Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.
Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.
Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.
Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.
Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Langit Bali merekah perlahan. Tirai linen bergoyang pelan diterpa angin laut yang lembut, membiarkan cahaya jingga keemasan masuk dan membelai wajah Lily yang masih tertidur. Andre sudah bangun sejak beberapa menit lalu, hanya untuk menatapnya.
Wajah Lily terlihat damai, rambut hitamnya berantakan di bantal, dan lengannya tergeletak di atas dada Andre. Nafasnya tenang, dan bibirnya sedikit terbuka.
Pelan, Andre mencium dahi Lily. “Pagi,” gumamnya.
Lily membuka matanya perlahan, tersenyum tipis. “Pagi juga…” suaranya parau, seperti embun.
Ia menarik Andre mendekat dan mereka berpelukan dalam diam. Lily mengelus punggung Andre, sedangkan Andre membiarkan jemarinya menjelajahi lengan Lily—hangat dan nyata. Mereka tidak bicara soal cinta, tapi segala yang dilakukan pagi itu terasa lebih dalam dari kata cinta itu sendiri.
Setelah beberapa menit, Lily mencolek pipi Andre dan bertanya ringan, “Kalau aku nggak di sini tadi malam, kamu bangun sama siapa?”
Andre tertawa pelan. “Kayaknya bangun sendirian… dan sedih.”
“Hmm,” Lily memutar tubuh, menindih sebagian tubuh Andre. “Berarti kamu butuh aku, ya?”
Andre menyentuh pinggang Lily, menggoda. “Sepertinya begitu.”
Lily mengecup bibirnya singkat lalu bangkit pelan. “Aku harus mandi. Kamu juga. Kita berdua punya dunia masing-masing hari ini.”
Andre menatapnya lama. “Lily…”
“Hmm?”
“Kalau aku gagal hari ini… kamu masih mau di sampingku?”
Lily memandangnya sebentar, lalu menyeringai. “Yah, selama kamu tetap enak diajak tidur dan nggak ngorok, mungkin iya.”
Andre hanya bisa tertawa getir.
L HPMKI – Suara yang Tak Sepenuhnya Milikmu
...****************...
Ballroom dipenuhi pria dan wanita muda dengan setelan rapi, wajah-wajah ambisius, dan sorotan mata penuh perhitungan.
Andre berjalan ke depan podium, mengenakan jas warna arang dan kemeja putih bersih. Presentasinya kuat: tentang kolaborasi lokal-global, penguatan integritas dan audit independen proyek.
Tepuk tangan terdengar. Tapi di antara itu semua, ia masih bisa mendengar bisikan samar:
“Menang karena nikahin cucu Sondarto…”
“Istrinya yang dorong-dorong ke atas, bukan dia…”
Ketika penghitungan suara diumumkan, Andre kalah tipis. Tapi ia ditunjuk sebagai Wakil Ketua Nasional. Jabatan prestisius, namun tetap terasa seperti ‘hadiah hiburan’ baginya.
Ia berdiri di panggung, berfoto dengan ketua baru, menerima sertifikat penunjukan dan memberi sambutan singkat. Dari jauh, Lily yang datang diam-diam ke bagian belakang ruangan hanya mengamati, lalu pergi lebih dulu.
...****************...
Di Seminyak, Andre dan Lily berjalan bergandengan tangan, Lily mengenakan maxi dress linen putih dengan rambut dikuncir simpel. Mereka terlihat santai, tapi tetap mencolok.
Seorang rekan Andre dari konferensi menyapa mereka di luar kedai kopi.
“Wah, Dre! Beruntung banget lo! Nikah sama Lily Halimansyah? Jackpot!”
Lily menghentikan langkahnya. Wajahnya tetap tersenyum, tapi matanya dingin.
“Aku nggak suka dibilang hadiah atau jackpot,” katanya pelan, tapi tajam. “Andre dapat aku bukan karena hoki. Dia karena pantas.”
Pria itu tersenyum kaku. “Eh, maaf, Bu Lily, nggak maksud—”
“Kamu bercanda di tempat yang salah,” tambah Lily, masih tersenyum manis. “Semoga nggak jadi kebiasaan.”
Andre hanya menahan senyum. “Ayo, sayang,” katanya, menarik tangan Lily lembut. Mereka pergi meninggalkan pria itu terbata.
...****************...
Mereka menyewa motor dari hotel dan menyusuri jalur utara Bali yang lebih sunyi. Lily duduk membonceng, tangannya melingkari pinggang Andre, kepalanya bersandar di punggungnya.
Mereka melewati sawah yang menguning, rumah-rumah penduduk dengan anak kecil melambaikan tangan, serta pura-pura kecil di tepi jalan.
“Kalau aku bukan cucu siapa-siapa… kamu masih mau bersamaku?” bisik Lily tiba-tiba.
Andre memperlambat motor, lalu berhenti di tepi tebing kecil menghadap laut.
Ia melepas helm, lalu menoleh. “Aku udah jatuh sama kamu bahkan sebelum kamu mau lihat aku.”
Lily terdiam.
Mereka duduk di atas batu, memandang matahari terbenam yang mulai menurunkan cahaya emas ke laut.
...****************...
Ponsel Andre bergetar. Sebuah email masuk dari staf keuangannya di Jakarta.
Wajah Andre berubah pucat.
“Ada apa?” tanya Lily.
Andre memperlihatkan layar ponselnya. “Laporan keuangan proyek Ciledug City… Bocorannya lebih besar dari yang kita kira. Ada manipulasi.”
Lily memicingkan mata. “Kamu pikir ini kerja siapa?”
Andre menarik napas dalam. “Kalau dugaan awalku benar… ini orang yang dulu aku percaya.”
Lily memandang Andre lama. “Kalau kamu jatuh… jangan anggap aku nggak bisa bantu. Aku nggak selemah yang orang pikir.”
Andre menoleh. Mata mereka bertemu. Angin laut berembus kencang, tapi tak bisa menyingkirkan gelombang kecemasan yang mulai datang.