Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.
Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.
"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.
Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan di Spion Tengah
Langit Jakarta sore itu terbakar oleh warna jingga kemerahan, memantul silau di dinding-dinding kaca gedung pencakar langit Sudirman. Jam pulang kantor telah tiba, mengubah jalanan ibu kota menjadi sungai logam yang mengalir lambat, penuh dengan deru mesin dan klakson yang tak sabaran.
Namun, di dalam sedan hitam mewah yang melaju perlahan di jalur kiri, suasana terasa cukup damai, seolah terpisah dari hiruk-pikuk di luar.
Argantara baru saja menjemput Intan di titik temu rahasia mereka: sebuah halte bus tua yang sepi di belakang kompleks kampus, tempat yang luput dari pantauan mahasiswa maupun dosen lain.
Di kursi penumpang, Intan tampak sangat menikmati momen lepas dari kegiatan kuliah. Gadis itu sudah melepas sepatu sneakers-nya, melipat kaki dengan nyaman di atas karpet mobil yang bersih, dan sibuk membuka plastik berisi cilok bumbu kacang yang ia beli dari pedagang keliling saat menunggu Arga tadi.
"Mas mau? Masih anget banget nih," tawar Intan sambil menyodorkan tusuk sate berisi bola tepung kenyal itu ke arah mulut Arga. Aroma bumbu kacang yang gurih dan kecap manis seketika memenuhi kabin mobil yang biasanya hanya beraroma parfum mahal dan pendingin udara.
Arga melirik sekilas, lalu menggeleng pelan sambil tetap fokus menyetir. "Nggak. Kamu makan saja. Nanti makan malam kamu nggak habis kalau ngemil terus."
"Dih, sok tau. Perut saya ini karet, Mas. Bisa melar sesuai kebutuhan," cibir Intan sambil mengunyah dengan nikmat. Ia bahkan bersenandung kecil, menggoyangkan kepalanya mengikuti irama lagu pop yang diputar pelan di radio.
Arga tersenyum tipis melihat tingkah istrinya. Momen "gencatan senjata" pasca sarapan tadi pagi sepertinya masih berlaku. Intan tidak lagi mendirikan tembok es yang tinggi. Gadis itu mulai nyaman menjadi dirinya sendiri lagi di dekat Arga.
Namun, senyum Arga perlahan memudar, berganti menjadi garis rahang yang mengeras, saat matanya melirik ke spion tengah untuk ketiga kalinya dalam satu menit.
Dahinya berkerut samar. Senyumnya lenyap total.
Tepat dua mobil di belakangnya, menyelinap di antara kemacetan seperti predator yang mengincar mangsa, ada sebuah Mini Cooper berwarna merah menyala yang sangat familiar. Mobil itu terus menempel, mengikuti setiap perpindahan jalur Arga sejak mereka keluar dari area kawasan kampus lima menit yang lalu.
Arga mencoba berpikir positif, mungkin hanya kebetulan. Tapi ketika Arga menyalakan sein kanan dan berpindah jalur, mobil merah itu ikut berpindah. Ketika Arga kembali ke kiri, mobil itu pun membanting setir ke kiri.
Sial, batin Arga mengumpat dalam hati. Clarissa.
Wanita itu benar-benar menguntitnya. Dugaan Arga tentang obsesi Clarissa ternyata bukan main-main. Arga membayangkan skenario terburuk: Jika Clarissa berhasil mengikuti mereka sampai ke basement apartemen Pavilion, lalu melihat Intan turun dari mobil yang sama dan naik ke unit yang sama, rahasia pernikahan mereka tamat.
Skandal besar akan meledak besok pagi. Reputasi Arga hancur, dan masa depan Intan di kampus akan menjadi bulan-bulanan gosip.
Arga harus bertindak. Ia harus memutus ekor ini sekarang juga. Tapi, ia harus melakukannya dengan sangat halus. Ia tidak boleh membuat Intan curiga atau panik.
"Mas, kok tegang amat mukanya?" tanya Intan tiba-tiba, menyadari cengkeraman tangan Arga yang mengerat di setir hingga buku jarinya memutih. "Macetnya bikin stres ya?"
Arga dengan cepat merilekskan otot wajahnya, memasang topeng ketenangannya kembali.
"Sedikit," dusta Arga dengan nada datar yang meyakinkan. "Saya baru ingat ada file laporan penting yang harus dikirim ke Dekan sebelum jam 6 sore. Kita harus sampai apartemen secepatnya, atau saya kena tegur."
"Yah, padahal baru mau nikmatin senja sambil makan cilok," gumam Intan sedikit kecewa, tapi ia menegakkan posisi duduknya. "Yaudah, ngebut dikit boleh deh. Asal jangan nabrak ya, Mas."
"Oke. Pegangan," ucap Arga singkat.
Di depan, ada persimpangan besar dengan lampu lalu lintas yang angkanya sedang menghitung mundur.
Jalur lurus menuju jalan protokol utama terlihat macet total, dipenuhi bus dan truk. Sementara jalur belok kiri—yang menuju kawasan perumahan padat penduduk—terlihat lebih lengang meski jalannya sempit dan berliku.
Arga melaju di jalur tengah. Di spion, ia melihat Clarissa juga mempercepat laju mobilnya, berusaha menempel ketat agar tidak terhalang mobil lain. Clarissa jelas mengambil ancang-ancang untuk lurus, mengira Arga akan lewat jalan protokol seperti biasa.
5... 4...
Arga tetap di jalur tengah, memberikan sinyal tubuh mobil seolah-olah akan lurus mengikuti arus utama.
3...
Jantung Arga berpacu dengan angka di lampu merah. Ia menunggu momen yang tepat.
Tepat di detik terakhir sebelum lampu berubah merah, Arga membanting setir ke kiri dengan gerakan tajam namun presisi, menyalip sebuah angkot yang sedang ngetem di tikungan.
"Mas! Kiri?!" pekik Intan kaget karena manuver dadakan itu. Cilok di tangannya nyaris loncat dari tusuknya. "Itu angkot woy!"
"Jalan tikus. Lewat protokol macet total, nanti saya telat," jawab Arga tenang, matanya fokus ke depan.
Mobil sedannya melesat masuk ke belokan kiri tepat saat lampu lalu lintas berubah dari kuning tua menjadi merah menyala.
Tiiiiin!
Di belakang, terdengar bunyi klakson panjang bersahut-sahutan.
Arga melihat sekilas di spion samping. Rencananya berhasil sempurna. Mini Cooper merah milik Clarissa yang sudah terlanjur mengambil jalur lurus, kini terpaksa mengerem mendadak di garis marka. Mobil itu terjebak lampu merah, terhalang separator jalan beton, dan tidak bisa berbelok mengejarnya.
Clarissa tertinggal di persimpangan.
Gotcha, batin Arga puas. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum kemenangan yang sangat tipis. Ia baru saja menyelamatkan benteng rumah tangganya.
"Mas Arga ih! Bilang-bilang kek kalau mau manuver!" protes Intan sambil membenarkan sabuk pengamannya, napasnya memburu kaget. "Untung bumbu kacangnya nggak tumpah ke jok kulit mahal Mas. Kalau tumpah, gaji Mas sebulan abis buat laundry!"
"Maaf," ucap Arga, nadanya terdengar jauh lebih rileks sekarang. "GPS di kepala saya bilang lewat sini lebih cepat 15 menit."
"Emang Mas tau jalan sini?" Intan melihat sekeliling dengan ragu.
Mereka kini melaju di jalanan perumahan yang cukup sempit, berkelok-kelok, dan banyak polisi tidur. Arga sengaja memilih rute ini untuk memastikan jejaknya benar-benar hilang seandainya Clarissa nekat memutar balik.
"Tau. Dulu saya sering lewat sini waktu survei lapangan," alibi Arga lancar.
Mobil berguncang sedikit saat melewati polisi tidur yang cukup tinggi.
"Aduh, Mas. Pelan dikit napa," keluh Intan sambil memegangi perutnya. "Ini mobil sport apa gerobak sih? Guncangannya kerasa banget di perut yang abis diisi cilok."
"Ini namanya seni mengemudi di Jakarta, Intan," canda Arga, berusaha mengalihkan perhatian Intan. "Dinikmati saja."
"Iya deh, Pak Supir yang paling jago," ledek Intan sambil memutar bola matanya.
Setengah jam kemudian, setelah berputar-putar sedikit untuk memastikan keadaan aman, mobil Arga meluncur mulus masuk ke basement apartemen Pavilion.
Suasana basement yang hening dan remang-remang menyambut mereka. Arga mematikan mesin, lalu menghembuskan napas panjang yang sedari tadi ia tahan tanpa sadar.
"Sampai," ucap Arga.
Intan meregangkan badannya. "Akhirnya."
Mereka turun dari mobil. Arga berjalan memutari mobil, lalu tanpa diminta, ia membuka pintu belakang dan mengambil tas kuliah Intan yang terlihat berat berisi laptop.
"Eh, saya bawa sendiri aja, Mas. Berat lho," tolak Intan, tangannya terulur.
"Udah, jalan aja. Kamu jalannya lambat kalau bawa beban," elak Arga, menenteng tas wanita berwarna pastel itu dengan santai di bahu kirinya yang kekar. Pemandangan yang kontras namun manis; pria maskulin membawa tas wanita yang imut.
Intan mencibir, tapi ia membiarkannya. Ia berjalan di samping Arga menuju lift, sama sekali tidak tahu bahwa suaminya baru saja menjadi tameng pelindung dari bahaya yang mengintai.
"Mas," panggil Intan saat mereka menunggu lift turun.
"Hm?"
"Tadi... makasih ya," ucap Intan pelan, matanya menatap angka digital lift yang bergerak turun.
Arga menoleh. "Makasih buat apa?"
"Buat jemput di halte belakang. Dan buat... nggak marah pas saya ngotorin karpet mobil pake remah cilok tadi," Intan nyengir kuda, mengakui dosa kecilnya. "Tadi ada jatoh dikit."
Arga tertawa kecil. Tawa yang tulus.
"Nanti saya potong uang belanja kamu buat laundry," canda Arga.
"Yah, jangan dong! Pelit amat sama istri sendiri," protes Intan sambil memukul pelan lengan Arga.
Pintu lift terbuka. Mereka masuk berdua.
Arga menatap pantulan mereka di dinding cermin lift. Intan terlihat rileks, aman, dan ceria. Di kejauhan, Clarissa mungkin sedang memukul setir karena kehilangan jejak di persimpangan. Tapi di sini, di dalam kotak besi yang bergerak naik ini, Argantara merasa menang telak.
Bersambung... Vote/tonton iklan banyak2 ya guy's..
makan tuh gengsi Segede gaban😄