Sebelum lanjut membaca, boleh mampir di season 1 nya "Membawa Lari Benih Sang Mafia"
***
Malika, gadis polos berusia 19 tahun, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya dalam satu malam. Dijual oleh pamannya demi sejumlah uang, ia terpaksa memasuki kamar hotel milik mafia paling menakutkan di kota itu.
“Temukan gadis gila yang sudah berani menendang asetku!” perintah Alexander pada tangan kanannya.
Sejak malam itu, Alexander yang sudah memiliki tunangan justru terobsesi. Ia bersumpah akan mendapatkan Malika, meski harus menentang keluarganya dan bahkan seluruh dunia.
Akankah Alexander berhasil menemukan gadis itu ataukah justru gadis itu adalah kelemahan yang akan menghancurkan dirinya sendiri?
Dan sanggupkah Malika bertahan ketika ia menjadi incaran pria paling berbahaya di Milan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32
Selesai mengikuti kelas, Malika duduk menyendiri di sudut ruangan. Ia menunduk sambil mengelus pipinya yang masih terasa perih, di mana bekas tamparan gadis tadi membekas samar.
“Lika salah apa sama dia? Kenapa Lika ditampar?” gumamnya sedih. Entah kenapa rasanya sakit dan sesak melihat gadis itu memperlakukannya.
Malika bahkan tidak tahu apa kesalahannya.
Tapi, dari sorot mata gadis itu, Malika bisa melihat ada kebencian dan juga kesedihan di sana. Tapi ia lelah memikirkannya.
“Ah sudahlah, untuk apa Lika memikirkan itu.”
Ia menghapus air matanya cepat-cepat, berusaha kembali ke mode riangnya.
Saat hendak berdiri, bayangan seseorang berdiri di sebelahnya. Sebuah saputangan putih bersih disodorkan di depan wajahnya.
“Lap ingusmu,” ucap suara dingin dan ketus, sama sekali tidak menunjukkan simpati.
Malika menoleh. Di sampingnya berdiri seorang pria muda yang tinggi, mengenakan jaket hoodie gelap dan sarung tangan kain, padahal udara di dalam ruangan itu cukup hangat.
Wajahnya tampan, tetapi ekspresinya kaku, hampir semengerikan Tuan Alexander.
“Kau siapa? Kita kenal?” tanya Malika polos.
“Tidak. Hanya saja suara sengau tangisanmu membuatku terganggu,” jawab pria itu, suaranya sedatar triplek.
Karena Malika tak kunjung menyambut saputangan di tangannya, pria itu menjatuhkannya tepat di tangan Malika.
“Terima kasih. Nanti Lika cuci dan kembalikan,” ucap Malika tersenyum tulus.
“Buang saja,” ucap Leonard lalu beranjak pergi tanpa menoleh lagi.
“Egh, tunggu! Lika belum selesai bicara.” Malika buru-buru mengejar Leon.
Leonard semakin mempercepat langkahnya, jelas ingin menghindari interaksi lebih lanjut. Malika pun malah ikut berlari, rok yang ia pakai sedikit tersingkap oleh gerakan mendadak itu.
“Kenapa lari-lari? Lika kan mau berterima kasih!” teriak Malika sambil setengah ngos-ngosan.
Leonard berbalik tiba-tiba.
“Kau mau apa, hah?! Jangan ikuti aku terus!” bentak Leon. Wajahnya yang tegang terlihat sedikit pucat.
Pria dengan pakaian tertutup dan kedua tangan memakai sarung tangan itu melangkah menjauh. Ia benci sekali berada di dekat orang lain, apalagi orang asing yang berisik.
Malika malah makin mendekat. Ia harus berterima kasih!
Tepat saat Malika berhasil menyusulnya, Leon berhenti. Malika yang tak sempat mengerem dan reflek,
CUP!
Bibirnya menempel singkat di pipi Leonard.
Mata Leonard membelalak, pupilnya melebar karena shock yang luar biasa. Ia berhenti bergerak, membeku di tengah koridor.
Ini pertama kalinya ada seorang wanita berani menyentuh bahkan menciumnya tanpa izin. Rasa sentuhan yang cepat itu terasa seperti sengatan
listrik baginya.
“KAU!” Leon melotot, wajahnya yang tadi pucat kini memerah karena kaget dan marah. Ia menjauh dua langkah, seolah Malika adalah wabah.
“Itu tanda perpisahan dari Lika,” jawab Malika dengan napas terengah karena habis berlari, sambil menunjuk pipi pria itu dengan puas.
Malika mengira ia telah melakukan sesuatu yang sopan, seperti kata Alex tadi.
Setelah itu, Malika kembali berjalan santai ke arah sebaliknya, meninggalkan Leon yang shock.
Leon menyentuh pipinya dengan sarung tangan. Rasa sentuhan itu, ciuman singkat dari gadis asing yang berisik.
“C-ciuman perpisahan? Apa dia sudah tidak waras?” gumamnya kesal sambil mengusap pipi bekas ciuman Malika.
Leonard benci bersentuhan. Apalagi dengan orang lain. Ia sangat sensitif, bahkan sentuhan kecil saja bisa membuatnya merasa jijik.
“Kenapa hari ini aku sial sekali!” gumamnya.
Leonard melihat ke arah saputangan putih di tangannya. Ia ingin melemparnya, membakarnya, tetapi entah kenapa, ia malah memasukkannya ke dalam saku.
Ia melihat kepergian Malika, yang bertingkah seolah baru saja memberikan penghargaan.
Leonard benar-benar kacau. Seumur hidupnya, ia menjaga jarak fisik dari siapa pun. Bahkan keluarganya harus berhati-hati saat bersamanya. Dan sekarang, seorang gadis berisik, cengeng, dan random telah mencuri kontak fisik darinya.
“Aku harus pulang. Aku perlu disinfektan. Seluruh tubuh,” gumamnya sambil berjalan cepat menuju pintu keluar, melupakan mengapa ia datang ke kampus.
Sementara itu, Malika yang sudah berada di halte, merasa senang karena ia telah mengucapkan terima kasih dengan cara yang efektif, meskipun sedikit aneh.
“Tadi dia mirip sekali dengan tuan muda. Sama-sama ketusnya. Tapi yang ini lebih aneh karena pakai sarung tangan terus,” pikir Malika. “Setidaknya, dia tidak menodongkan pistol ke Lika atau Pumpkin.”
Malika mengangguk puas. Pertemuan aneh hari ini sudah selesai. Ia tidak tahu bahwa pria yang ia cium tadi adalah Leonard Frederick, seorang jenius IT yang sangat anti-sosial dan adik dari Alexander Frederick.
Leonard yang membenci sentuhan dan Alexander yang membenci kucing. Dua pria dingin yang baru saja bertemu dengan Malika, si gadis polos pembawa kekacauan.
Dan Malika belum menyadari, bahwa ciuman perpisahan itu adalah awal dari pertemuan yang tak akan pernah bisa Leon lupakan.