NovelToon NovelToon
Istri Terbuang

Istri Terbuang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Janda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: ummushaffiyah

Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32 — Tenang yang Menyala, Gelisah yang Menggerogoti

Zahwa berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri.

Bukan untuk memastikan lipstik atau lipatan gamisnya rapi, melainkan untuk memastikan satu hal yang lebih penting: hatinya.

Ia tidak lagi melihat perempuan yang dulu selalu menunduk, menahan napas di rumah yang tak pernah memberinya ruang. Kini sorot matanya lebih jernih. Bahunya tegak. Langkahnya mantap.

Glow up itu tidak lahir dari baju baru atau wajah yang dipoles lebih rapi.

Ia lahir dari keputusan-keputusan sunyi: bertahan tanpa membalas, pergi tanpa berisik, dan memaafkan tanpa kembali.

Di meja kecil kontrakannya, ponselnya bergetar lagi.

Farhan.

Pesan-pesan itu menumpuk seperti hujan yang tak pernah diminta.

> Wa, jawab. Aku cuma mau bicara.

Kamu sekarang berubah ya.

Jangan sok sibuk.

Aku tahu kamu kerja sama, sama orang itu.

Kamu pikir aku gak sakit?

Zahwa membaca semuanya. Tidak satu pun ia balas.

Ia meletakkan ponsel kembali, mengambil wudu, lalu duduk dengan tenang. Tidak ada amarah. Tidak ada gemetar. Hanya kejelasan.

“Aku sudah selesai,” bisiknya pada dirinya sendiri.

---

Di sisi lain kota, Daniel duduk di ruang kerjanya. Layar laptop terbuka, tapi pikirannya melayang. Ia tahu Farhan mulai mengganggu Zahwa. Ia tahu bukan dari cerita, tapi dari naluri.

Arvino berdiri di depan meja. “Pak Daniel… yakin mau diam saja?”

Daniel menghela napas panjang. “Aku tidak boleh masuk ke wilayah yang bukan hakku.”

“Tapi Pak Dsniel kelihatan tersiksa.”

Daniel tersenyum pahit. “Menunggu memang tidak pernah terlihat gagah.”

Arvino terdiam. Ia belum pernah melihat Daniel seperti ini. CEO yang biasanya tegas, kini tampak ragu.

“Dia kuat,” lanjut Daniel, lebih pada dirinya sendiri. “Zahwa tidak perlu diselamatkan. Dia hanya perlu… dihormati.”

Kalimat itu berat. Tapi benar.

---

Hari-hari Zahwa berjalan teratur. Pagi ia masak, siang presentasi atau produksi kecil, malam ia menutup hari dengan doa panjang. Tubuhnya lebih sehat. Wajahnya lebih cerah. Hatinya lebih ringan.

Orang-orang mulai memperhatikan.

“Teh Zahwa beda ya sekarang,” ujar salah satu klien.

Zahwa hanya tersenyum. “Mungkin karena saya sudah berdamai.”

Dengan dirinya.

---

Farhan tidak berhenti.

Pagi, siang, malam, pesan datang. Nada berubah. Dari memohon menjadi menuduh.

> Kamu sengaja ya bikin aku cemburu.

Aku tahu kamu sama Daniel.

Jangan munafik, Zahwa.

Zahwa membaca pesan terakhir itu lama. Ada getar kecil di dadanya bukan karena rindu, tapi karena satu hal: ketidakadilan.

Ia akhirnya mengetik. Satu pesan. Singkat. Jelas.

> Farhan, tolong berhenti. Kita sudah selesai secara hukum dan batin. Aku minta kamu hormati itu.

Ia menekan kirim.

Lalu memblokir nomor itu.

Tangannya tidak gemetar.

---

Daniel tahu Zahwa memblokir Farhan dari satu kalimat pendek yang Zahwa kirim malam itu.

> Mas, aku sudah menyelesaikan yang perlu kuselesaikan.

Daniel membaca pesan itu berulang. Dadanya menghangat dan perih bersamaan.

Ia ingin berkata: Aku di sini.

Tapi ia hanya membalas:

> Kamu hebat.

Itu saja.

Dan itu cukup.

---

Malam itu, Daniel duduk sendirian di balkon rumahnya. Lampu kota berpendar. Pikirannya penuh.

Menunggu… atau pergi?

Jika ia menunggu, ia harus siap dengan ketidakpastian.

Jika ia pergi, ia harus siap kehilangan kesempatan yang belum sempat bernama.

Ibunya keluar membawa dua cangkir teh.

“Kamu jatuh cinta,” kata sang ibu tanpa basa-basi.

Daniel terkekeh kecil. “Kelihatan ya?”

“Terlihat dari caramu menahan diri,” jawab ibunya lembut. “Cinta yang matang itu bukan yang paling cepat mendekat. Tapi yang paling lama menjaga jarak tanpa pergi.”

Daniel menatap langit. “Aku takut menunggu terlalu lama.”

Ibunya tersenyum. “Kalau dia perempuan baik, menunggu bukan beban. Tapi kehormatan.”

---

Zahwa menutup hari dengan sujud panjang. Air matanya jatuh lagi kali ini bukan karena luka, tapi karena syukur.

Ia tidak membalas Farhan.

Ia tidak melangkah pada Daniel.

Ia berdiri di tengah, tegak, utuh.

Dan di sanalah, cahaya itu paling terang.

1
Hafshah
terus berkarya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!