aku temani dia saat hidupnya miskin, bahkan keluarganya pun tidak ada yang mau membantu dirinya. Tapi kenapa di saat hidupnya sudah memiliki segalanya dia malah memiliki istri baru yang seorang janda beranak 2? Lalu bagaimana denganku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TAK ADA WULAN
Sepulang dari toko, Ramli langsung merebahkan dirinya dilantai beralas tikar lusuh, sedangkan istri mudanya sibuk dengan urusannya sendiri. Padahal ia baru saja pulang kerja. Tapi tidak ada makanan atau minuman untuk perutnya.
Ramli menghela napas panjang, menatap langit-langit kontrakan yang kusam. Tubuhnya yang letih tak mampu lagi menopang beban pikiran yang menumpuk. Tikar lusuh yang dingin menjadi satu-satunya tempat beristirahatnya sore itu.
Wulan hanya melirik sekilas, tanpa niat mendekat atau sekadar menanyakan kabarnya.
"Aku capek, Wulan," gumam Ramli lirih.
Wulan yang tengah asyik dengan ponselnya tidak menggubris.
"Sudah tua, kerja pun lambat. Gaji juga kecil. Pantas saja istri pertamamu lebih dihormati orang daripada kamu sendiri," ucap Wulan ketus tanpa menatap suaminya.
Ramli menelan ludah. Perih hatinya mendengar kata-kata itu. Ia tahu, ini semua akibat perbuatannya sendiri. Tapi tak disangka, janda yang dulu tampak lembut itu, kini berubah menjadi sosok yang jauh dari bayangannya.
"Air putih aja nggak ada di sini, Wulan. Aku dari tadi belum makan..." katanya pelan.
Wulan menoleh, memasang wajah malas.
"Ya terus mau apa? Aku juga butuh uang buat belanja! Aku ini bukan babu loh, Mas. Kamu pikir cukup hidup di sini dengan cuma bawa pulang badan capek?"
Ramli terdiam. Sekali lagi, tubuhnya tenggelam dalam diam dan kepiluan. Rumah tangga barunya tak seperti yang ia bayangkan dulu. Yang ada hanya omelan, tuntutan, dan rasa lapar yang tak terjawab.
Berbeda sekali dengan Dulu, setiap kali Ramli datang ke kontrakan kecil tempat Wulan tinggal, wanita itu selalu menyambutnya dengan senyum manis dan sapaan lembut.
"Mas capek, ya? Sini duduk dulu, aku buatkan teh hangat," ucap Wulan sambil menggandeng tangannya ke dalam.
Ia pandai merayu, lihai memanjakan, dan tahu betul celah kelemahan Ramli. Setiap keinginan Ramli seolah jadi perintah yang tak perlu diulang dua kali. Ia melayani dengan penuh perhatian—membuat Ramli merasa dibutuhkan, merasa muda kembali.
Tapi tentu saja, semua itu tak gratis.
"Aku butuh uang buat bayar sekolah anakku, Mas," bisiknya suatu malam sambil menyandarkan kepala ke bahu Ramli.
Atau di waktu lain, "TV di rumah rusak, Mas. Kasihan anak-anak nonton pake HP terus..."
Dan Ramli, yang saat itu masih dikuasai hawa nafsu, menurut saja. Ia mencuri-curi waktu dan uang, mengirimkan kebutuhan Wulan diam-diam tanpa sepengetahuan Rukayah. Puluhan juta raib perlahan-lahan—dari belanja bulanan, cicilan motor, sampai hadiah-hadiah kecil agar Wulan terus menunjukkan sikap manisnya.
Tapi kini, setelah resmi menjadi istri mudanya, semua berubah. Wulan tak lagi selembut dulu. Kata-katanya tajam, sikapnya dingin, dan wajahnya lebih sering cemberut daripada tersenyum.
Ia teringat Rukayah—wanita yang dulu menemaninya dari nol, dari saat masih kerja serabutan sampai akhirnya bisa membuka toko material kecil.
Setiap pagi, Rukayah menyiapkan sarapan, membungkuskan bekal, bahkan menyempatkan menyetrika kemeja kerjanya. Saat Ramli jatuh sakit, ia merawat tanpa keluhan. Saat Ramli kehabisan uang, ia ikut mengencangkan ikat pinggang, bahkan menjual perhiasan satu-satunya demi membayar utang suaminya.
"Yang penting kamu sehat, Pak," ucap Rukayah dulu sambil mengoleskan balsem ke punggung Ramli yang pegal.
Ramli teringat, meskipun hidup mereka sederhana, tapi rumah selalu hangat. Ada tawa, ada makanan di meja, ada cinta yang tulus. Bukan cinta yang dimulai dari rayuan dan tuntutan seperti yang Wulan berikan.
Kini, semuanya hancur karena kebodohannya sendiri.
Ia telah menukar istri yang setia dengan wanita yang hanya peduli pada isi dompetnya. Ia mengorbankan rumah tangga yang dibangun puluhan tahun demi hasrat sesaat.
Dan sekarang, ia hanya bisa berbaring di lantai beralas tikar lusuh… menunggu makanan yang tak kunjung datang… dari istri muda yang bahkan enggan menoleh ke arahnya.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Dan tidak ada yang peduli apakah bubur itu asin atau hambar.
Dengan langkah gontai dan tubuh renta yang terasa semakin berat, Ramli berjalan keluar dari kontrakan sempit itu. Malam mulai turun perlahan, angin membawa hawa dingin menusuk tulang. Perutnya yang kosong sejak pagi terus bergejolak, memaksanya untuk mencari pengganjal lapar meski dompetnya kosong.
Ia menyusuri gang sempit, menahan rasa malu yang menyesakkan dada. Setibanya di warteg langganannya, ia menyapa pelan pemilik warteg yang sedang membereskan meja.
"Bu... bapak bisa makan dulu nggak? Nanti bayarnya nyusul, ya," ucapnya pelan sambil menunduk dalam, nyaris tak berani menatap wajah si ibu warteg.
Wanita paruh baya itu memandang Ramli sejenak. Ia tahu siapa Ramli. Tahu kisahnya yang sempat jadi bahan gunjingan warga. Dahulu, Ramli kerap datang dengan raut bahagia, membawa uang, bahkan sering mentraktir orang lain. Tapi kini… tubuhnya ringkih, matanya sayu, dan wajahnya penuh letih.
Ramli mencuri pandang ke arah pemilik warteg yang kini hanya diam di belakang etalase. Tatapan wanita itu tak lagi sehangat dulu. Dulu, ia selalu disambut dengan senyum dan candaan ringan. Tapi kini, tatapan itu berubah—dingin, penuh curiga, dan sesekali terlihat jelas rasa enggan.
Ia menunduk makin dalam, merasa semakin kecil. Ibu warteg hanya mengangguk kecil, tanpa menjawab sepatah kata pun. Namun sorot matanya jelas: kecewa dan lelah.
Selesai makan, Ramli berdiri dengan lemah, merapikan baju lusuhnya yang mulai kusam. Ia menatap ke arah pemilik warteg dan berkata pelan,
"Bu… makasih ya. Bapak pamit dulu."
Tanpa menunggu jawaban, Ramli pun melangkah pergi. Baru beberapa langkah meninggalkan warteg, ia mendengar suara sinis dari arah belakang, suara yang sengaja dikeraskan.
"Huh… itulah akibatnya. Dulu selingkuh sama janda, sekarang hidupnya susah, makan aja ngutang. Makannya jadi laki-laki itu jangan serakah, baru dikasih harta banyak udah banyak tingkah!"
Langkah Ramli terhenti sejenak. Hatinya mencelos, telinganya panas. Ia menoleh sedikit, tapi tidak cukup untuk menunjukkan wajahnya. Napasnya berat, dadanya sesak. Ia mendengar jelas setiap kata itu, menusuk seperti jarum di dada.
Namun ia memilih diam. Ia tahu, jika ia menanggapi, hanya akan mempermalukan dirinya lebih dalam. Maka ia menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan langkahnya, seolah tak mendengar apa pun.
Dalam hati, Ramli berbisik getir, "Aku pantas dapat ini… karena semua yang aku lakukan sendiri."
Sepulang dari warteg, Ramli melangkah lesu menuju kontrakan kecil yang kini menjadi tempat berteduhnya. Dengan tangan lemas ia membuka pintu yang hanya dikunci dengan kait seadanya. Namun saat pintu terbuka, Ramli tertegun.
Ruangan itu kosong.
Tak ada suara gaduh anak-anak tirinya. Tak ada suara Wulan yang biasanya mengomel atau menyuruh-nyuruh. Bahkan aroma khas masakan atau jejak kehadiran pun tak ada. Ramli melangkah masuk, matanya menyapu seisi ruangan.
“Wulan…?” panggilnya pelan. “Anak-anak…?”
Tidak ada sahutan.
Ia menoleh ke dapur, tak ada siapa-siapa. Tikar yang biasa dipakai tidur pun tergulung rapi di pojok ruangan. Lemari plastik kecil tempat pakaian juga setengah terbuka—kosong. Baju-baju Wulan dan anak-anaknya tidak ada lagi di sana.
Ramli mulai panik.
“Ke mana mereka…?” gumamnya cemas. Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel usang, dan segera mencoba menghubungi Wulan. Tapi tidak aktif.