The Orchid dipimpin oleh tiga pilar utama, salah satunya adalah Harryson. Laki-laki yang paling benci dengan suasana pernikahan. Ia dipertemukan dengan Liona, perempuan yang sedang bersembunyi dari kekejaman suaminya. Ikuti ceritanya....
Disclaimer Bacaan ini tidak cocok untuk usia 18 ke bawah, karena banyak kekerasan dan konten ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El_dira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Makanan Kesukaan
Setelah berhasil mengantarkan Lukas ke kamarnya, Harry segera mandi cepat lalu turun ke bawah untuk makan malam. Ia jarang menolak makanan, apalagi saat aroma sedap masakan memenuhi udara dari arah dapur.
Saat tiba di ruang makan, matanya langsung menangkap hidangan ayam parmesan—salah satu makanan favoritnya.
Liona tampak mondar-mandir di sekitar Mikael yang tengah menyiapkan makanan di atas meja.
“Demi Tuhan,” gerutu Mikael kesal, “berhenti berkeliaran seperti hantu. Letakkan saja makanan itu di atas meja sialan ini.”
“Mikael,” tegur Harry dengan nada peringatan.
Mereka mulai makan sementara Liona sibuk mencuci panci. Harry berusaha menahan ekspresi tidak enak di wajahnya. Ia tidak ingin membuat Mikael menyadari betapa buruk rasa makanannya. Walau, tampaknya kecil kemungkinan itu bisa luput dari perhatiannya.
“Ayam ini mentah di bagian tengah!” teriak Mikael, seolah lupa dengan nasihat Harry semalam untuk bersikap lebih baik. “Apa kau berencana membunuh kami?”
“Ti-tidak…” suara Liona bergetar. Air mata mulai memenuhi matanya sebelum ia menunduk dan buru-buru kembali ke kamarnya.
“Sudahlah,” kata Harry tegas. “Dia masih dalam masa pemulihan. Kita seharusnya bersyukur dia bahkan sanggup memasak.”
“Kalau dia pingsan, ya sudah pingsan,” Mikael menggerutu. “Selain orang yang cengeng, aku juga tak tahan dengan orang yang gampang pingsan.”
Harry hanya bisa memutar matanya menanggapi sikap kakaknya itu.
“Dia cukup baik malam ini,” Mikael mengakui akhirnya, meskipun dengan enggan.
Harry mengernyit saat melihat hidangan di hadapannya. Ayamnya kurang matang, sayurannya terlalu lembek karena terlalu lama dimasak. Saladnya? Jelas bukan pilihan—karena sebelumnya ia sempat melemparkannya saat panik.
Semuanya kacau. Kecuali roti bawang putihnya. Roti itu sempurna. Renyah di luar, lembut dan hangat di dalam, dan rasa bawang putihnya pas. Harry tidak ragu menyantapnya habis.
Setelah makan sekenanya, ia mengambil alih tugas mencuci piring. Ia tidak tega membiarkan Liona mengurus semuanya sendiri. Diam-diam, ia menyembunyikan sisa makanan yang tidak termakan di bawah tumpukan kardus di tempat sampah—ia tidak ingin perasaan Liona makin terluka karena masakan yang tak termakan.
Setelah semua selesai, Liona masih belum keluar dari kamarnya. Harry berjalan ke pintu dan mendengarkan. Tidak ada suara.
Ia mengetuk pelan. “Liona?”
Masih tidak ada jawaban. Perasaan tidak tenang mulai muncul di dadanya. Ia membuka pintu sedikit dan melongok ke dalam.
Dari tempatnya berdiri, Harry bisa melihat Liona berada di kamar mandi dalam, menggosok-gosok tangannya dengan gerakan cepat dan panik. Ia melangkah lebih dekat, dan sorot mata Liona di pantulan cermin membuat langkahnya melambat.
“Apakah semuanya baik-baik saja?” tanya Harry lembut, berusaha terdengar santai, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat.
Liona menatapnya lewat cermin. Tak ada jawaban. Hanya gerakan terburu-buru saat ia meraih handuk berwarna merah terang.
Tatapannya kosong, tak fokus, seolah pikirannya sedang berada jauh dari tempat itu. Harry menatap tangannya—ada noda merah tua di sana, jelas seperti luka atau sesuatu yang lain. Ia menahan napas.
“Liona…” panggilnya pelan. Ia menjaga suaranya tetap rendah agar tidak menambah ketakutan gadis itu.
Mata Liona bertemu dengan matanya sejenak. Napasnya tertahan, tapi ia tetap tidak bicara. Ia hanya menatap tangannya sendiri, seolah baru menyadari sesuatu yang menakutkan.
Harry mendekat tanpa ragu, mengulurkan tangan. “Biar aku bantu.”
Liona tidak menolak saat handuknya perlahan diambil dari tangannya. Harry menuntunnya ke wastafel.
“Ayo, kita bersihkan sedikit,” bisiknya.
Liona mengikuti dengan gerakan kaku. Harry menyalakan keran, mengatur suhu air menjadi hangat, lalu perlahan memegang tangannya. Kulit gadis itu lembap dan dingin.
Ia mulai membersihkan noda merah tua itu dengan gerakan lembut. Saat air mulai membawa warna merah turun ke saluran, Liona mengeluarkan rintihan kecil dari bibirnya.
Harry menatapnya. Ada sesuatu dalam diri Liona—ketakutan yang mendalam, juga kebingungan yang sulit dijelaskan. Ia melirik wajah gadis itu, yang masih memandangi tangannya sendiri, seolah tak percaya bahwa dirinya sedang disentuh dengan begitu hati-hati.
Dengan lembut, ibu jari Harry mengusap punggung tangan Liona.
“Sudah tenang,” ujarnya.
“Darahnya mulai hilang. Air hangat akan lebih mudah membersihkannya.”
Setelah tangannya bersih, ia mematikan air dan mengambil handuk bersih. Ia menepuk tangan Liona pelan, penuh kehati-hatian.
Harry tidak bisa menahan pikirannya melayang—hidup seperti apa yang telah Liona jalani sampai membuatnya begitu rapuh? Apa yang dia hadapi di masa lalu?
Setelah selesai mengeringkan tangan Liona, ia menatap matanya. Gadis itu menatap balik dengan campuran bingung dan… sesuatu yang hampir seperti rasa syukur. Tapi ragu-ragu.
“Mengapa kamu melakukan ini?” bisik Liona.
“Karena kamu butuh bantuan.”
Liona tampak terkejut. Matanya melebar, dan sesaat Harry mengira dia akan menangis. Tapi tidak. Gadis itu hanya menatapnya lama, seolah mencoba memastikan bahwa ini bukan jebakan atau permainan.
Harry berharap Liona bisa melihat bahwa ia sungguh-sungguh. “Kau tak perlu takut,” katanya lembut. “Tidak di sini.”
Liona berkedip cepat. Lalu, pelan, mengangguk. “Terima kasih,” bisiknya hampir tak terdengar.
Tanpa berkata apa pun lagi, Liona berbalik dan meninggalkan kamar mandi. Harry hanya bisa berdiri di sana, masih memegang handuk, memperhatikan sosoknya yang perlahan menghilang di balik pintu.