Bagaimana rasanya, jika dituduh menyembunyikan lelaki dan berbuat yang tidak-tidak, lalu dipaksa menikahi Lelaki yang baru ia kenal.
Hayu terpaksa menikah dengan Devan, seorang pria yang amnesia, dan membantu lelaki tersebut pulih. Disaat pernikahan berjalan mulus dan romantis, keluarga Devan datang dan membawa pria itu pergi.
Namun, dapatkah Hayu menerima identitas asli Suaminya itu? Dan, berjuang mendapatkan restu kedua orang tua Devan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alisya_bunga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 33 – Emosi yang Meledak-ledak!
Plak!
Johan dengan kasar menampar Hayu. Hingga terjadilah keributan antara Hayu dan Johan.
"Berani kamu, Jo!" teriak Hayu dengan tatapan mematikan.
Membuat Johan bergidik ngeri, saat mengingat dulu Hayu sangat ganas melawan gengnya setelah ia kata-katai.
"Ka-Kamu berani memegang tangan Mamiku! Jangan kamu pikir aku akan diam!" teriak Johan menantang.
Hayu tidak takut, walau harus melawan dua orang sekaligus. Jika ia merasa benar, maka ia tidak akan mundur.
"Oh, ya. Habis kamu, Jo!" Hayu menarik rambut Johan sekuat tenaga, hingga membuat Johan meringis kesakitan.
"Arghh, Mam! Tolong, Jo!" jerit Johan, tanpa pembalasan.
"Hei! Lepaskan anakku, dasar anak haram! Hei, lepaskan!" teriak Zara terus mencoba melerai mereka, namun dibandingkan dengan perawatan mahalnya, Johan tidak berarti apapun.
Ia takut perawatan mahalnya akan luntur, kuku-kukunya akan patah jika bocah haram itu menyerangnya juga. Jadi, biarkan sajalah. Jo, yang menerimanya lagi pula dia anak cowok, melawan perempuan haram ini saja masa tidak bisa,' batin Zara acuh, akhirnya hanya menonton.
Para warga geger mendengar berita ini. Hingga, berita kekacauan ini sudah menyebar cepat keseluruh desa bahkan telinga Devan juga dengan Ratna. Keduanya langsung dengan panik berlari pulang untuk melihat keadaan Hayu.
"Devan! Kau tidak tahu, Istrimu sedang bertengkar dengan Johan dan Ibunya?" tanya seorang pemuda, membuat tubuh Devan menegang.
"Tidak! Terima kasih infonya!" teriak Devan, dengan kaki yang sudah berlari. Dengan pikiran yang cemas.
"Devan! Aku ikut!" teriak Pian, sebelum pergi Pian menyempatkan diri untuk meminta izin dan pergi.
Hayu masih dengan gencar menarik juga memukuli Johan. Ia mengeluarkan uneg-unegnya selama ini, uneg-uneg tentang memberi Johan pelajaran. Dan, sekarang sudah memiliki kesempatan dan ia tidak akan melewatkan kesempatan itu.
"Rasain kamu, Jo! Berani kamu sama aku, hah!" teriak Hayu bak kesetanan. Jujur! ia sudah lelah menghadapi tingkah Johan, yang selalu seenaknya sejak dulu.
"Mami! Kenapa diam aja! Bantuin, Jo! Atau... Jo, laporin Mami sama Papi, supaya gak diberi uang perawatan!" teriak Johan, yang tahu betul sifat asli Maminya. Maminya lebih mementingkan perawatannya daripada dirinya, anaknya.
"Ck! Sialan!" umpat Zara.
Lalu dengan sekali tarikan, Zara menarik rambut Hayu. Hingga gadis itu tejungkal ke belakang.
"Akhh! Lepasin... lepasin dasar Tante-tante menor!" teriak Hayu.
"Apa kamu bilang? Menor? Berani sekali kamu menghina perawatan mahalku!" bentak Zara. Lalu, ia menggoreskan kuku panjangnya ke paha Hayu.
"Akhh," rintih Hayu, merasakan pahanya terasa disayat, apa lagi itu mengeluarkan darah.
Hayu yang merasa sudah tidak tshaj lagi. Langsung memutar tangan Zara yang memegang rambutnya. Lalu, dengan sekali hentakan Hayu mendorong Zara hingga terduduk di lumpur aliran air dirumahnya.
"Ha... haaa... rasain dasar topeng monyet," gumam Hayu, ngos-ngosan. Entah kenapa emosinya menjadi tidak stabil.
"Mami!" teriak Johan. Melihat Maminya berada di kubangan lumpur dan penuh lumpur. Ia yakin, ia akan menjadi sasaran kemarahan Maminya.
"Hahaha!" Banyak orang-orang sekitar mengejek menertawakan Zara.
Mereka merasa senang, ada yang mau menawan Zara. Sebab, perempuan itu selalu sombong dan seenaknya dengan warga-warga disini. Hingga menimbulkan rasa sakit hati diantara para warga.
"Rasain! Makanya jadi orang jangan sombong!" teriak salah seorang warga, laku disetujui oleh warga lainnya.
"Sialan! Dasar kamu anak haram!" teriak Zara, dengan malu.
"Dorong dia, Jo! Kamu tidak lihat Mami sudah bau begini! Balas!" jerit Zara dengan kesal. Menatap tajam putranya.
"Jangan macam-macam kamu, Jo!" Hayu menatap Johan dengan sengit.
Saat tangan Johan hampir menyentuh tubuhnya.
Greb!
"Berani kau menyentuh Istriku! Ini sudah kedua kalinya aku memeringatimu! tapi sepertinya kau menganggap ini angin lalu, Jo!" bentak Devan penuh, amarah. Saat melirik memar di kedua pipi Istrinya.
Devan menonjok Johan, hingga terpental di comberan.
"Kau ingin uang tanah ini? Baiklah! akan aku bayar dalam waktu seminggu ini, jika tidak kau boleh ambil rumah ini!" teriak Devan, lalu mengendong Hayu ala bridal style.
"Mas..." Hayu dengan takut-takut menatap Devan. Merasa bersalah, tapi entah salah apa.
Sebenarnya Devan sudah melihat dari kejauhan saat berjalan pulang, melihat betapa mengerikan Istrinya. Devan tidak tahu, jika Hayu ada sisi seperti itu.
"Astaghfirullah, Hayu! Kamu ada-ada saja, kenapa tiba-tiba melawan? Kamu tidak biasanya begini," ucap Ratna menatap kedua pipi Putrinya yang memar.
"Hehe... maaf, Bu," jawab Hayu, cengengesan.
"Akh! Sakit, Mas," rintih Hayu, saat Devan menekan lukanya.
"Tau sakit! Kenapa masih melawan, hah?" tanya Devan dengan garang. Membuat nyali Hayu yang tadinya berkoar tiba-tiba padam. Ia hanya menunduk takut.
"Duh... tadi aja kaya macan ngamuk, sekarang kaya kucing depan suaminya," ledek Ratna, membuat Hayu tersenyum canggung.
"Bu. Biar Devan aja yang ngobatin Hayu. Ibu istirahat aja," ujar Devan, dimengerti Ratna.
"Yang nurut apa kata Suami," ujar Ratna, diangguki Hayu.
Ish, Ibu kenapa harus pergi. Aku jadi makin takut menghadapi Mas Devan sendirian,' batin Hayu, hanya menunduk.
Devan mengompres luka Hayu. Ia tak tahu, jika ada luka yang lebih parah di paha sang Istri karena tertutup rok panjang Hayu. Hayu ketakutan menahan agar darahnya tak terlihat di rok. Luka di pipi saja Devan terlihat menyeramkan, apa lagi tahu ia terluka parah di kaki.
Memikirkannya saja, membuat Hayu merinding.
Ya, Allah. Tolong jangan sampai keluar darahnya,' batin Hayu.
"Kenapa lawan?" tanya Devan tiba-tiba.
"Umnnnn."
"Itu... mereka yang duluan tampar aku. Kalo aku gak balas rugi dong," jelas Hayu, kekeh.
"Haaaa... Padahal bisa dengan cara lain, lapor ke Pak Kades atau apalah. Jangan membahayakan dirimu sendiri," ujar Devan. Membuat Hayu tertunduk salah.
"Iya. Maafin, Aku. Gak lagi deh, janji," ujar Hayu memohon.
"Ada yang kamu sembunyiin lagi dariku?" tanya Devan dengan tatapan curiga. Dari tadi, ia memerhatikan Hayu yang mencurigakan seperti menyembunyikan sesuatu.
"Ah! Emmmm... En--enggak kok," jawab Hayu, terbata-bata.
Devan mengernyit. "Jangan bohong. Kamu tau, kalau aku tahu sendiri maka----."
Hap!
Hayu menutup bibir Devan dengan telapak tangannya. Mengangguk-angguk salah. "Iya, ada... tapi jangan marah, ya. Ya... ya... ya..." Hayu menatap Devan dengan puppy eyes ya.
"Apa!" Devan tidak menjawab.
Hayu menarik roknya perlahan, dengan was-was. Yakin, Devan akan marah besar. Terpampanglah luka goresan-goresan yang mengeluarkan darah di setiap goresan. Membuat Devan mendesah kasar, melihat keberanian sang Istri.
Tanpa banyak bicara ia mengobati luka Hayu. Membuat Hayu malah semakin takut, jika Devan diam. Ia lebih memilih Devan marah daripada Devan diam
Bagaimana ini... aku takut, jika dia hanya diam.'
"Istirahatlah! Masih sakit tapi banyak ulah," ujar Devan, sebelum pergi meletakkan baskom air.
Membuat Hayu terdiam.