegang. Tangannya mendadak berkeringat dingin.
Ma-mamanya Nathan?! Gila, gila, gila, gue harus gimana?! Gue-
"Halo~"
Alana seolah membeku begitu mendengar suaranya yang lembut dan berwibawa, gadis itu sama sekali tidak bisa menoleh ke belakang.
Akhirnya ketemu juga! Gue gak bisa...!
'Tap'
Alana melirik kaku. Tangan itu mendarat di bahunya. Jari-jari lentik panjang dengan nail art indah, kulit putih bersih kemerahan.
"Hai sayang? Kamu Alana kan?"
Claudia Rissa. Perempuan itu mengenakan baju rumah satin yang elegan berwarna hitam metalik, penampilan dan kecantikan sempurna terpancar di wajahnya. Dia memiliki aura luar biasa yang seolah menekan seseorang.
Alana menelan ludah.
Gila! Gue gak tau harus ngomong apa..beliau cantik dari manapun. Gue ditatap aja sampai susah ngomong...malah salah fokus sama fisiknya.
"Ini, ma. Teman yang Er bilang dulu pernah ketemu waktu SD. Alana." Nathan pindah, ia duduk di samping Alana.
"H-hai..Tante..aku Alana.."
Kedua mata cokelat muda Claudia menatap dalam-dalam gadis di hadapannya yang duduk kaku.
"Hmm Alana? Yang sering kamu ceritakan Er? Yang kamu bilang mau kamu ja--"
"Ma! Jangan diomongin lah." Nathan menyela, malu.
Claudia tertawa kecil.
"Sayang, bisa kita bicara empat mata?" Tanyanya pada Alana.
Alana menjawab dengan anggukan.
Perempuan itu berdiri memberi isyarat pada Nathan untuk menahan Eden bersamanya. Sementara ia berjalan menuju salah satu kamar diikuti Alana.
Alana bisa menebak. Kamar ini jarang dibuka, mungkin ini kamar mamanya.
Saat pintu dibuka, Alana lebih terkesima, interior di kamar ini semuanya berdesain modern ala Victorian yang mewah sekaligus memberi kesan megah. Untuk belasan kalinya Alana tertegun.
"Silahkan duduk sini sayang."
"Ah-iya."
"Sayang terima kasih telah menemani Nathan saat dia SD. Anakku kesepian, aku tahu itu. Kamu tahu betapa senang dia begitu bertemu lagi denganmu di sekolah sekarang ini? Dia lebih agresif dan aktif. Dulu Er terus-terusan menceritakan dirimu, tapi baru kali ini akhirnya takdir mempertemukan kita."
Claudia Rissa tersenyum ramah, setiap bicara dia pasti menatap dalam kedua mata Alana.
"Iya Tante...ngg... saya juga senang Nathan mau berteman dengan saya. Padahal saya rasa nggak pantas."
"Apanya yang gak pantas? Kamu gadis baik. Er menganggap kamu spesial, padahal dia tidak suka didekati perempuan." Ucap Claudia Rissa sambil tertawa.
"Mungkin nasibnya selalu dikejar-kejar banyak perempuan."
Alana tiba-tiba ikut tersenyum. Itu memang lucu, Nathan sering frustasi karena kejadian yang begitu.
"Di sekolah juga Tante."
"Nah, akhirnya kamu bicara santai."
Alana tersenyum malu.
"Tante hebat banget. Saya jadi nggak bisa tenang."
"Sayang..."
Alana mengangkat kepala.
"Iya, kenapa Tante?"
"Aku mau menceritakan tentang Eden. Kamu pasti bertanya-tanya kenapa dia begitu kan?"
Jujur, iya. Gue penasaran. Tapi selama ini Nathan sama sekali nggak cerita. Akhirnya kesempatan ini Dateng juga! Batin Alana, antusias.
Claudia menatap jendela. Ia mulai menceritakan semua dari awal.
"Suamiku Albino. Dia laki-laki hebat yang aku sukai dari SMA, keturunan Italia berdarah campuran. Sedangkan aku sendiri berasal dari Keturunan asli Korea Selatan, aku juga berdarah campuran."
"Aku sangat bersyukur memiliki anak yang luar biasa sempurna seperti Er. Tapi, aku tidak kalah bahagia ketika Rayden lahir. Anak itu juga tampan sebenarnya. Tapi saat Eden bersekolah TK di luar, dia ditekan banyak komentar negatif anak lain. Eden memang harus dijaga hati-hati karena dia terlahir lemah, namun anak-anak kecil itu malah meledeknya." Claudia tersenyum kecil sambil menggeleng tak habis pikir.
"Yah...aku juga tidak sejahat itu untuk membalas."
Iyalah. Siapa coba yang berani ngelawan Tante?
Alana terkekeh kecil.
Claudia melanjutkan, "Eden hanya bocah kecil, dia tidak betah dengan keadaan itu. Akhirnya dia hanya belajar di rumah, kuberikan guru terbaik dari luar negeri. Dan juga seorang suster perempuan berumur sekitar tiga puluh tahun lebih untuk mengurusnya berhubung aku sibuk. Tapi tak berhenti disana, suster itu tega sekali memarahi Eden tanpa sepengetahuan aku dan Er, dia juga melontarkan banyak kritikan terhadap fisiknya. Saat itu aku masih tak tahu apa-apa."
"Dia selalu meminta bonus gaji, bahkan lama-kelamaan banyak barang-barang di rumah yang hilang entah kemana. Awalnya aku tidak masalah. Tapi suatu hari, Er bolos sekolah untuk memeriksa adiknya, dan disaat itulah..." Tiba-tiba kedua mata Claudia berkaca-kaca.
"Aku..merasa bersalah pada Eden...."
"Eden...diteriaki... dimaki-maki....dan dia hanya bisa meringkuk ketakutan di pojok ruangan...bahkan suster itu mengancamnya agar tak memberitahuku tentang perbuatannya...sampai...fakta yang lebih mengerikan lagi...Eden hampir saja menjadi korban penculikan...jika berhasil, mereka akan meminta tebusan sebesar dua milyar padaku.."
"Kau tahu apa yang Er lakukan? Dia sontak menggebrak pintu dan mendorong wanita itu. Setelah dilaporkan pada pihak berwajib, ternyata dia memang bukan orang biasa. Dia termasuk anggota bisnis lain yang menyaingi perusahaanku. Dunia besar diluar sana mengerikan, Alana. Mereka bahkan bisa melakukan cara kotor."
Alana mengangguk sopan.
"Saya paham dengan sikap Eden yang agresif didekati orang baru, mungkin karena kejadian itu. Tapi apa ada penyakit bawaan lain?"
Claudia berdiri. Dia membuka salah satu brankas canggih dan memperlihatkan riwayat-riwayat penyakit yang diderita Eden.
Dokumen dan data-data keluarganya aja sampe di brankas.
Gumam Alana pelan.
Gadis itu membaca semuanya satu-persatu.
Hyperarousal. Asma ringan. Lemah pencernaan. Dan maag.
"Sayang...aku mohon jaga Eden baik-baik...aku takut kejadian dulu-"
"Tenang Tante! Saya gak akan melakukan itu. Karena saya selalu teringat dua adik saya yang meninggal seumurannya. Jadi saya mana mungkin tega mencelakai Eden." Alana menukas mantap.
Claudia tersenyum.
"Iya sayang. Aku percaya padamu. Sebenarnya aku mendengar ucapan Eden tadi. Aku senang melihatnya tersenyum lebar menceritakan liburan kalian kemarin. Padahal semenjak kejadian itu Eden selalu mengurung diri, tidak percaya diri, dan benci di tengah keramaian."
Wanita ini menjabat hangat tangan lembut Alana.
"Kamu hebat, sayang."
Bulu roma Alana seketika merinding. Mendengar pujian dari orang yang sangat hebat seperti beliau.
"Hmm... tunggu. Apa itu tanda lahir?" Tanya Claudia melihat sesuatu di pergelangan tangan Alana.
Seperti ada bagian kecil kulit yang berwarna kemerahan berbentuk pulau.
Wanita itu menatap dengan tatapan menyelidik.
"Iya. Ini tanda lahir." Jawab Alana.
"Hmm...Alana, aku bisa meminta biodatamu kan? Untuk pekerjaan. Dan...kalau tidak keberatan...apakah kamu bisa tes DNA dan memperlihatkan hasilnya padaku sayang?"
Permintaan aneh. Tapi Alana tidak keberatan.
"Iya Tante. Besok langsung saya bawa."
Terakhir, Claudia memberikan Alana tiga paper bag baju mahal yang dibelinya langsung dari negara dunia fashion termaju. Dan sekotak parfum seharga seratus juta lebih.
Alana hampir tidak percaya, bisa-bisanya dia memiliki barang seperti itu.
Makanya tak heran kalau Nathan dihadiahi surat kepemilikan gedung tiga puluh lantai di hari ulang tahunnya kemarin.
Belum lagi klien-klien Claudia yang memberikan bermacam hadiah mahal.
Kurang apa hidup Lo Nat? Punya emak baik, tajir melintir tujuh turunan, hidup enak.
***