kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Kedatangan Ki Jagir
Sudah lima malam berturut-turut suara-suara aneh terdengar dari sudut-sudut desa. Ada yang mengaku mendengar lolongan di kuburan tua, ada pula yang melihat bayangan wanita berambut panjang menari-nari di atas atap rumah.
Puncaknya, malam kemarin, Pak No ditemukan pingsan di sawah, tubuhnya penuh lumpur dan kedua matanya membelalak seolah baru melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Di balai desa, para tokoh masyarakat kembali berkumpul. Pak RT, Pak Ustaz Lutfi, dan Mbah Tejo duduk bersisian. Di belakang mereka, warga semakin gelisah.
Pak RT: “Kita sudah berusaha dengan doa, sudah lakukan pengamanan desa. Tapi gangguan makin menjadi.”
Pak Ustaz: “Ini ujian. Tapi kita tidak boleh putus asa. Jangan sampai kita memilih jalan yang menyesatkan.”
Mbah Tejo: mengangguk pelan “Tapi kalau memang ada yang membuka celah dari luar... kita harus tahu siapa.”
Tiba-tiba dari pintu balai desa terdengar suara langkah berat dan suara tertawa rendah.
Masuklah seorang pria bertubuh besar, mengenakan jubah hitam lusuh, kalung tulang-tulangan di lehernya, dan tongkat kayu bersulur kain merah. Wajahnya hitam legam, dengan tatapan yang tidak bersahabat.
Ki Jagir.
Warga (berbisik):
“Lho... itu bukan dukun dari desa timur?”
“Ki Jagir? Waduh... ngapain dia ke mari?”
“Orang itu… suka main pesugihan, kata orang…”
Ki Jagir langsung berjalan ke depan, berdiri di tengah ruangan, menatap Mbah Tejo sinis.
Ki Jagir: “Sudah kubilang... jangan ganggu wilayah yang sedang terbuka. Sekarang lihat akibatnya. Semua makhluk datang karena celah itu menganga, dan kalian malah main doa dan air garam?”
Mbah Tejo: berdiri perlahan “Aku tahu kau, Jagir. Tapi ini bukan urusanmu. Pergilah. Desa ini tak butuh dukun serakah macammu.”
Ki Jagir (tertawa pendek): “Serakah? Aku cuma datang untuk membantu... tentu saja kalau kalian mampu bayar.”
Pak Ustaz: “Kami tidak membeli bantuan jin, Ki Jagir. Kami berdoa pada Yang Maha Kuasa. Jangan ajari kami sesat.”
Ki Jagir melirik dengan senyum menyeringai.
Ki Jagir: “Oh, Ustaz Lutfi... kau pikir semua bisa ditangkal dengan ayat? Kadang yang datang bukan sekadar setan biasa... tapi yang lebih tua... lebih dalam…”
Suasana balai desa menjadi hening. Bahkan Pak Bolot, yang biasanya tak nyambung, ikut diam. Meski kemudian salah paham.
Pak Bolot: “Eh? Siapa yang lebih tua? Saya? Lah ya iya, saya lahir tahun ‘46!”
Udin: menutup mulut menahan tawa
“Dot, iki serius, tapi Pak Bolot malah nganggep dia lagi ditantang umur.”
Pedot: “Nek setan denger dia, bisa ciut!”
Setelah keributan kecil itu, Ki Jagir akhirnya pergi dari balai desa, tapi bukan tanpa ancaman.
Ki Jagir (sebelum melangkah keluar): “Kalau kalian masih keras kepala, jangan salahkan aku jika nanti malam... darah jatuh ke tanah, dan pintu tak bisa ditutup lagi.”
Ia berjalan perlahan ke arah hutan, dan menghilang di antara pepohonan.
Malam harinya, desa menjadi sangat sunyi. Terlalu sunyi.
Angin tak bertiup, jangkrik pun tak berbunyi.
Beberapa warga yang ronda di poskamling duduk menahan kantuk, termasuk Pak Bolot, Udin, dan Pedot.
Udin: “Kok malam ini sepi banget, ya. Biasanya angin saja ngisep sari ketan dari warung Bu Lilik.”
Pedot: “Iki sunyi mendadak. Aku ora enak ati, Din.”
Pak Bolot (setengah tertidur): “Iya... iya... saya juga suka ketan hitam... apalagi kalau pakai bubur sumsum…”
Tiba-tiba, di kejauhan, terdengar jeritan perempuan.
Suara itu berulang tiga kali. Lalu hening.
Mereka bertiga saling pandang, lalu melompat berdiri.
Udin: “Pak Bolot, kowe denger gak?”
Pak Bolot: “Iya iya, saya juga suka ketupat, tadi kamu bilang, kan?”
Pedot: “Pak Bolot! Bukan ketupat! Tadi ada jeritan perempuan!”
Pak Bolot: “Ohh... itu? Saya kira itu suara cicak kawin…”
Jeritan kembali terdengar, kali ini lebih dekat.
Ketiganya langsung menyalakan senter dan berjalan pelan ke arah sumber suara.
Tiba-tiba… asap tipis muncul di sepanjang jalan menuju sawah.
Dari balik asap, muncul sosok wanita berbaju putih, wajahnya tidak terlihat, rambutnya menutupi seluruh muka.
Mereka berhenti mendadak.
Udin (berbisik): “Dot… iki ora biasa…”
Pedot: “Iki... ono sing ora beres. Pak Bolot, peluit, peluit!”
Pak Bolot (bingung): “Peluit? Pelit? Aku pelit apaan? Aku malah sering traktir tahu isi!”
Sosok itu makin mendekat… langkahnya tak menyentuh tanah.
Tiba-tiba, muncul cahaya merah dari hutan sebelah barat, diiringi suara orang membaca mantra.
Ki Jagir.
Ia berdiri di bawah pohon beringin, tangan mengangkat kendi dan tongkatnya menyala.
Sosok wanita itu langsung menoleh ke arahnya, lalu berlari cepat dan menyatu ke tubuh Ki Jagir.
Seketika, angin bertiup keras, dan daun-daun beterbangan. Ki Jagir tertawa lantang, lalu menghilang dalam kabut.
Tinggallah Udin, Pedot, dan Pak Bolot berdiri membatu.
Pak Bolot (pelan): “Tadi... itu bukan cicak, ya?”
Keesokan paginya, desas-desus pun menyebar cepat.
“Ki Jagir menampung makhluk itu?”
“Dia mau kuasai desa dengan jin?”
“Atau dia memang buka gerbang celaka itu dari awal?”
Warga makin khawatir.
Sementara itu, Mbah Tejo hanya menatap langit dari serambi rumahnya. Ia tahu… pertarungan belum selesai.
Dan kini… lawan mereka bukan hanya dari dunia gaib. Tapi juga manusia yang tamak dan ingin kuasa.
Sejak malam penampakan itu, suasana Desa Karangjati tidak lagi sama.
Langit desa seolah lebih sering mendung, meski tak selalu hujan. Burung-burung enggan berkicau pagi-pagi, dan anak-anak mulai dilarang bermain di luar selepas magrib. Beberapa warga bahkan mulai tidur dengan bawang putih dan sapu lidi di bawah bantal—cara lama warisan orang tua dulu.
Di rumah Mbah Tejo, pagi itu terdengar suara batuk pelan. Ia duduk di bale bambu, mengenakan sarung dan baju koko yang sudah mulai memudar warnanya. Di depannya, Pak Ustaz Lutfi, wajahnya nampak cemas.
Pak Ustaz: “Saya mulai khawatir, Mbah. Ki Jagir bukan sekadar cari uang dari ketakutan warga. Dia seperti sedang membuka jalur, semacam pintu untuk sesuatu yang lebih besar...”
Mbah Tejo: mengangguk pelan “Aku tahu... sejak malam itu, tanah ini terasa berat. Seperti ada yang mengincar, menanti.”
Pak Ustaz: “Kita butuh lebih dari doa-doa harian. Ini harus kita tutup. Gerbang itu harus kembali dikunci.”
Mbah Tejo menghela napas. Tangannya membuka kotak kayu tua yang disimpannya di sudut bale. Di dalamnya ada seutas tali merah, pecahan kaca cermin, dan potongan kulit kayu yang sudah mengering.
Mbah Tejo: “Ini warisan dari guru lamaku. Untuk menutup gerbang, perlu tumbal. Tapi bukan tumbal nyawa... tumbal kebenaran. Harus ada yang jujur... dan kuat... yang mau hadapi semua makhluk itu tanpa pamrih.”
Pak Ustaz menatap heran. “Siapa?”
Sementara itu, di warung Bu Lilik, Pak Bolot, Udin, dan Pedot sedang sarapan pecel.
Udin: “Eh, Dot, semalam ki aku mimpi aneh. Ada suara minta tolong dari sumur tua... terus bayangan nenek-nenek itu muncul lagi.”
Pedot: “Waduh... jangan-jangan nenek bisu yang dulu itu masih belum tenang?”
Pak Bolot (nyelutuk): “Sumur tua? Hah? Aku dulu sering buang air di situ. Makanya mungkin... dia kesel.”
Udin: “Pak Bolot... iki serius, lho. Orang-orang mulai mimpi yang sama. Sumur tua itu, di belakang kebun salak... semua yang mimpi bilang, ada yang manggil dari dalam.”
Pedot: “Aku rasa... ada yang sedang dibangunkan. Mungkin dulunya dikubur di situ... atau disegel... dan sekarang gerbangnya terbuka.”
Pak Bolot hanya mengangguk-angguk tanpa benar-benar paham.
Pak Bolot: “Kalau manggil, ya dijawab. Biar nggak tersinggung.”
Udin dan Pedot hanya bisa saling pandang dan mengelus dada.
Sore harinya, Pak RT mengumumkan rapat mendadak di balai desa. Warga berkumpul, suasana tegang.
Pak RT: “Warga Karangjati, saya tak ingin menyembunyikan apa pun. Semalam, beberapa warga melihat makhluk hitam tinggi besar melintasi ladang belakang. Warga yang jaga ronda juga mendengar suara tangisan dari dalam mushola kosong.”
Warga: “Gusti Allah…”
“Makhluk apa lagi itu?”
“Apa kita harus pindah desa, Pak RT?”
Muncullah Ki Jagir, kali ini tidak sendirian. Ia datang bersama tiga orang pria asing, membawa koper besar dan dua burung gagak yang dikurung di sangkar.
Ki Jagir: “Tak perlu panik. Mereka hanya lapar. Mereka hanya datang karena merasa kalian bisa mereka kuasai. Tapi… kalau kalian ingin aku selamatkan desa ini, serahkan saja aku tempat itu.”
Pak RT: “Tempat apa?”
Ki Jagir: senyum licik “Sumur tua di belakang kebun salak. Itu gerbangnya.”
Suasana hening.
Pak Ustaz berdiri cepat. “Jangan! Sumur itu dulu disegel. Ada perjanjian lama di sana, Jagir. Kau tak boleh membukanya!”
Ki Jagir menoleh, matanya menyala aneh.
Ki Jagir: “Perjanjian lama? Sudah usang. Sudah waktunya diperbarui. Aku yang akan jadi penguasa gerbang itu!”
Ia menjentikkan jarinya, dan sangkar gagak terbuka. Dua burung gagak itu terbang melingkar di atas balai desa, mengeluarkan suara keras yang membuat semua orang menunduk.
Warga: “Astagfirullah... ini dukun apa setan?”
Pak Bolot: “Itu... itu ayam hitam ya?”
Udin: “Pak Bolot! Itu gagak!”
Pak Bolot: “Oalah, pantesan ndak bisa dikasih nasi.”
Malam itu, langit gelap pekat. Tak ada bintang. Di tepi kebun salak, sumur tua yang sudah ditumbuhi semak belukar mulai mengeluarkan uap tipis.
Di tengah kebun, Ki Jagir berdiri sendirian. Ia menggambar lingkaran besar dengan darah ayam cemani, dan menancapkan tongkat bertuah ke tanah.
“Gerbang, bukalah... aku pewarismu…”
Tapi sebelum mantranya selesai, terdengar bunyi gamelan dari kejauhan. Irama lambat, seperti alunan dari dunia lain.
Ki Jagir terdiam. Langit bergemuruh.
Dari arah barat, muncullah Mbah Tejo ditemani Pak Ustaz dan beberapa warga berani. Mereka membawa kitab doa, air bunga, dan kemenyan putih.
Mbah Tejo: “Jagir! Berhenti! Kalau kau buka gerbang itu, bukan cuma desa ini yang rusak. Dunia bisa kacau!”
Ki Jagir: “Aku tidak takut! Aku akan kuasai mereka semua!”
Maka terjadilah pertarungan spiritual. Doa bertabrakan dengan mantra. Angin berputar seperti pusaran. Tanah bergetar.
Sosok hitam mulai muncul dari sumur.
Bau busuk dan suara tangis anak kecil memenuhi udara.
Udin dan Pedot yang menyelinap dari semak-semak melihatnya.
Udin: “Waduh... Dot... aku pengen pulang... mules aku...”
Pedot: “Cah bagus ngumpet kok malah keringetan... ini serem banget, Din!”
Pak Bolot (tiba-tiba muncul): “Eh... ini bukan tempat buat cari durian ya?”
Udin: “Pak Bolot! Kene kene! Aja melayu sendirian!”
Akhirnya, ketika cahaya putih dari doa-doa Pak Ustaz dan Mbah Tejo menyentuh mulut sumur, gerbang mulai tertutup kembali. Tapi Ki Jagir tidak menyerah. Ia mencoba melompat ke dalam sumur, namun tangan hitam raksasa mencengkeramnya dan menariknya masuk ke dalam.
Jeritannya menggema... lalu hening.
Sumur tua mengeluarkan satu hembusan asap terakhir... lalu mati.
Angin berhenti.
Gagak pun tak kembali.
Semua terdiam. Gerbang telah ditutup kembali. Untuk sementara.
Tapi malam itu, satu hal jelas bagi semua warga...
Ancaman masih belum berakhir.
Langit sore memerah di ufuk barat, cahaya mentari menyeruak malu-malu di sela pohon-pohon tua di pinggir kebun. Angin berembus pelan membawa aroma tanah basah dan daun kering. Dari kejauhan, kabut tipis mulai turun, seolah mengantar sebuah kisah lama yang terlupakan.
Dan di balik sunyi itu, kisah sang Nenek Bisu mulai terungkap…
Desa Karangjati, 38 tahun lalu
Namanya Surti. Seorang gadis muda yang dikenal ramah, rajin, dan penuh semangat. Ia tinggal bersama ayah dan ibunya di sebuah gubuk kayu di tepi kebun kopi milik juragan kota.
Surti memang tak cantik mencolok, tapi senyum lembutnya membuat siapa pun betah berlama-lama berbicara dengannya. Ia punya kebiasaan unik: setiap sore, ia duduk di tepi sumur tua sambil menyanyi lagu-lagu dolanan Jawa. Suaranya merdu dan menenangkan.
"Gundhul-gundhul pacul... cul..."
Suara itu sering menjadi penanda waktu bagi warga yang sedang bekerja di ladang.
Namun nasib baik jarang bertahan lama di tanah ini.
Suatu malam, hujan mengguyur deras. Petir menyambar-nyambar, dan langit seolah tak berhenti meraung. Surti, kala itu baru saja pulang dari kebun membawa hasil panen. Ia tak tahu bahwa tiga lelaki asing sudah mengintai sejak sore.
Mereka bukan orang desa. Bajunya asing, bicaranya kasar, dan tatapannya beringas.
Di tengah malam gulita, suara jeritan pecah dari arah gubuk Surti. Ayah dan ibunya disergap lebih dulu. Ia sendiri ditarik paksa keluar, dipukul, diseret, dan...
...tubuhnya dilempar ke pinggir sumur.
Ia mencoba melawan, berteriak, tapi salah satu dari mereka menampar keras wajahnya.
“Diam kau! Perempuan kampung hina!”
Lalu...
Sebuah besi tajam... menusuk lidahnya.
Surti hanya sempat mengerang lirih sebelum dunia menjadi gelap. Mereka pergi meninggalkannya begitu saja, mengira ia sudah mati.
Tapi Surti masih hidup.
Ia bangun di pagi buta, tubuh penuh luka dan darah. Lidahnya hancur. Suaranya hilang. Tak ada lagi nyanyian sore hari. Tak ada lagi gelak tawa.
Surti memilih diam.
Ia tak pernah mau melaporkan kejadian itu. Ibunya yang histeris pun tak berani bicara. Mereka menutup mulut karena takut.
Sejak hari itu, Surti menjadi bisu.
Hari-hari berlalu, lalu tahun demi tahun, satu demi satu keluarganya meninggal karena sakit atau kecelakaan. Surti hidup sendiri di gubuk kecil, menjadi buruh kebun. Ia tak banyak bersosialisasi, tapi warga tahu: di balik diamnya, ia perempuan yang kuat dan pekerja keras.
Orang-orang menyebutnya: Nenek Bisu.
Mereka tak tahu kisahnya. Mereka hanya tahu ia sering bicara dengan bunga, duduk termenung di bawah pohon tua, atau mengelus batu nisan tua di belakang rumah.
Tak ada yang tahu... bahwa di malam-malam tertentu, ia sering mengeluh dan menangis diam-diam di bawah sinar bulan. Mulutnya hanya bergerak tanpa suara.
Namun... suara hati tak pernah benar-benar bisu.
Malam Terakhirnya
Tahun ke-67 usianya.
Desa sedang sepi karena sebagian warga ke kota. Malam itu, ia pulang dari kebun sambil membawa sekeranjang kecil daun singkong.
Tapi nasib buruk memang punya cara mengenang.
Dua pemuda dari kota masuk ke desa lewat jalur kebun. Niat awal hanya mencuri buah-buah dan hasil kebun warga. Namun ketika mereka melihat gubuk kecil berdiri sepi di ujung tanah, niat mereka berubah.
Mereka menyelinap masuk.
Nenek Surti sadar dan berusaha melawan. Tapi tubuhnya sudah renta. Mereka menghajarnya, dan karena panik, mereka mendorongnya ke tembok kayu. Salah satu dari mereka mencengkeram wajahnya dan...
...menggigit serta mencabik-cabik lidahnya yang sudah pernah luka dulu.
Seolah dendam lama mengendap dalam tubuh manusia yang berbeda.
Ia menghembuskan napas terakhir di dekat sumur. Tangannya menempel di tanah, wajah menghadap langit, mata terbuka... seolah meminta langit menjadi saksi bahwa dirinya tak pernah minta dilahirkan dengan derita sebegitu dalam.
Mayatnya ditemukan sepekan kemudian. Tubuh membusuk, wajah penuh luka, lidah hancur, dan tangannya menggenggam rumput liar.
Desa berkabung.
Namun luka yang lama, kini benar-benar abadi.
Kembali ke Masa Kini
Di rumah Mbah Tejo, malam itu, suara kayu berderit perlahan. Mbah Tejo membuka gulungan kain putih tua yang selama ini ia simpan. Di dalamnya terdapat kalung perak kecil dengan liontin berbentuk daun kopi.
Pak Ustaz: “Itu... punya siapa?”
Mbah Tejo: “Nenek Surti menitipkannya... bertahun-tahun lalu, saat usianya belum setua sekarang. Ia tak bisa bicara, tapi air matanya yang bicara... Ini milik ibunya.”
Mereka terdiam.
Di luar, angin mendesir membawa suara samar...
"Gundhul-gundhul pacul..."
Lembut. Seperti bisikan dari dunia lain. Suara yang tak lagi punya lidah, tapi masih punya kenangan yang belum tuntas.