Alina harus menerima kenyataan kalau dirinya kini sudah bercerai dengan suaminya di usia yang masih sama-sama muda, Revan. Selama menikah pria itu tidak pernah bersikap hangat ataupun mencintai Alina, karena di hatinya hanya ada Devi, sang kekasih.
Revan sangat muak dengan perjodohan yang dijalaninya sampai akhirnya memutuskan untuk menceraikan Alina.
Ternyata tak lama setelah bercerai. Alina hamil, saat dia dan ibunya ingin memberitahu Revan, Alina melihat pemandangan yang menyakitkan yang akhirnya memutuskan dia untuk pergi sejauh-jauhnya dari hidup pria itu.
Dan mereka akan bertemu nanti di perusahaan tempat Alina bekerja yang ternyata adalah direktur barunya itu mantan suaminya.
Alina bertemu dengan mantan suaminya dengan mereka yang sudah menjalin hubungan dengan pasangan mereka.
Tapi apakah Alina akan kembali dengan Revan demi putra tercinta? atau mereka tetap akan berpisah sampai akhir cerita?
Ikuti Kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Bertemu mantan setelah sekian lama
"Ck, kau menggangguku. Sana pergi!"
"Hei, aku cuma meletakkan makanan."
"Bawa saja! Aku tidak mau."
"Nggak baik nolak pemberian orang, tahu."
Siska kesal. Ia langsung melempar pulpen ke arah Putra.
"Pergi!!" serunya sambil melotot.
Mau tak mau, pria itu menjauh. Siska menghela napas kasar. Ia sedang sibuk merapikan meja, tapi pagi-pagi sudah diganggu—merusak mata dan mood saja.
Alina turun dari taksi, napasnya ngos-ngosan sambil sesekali melihat jam tangan. Ia takut sekali terlambat.
"Aduh, semoga nggak deh," gumamnya sambil berlari kecil.
Hari ini Aeris tidak ikut. Alina memang sengaja tak membawanya. Lagi pula, tidak ada yang bisa dilakukan bocah itu di sini selain guling-guling. Di rumah saja sudah ia masakkan makanan, dibuatkan roti dan camilan, belum lagi petuah-petuah panjang karena dia tahu putranya tak bisa tinggal diam. Ia takut kalau Aeris melakukan hal ceroboh.
Alina mengusap rambutnya.
Mungkin besok aku cariin TK baru buat Aeris, pikirnya.
"Lin! Kamu udah siapin karangan bunganya?"
"Aduh, aku nggak tahu. Baru datang ini!" sahut Alina terburu-buru.
"Coba tanya Maudi!"
Alina langsung berlari ke ruangannya. Ia berdecak kesal melihat ruangan yang masih berantakan gara-gara ulah Aeris semalam.
"Ayo, guys! Pasang dekorasi, spanduk, dan semuanya cepet, ya! Direktur baru datang sebentar lagi!"
Sementara itu, Revan tengah di mobil bersama Devi. Rencananya mereka akan mampir dulu ke PT Penerbit Jaya untuk perkenalan, baru setelah itu pergi.
"Kamu kelihatan happy banget," kata Devi sambil meliriknya.
"Gimana aku nggak happy? Mama kayaknya udah kasih lampu hijau," balas Revan.
"Ck, tapi kamu harus selesain masa lalu dulu..."
"Gampang itu mah."
"Mmm… Re."
"Hm? Kenapa?"
"Tempo hari, waktu kita makan di resto Jepang... aku ketemu sama Alina."
"Alina?" Revan langsung menepikan mobilnya, fokus sepenuhnya ke Devi.
"Dia nggak nyakitin kamu kan?" tanyanya sambil menggenggam tangan Devi.
"Nggak."
"Kenapa dia ada di situ?"
"Aku juga nggak tahu. Tapi kamu mikir nggak sih… kalau ternyata Alina tinggal di kota ini?"
"Tapi… kata Mama tadi malam, kemungkinan dia tinggal di Kota B sama mamanya. Soalnya toko kue mereka alamatnya di kota B."
"Ck, harusnya kamu mikir. Aeris itu anaknya Alina. Pas di mall, kita ketemu anaknya sama Leon. Masa iya mereka cuma pergi berdua? Pasti ada Alina juga."
"Bisa jadi dia tinggal di sini, mamanya tinggal di kota B," balas Devi dengan nada berpikir.
Berarti... yang aku liat di toilet itu Alina!? Katanya dalam hati.
"Nggak salah lagi, suaranya juga mirip," katanya lagi.
"Kalau iya dia tinggal di sini lagi, aku nggak bakal biarin dia misahin kita," kata Revan.
•
•
"Pak direktur baru bentar lagi nyampe, woi!!"
"Baris! Baris! Rapi-in barisan kalian!"
Alina tergopoh keluar ruangan, tapi lebih dulu sibuk mencari ID card-nya yang entah di mana.
"Lin! Kamu yang pasangin kalung bunganya nanti, ya!"
"Kok aku? Nggak ah. Kenapa nggak kamu aja?"
"Ish, kamu kan paling tinggi di antara kita semua."
"Ya udah cowok aja, lebih tinggi!"
"Nurut napa, Lin."
Alina menghela napas, lalu mengangguk pasrah.
"Ya udah, iya..."
Tak lama, suara mobil terdengar. Sebuah BMW hitam berhenti tepat di depan gedung. Semua orang mulai tegang. Para karyawan sudah berbaris rapi di sisi kiri dan kanan pintu masuk.
"Aku di sini aja deh, nggak enak," bisik Devi pelan.
"Nggak apa-apa. Mereka taunya kamu sekretarisku," sahut Revan cepat.
"Tapi—"
"Udah, ayo turun," potong Revan sambil membuka pintu mobil.
Mereka berdua turun bersamaan. Di dalam, Alina menunggu dengan jantung yang berdebar-debar tak karuan. Tangan gemetar menggenggam kalung bunga.
"Woy, ganteng banget!" bisik salah satu karyawan.
"Mukanya kayak ada Arab-Arabiannya gitu!"
"Itu dia datang sama sekretarisnya, ya ampun."
"Ngintilin terus, tuh cewek."
"Eh, diem napa. Wajar sekertaris ngintilin bosnya terus."
Revan tersenyum saat melihat para karyawan berbaris menyambutnya. Beberapa menunduk, beberapa lagi tersenyum gugup.
Di sisi kiri pintu masuk, Alina berdiri dengan kalung bunga di tangan. Ia menatap lurus ke depan, belum menyadari siapa yang akan masuk.
Dan tepat saat Revan melangkah masuk bersama Devi, Alina pun maju dan berbalik dengan senyum di wajah—namun seketika ekspresinya berubah. Matanya membelalak.
Deg.
Jantungnya berdetak kencang. Tangannya gemetar hebat. Kalung bunga terlepas dan jatuh ke lantai.
Revan pun terpaku. Begitu pula Devi yang berdiri di sampingnya, matanya membelalak melihat siapa yang berdiri di hadapan mereka. Mereka bertiga saling menatap—terkejut, bingung, dan tak percaya. Setelah sekian lama, inilah pertama kalinya Revan, Alina, dan Devi kembali bertemu.
"Kayaknya Alina terpesona banget sampai jatuh tuh kalung bunganya."
"Siapa sih yang nggak terpesona sama cowok ganteng dan mapan?"
"Alina!! Psss!!" panggil Siska pelan.
Alina tidak berkedip melihat Revan. Matanya berkaca-kaca, napasnya memburu. Hampir saja wanita itu oleng, tapi dia berusaha tetap profesional. Alina memungut kembali karangan bunga yang jatuh tepat di dekat kaki Revan.
"Se...lamat datang..." katanya pelan, sangat pelan, bahkan suaranya sudah bergetar.
Wajah Revan hanya menunjukkan keterkejutan sepersekian detik, setelah itu dia langsung memasang ekspresi datar. Dia menunduk, dan Alina langsung memasangkan kalung itu di leher Revan.
Ya Tuhan... Dia tidak sanggup. Rasanya ingin menghilang saja. Alina mengalihkan pandangannya ke arah lain. Seketika, momen yang sama persis seperti ini kembali terlintas di benaknya.
Flashback on
"Selamat untuk Revan Nandikara yang sudah membuat tim kita menjuarai Turnamen Futsal dan Volleyball di tingkat nasional, berikan tepuk tangan yang meriah!"
Revan tersenyum senang. Para siswa lainnya menyambut mereka yang baru saja kembali dari turnamen di provinsi. Cowok itu maju ke depan sebagai ketua tim. Pandangannya menyapu ke sana kemari, mencari seseorang di antara kerumunan siswa. Saat menemukan sosok itu, dia langsung tersenyum.
"Kamu hebat!!" kata Devi tanpa suara, sambil mengepalkan tangannya ke atas.
Alina yang ada di depan mendengus sinis, merasa panas hati melihat pemandangan itu.
"Alina, pakaikan kalungnya!"
Alina mengangguk, lalu dengan senyum senang ia mendekati Revan.
"Selamat ya! Lo bikin sekolah kita makin terkenal," katanya setelah mengalungkan bunga dengan senang hati ke leher Revan.
Cowok itu tidak peduli. Dia hanya menatap datar ke arah Alina. Para siswa setelahnya berfoto ria bersama Revan, memegang tropi dan piala kemenangan. Usai berfoto, Revan langsung menghampiri Devi yang menunggu di taman, lalu memeluknya erat.
"Sayang, aku seneng banget," katanya sembari menciumi bahu Devi.
"Aku bangga sama kamu," balas Devi, seraya mengusap punggung Revan.
Revan melepaskan pelukannya, lalu menatap Devi penuh cinta.
"Terima kasih karena sering nyemangatin dan nemenin aku waktu latihan sebulan ini," katanya.
"Dan sekarang kerja keras kamu terbayar," ujar Devi.
Revan mengambil tangan Devi yang ada di pipinya, lalu mengecupinya pelan.
"I love you."
"I love you too."
Alina yang di depan sana melihat mereka berpelukan langsung membuang muka, memasang ekspresi seperti mau muntah.
Meskipun, dalam lubuk hatinya, tersimpan rasa cemburu... dan niat jahat untuk memisahkan mereka.
"Kenapa juga nih tugas harus pindah ke kepala gue..." gerutunya.