Rio seorang master chef yang menyukai seorang wanita penyuka sesama jenis
bagaimana perjuangan Rio akankah berhasil mengejar wanita yang Rio cintai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayunda nadhifa akmal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 3
Pagi itu aku baru saja memarkirkan mobil di area hotel. Udara masih dingin, embun masih menempel di kaca jendela, dan langkahku terasa sedikit berat setelah semalaman hanya tidur tiga jam.
Aku menghela napas panjang sebelum masuk ke dapur—ritual kecil sebelum memasuki panasnya dunia kerja.
Tapi sebelum sempat memegang gagang pintu dapur, kerah bajuku ditarik kasar dari belakang.
Aku tersentak.
“Eh—apa sih?!”
Aku menoleh.
Di depanku berdiri dia.
Si tomboy itu.
Si bartender gondok yang sejak kemarin membuat hidupku tidak tenang.
Rey.
Rambut pendeknya sedikit berantakan, tubuhnya tegap, dan wajahnya pagi ini… tidak santai sama sekali.
“Balikin topi aku,” katanya pelan tapi tegas. Suaranya rendah, dingin, seperti embun yang tak sempat mencair.
Aku otomatis bersikap defensif.
“Eh, si macho… pagi-pagi udah ngamuk?”
“Topi aku,” ulangnya. Rahangnya mengeras. Matanya menusuk.
Bukan marah berapi-api—tapi marah yang ditahan. Marah yang diam.
Dan justru itu yang membuat dadaku sedikit… panas.
Aku menggaruk tengkukku seolah tak peduli.
“Ntarlah.”
“Sekarang.”
Satu kata.
Pendek.
Dalam.
Terasa sampai punggungku.
Sebelum aku sempat membalas, suara langkah ringan terdengar mendekat.
“Rio? Rey?”
Alana muncul. Cantik, rapi, dengan senyum yang biasa membuatku merasa dunia baik-baik saja.
Rey langsung menoleh, wajah kerasnya mencair sedikit.
Sedikit saja—tapi aku melihatnya.
“Hay Alana,” ujarku cepat, memanfaatkan momen itu. “Udah sarapan belum?”
Alana tertawa kecil. “Belumlah.”
Dan… aku melihat.
Tatapan Rey ke arah kami.
Diam, tapi tajam.
Tidak teriak, tapi jelas dia tidak suka.
“Rey, ayo. Kita pergi dulu,” bisik Alana.
Rey sempat melirikku lagi, kali ini lebih lama. Ada semacam… rasa tak suka, tapi juga bingung. Dan jujur saja, aku tidak tahu kenapa itu membuatku sulit menarik napas.
Lalu mereka pergi.
Hanya meninggalkan aroma parfum Alana dan amarah dingin Rey.
Aku berdiri sebentar.
Entah kenapa, topi Rey yang kusimpan itu seperti ikut menatapku balik dalam kepalaku.
Siang harinya
Aku berniat makan bakso pedas. Sudah kuimpikan dari jam sembilan pagi.
Tapi saat lewat lobby, aku melihat Alana duduk menunggu seseorang.
“Rey ya?” tebakku.
Alana mengangguk pelan.
Aku tahu aku tidak seharusnya… tapi entah kenapa aku menahan tangannya.
“Yuk makan bakso dulu,” kataku.
“Rio… aku nunggu—”
“Sebentar aja.”
Dan dia menurut.
Entah karena apa.
Saat makan bakso, ponselnya terus berdering. Nama Rey berkedip-kedip di layar.
Aku mencibir kecil.
“Abaikan aja. Sama aku lebih enak.”
Alana hanya menghela napas.
Ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku. Dari Rey. Dari semua orang.
Tapi aku belum tahu apa.
Sore
Saat kembali ke parkiran, aku melihat Rey di sana.
Dia duduk di kap mobilnya, menunduk, tangan mengepal di samping paha.
Aku mendekat.
“Rey?”
Dia tidak menjawab.
Aku menunggu. Beberapa detik. Lalu perlahan dia mengangkat wajahnya.
Bukan marah.
Bukan benci.
Bukan dendam.
Tapi hancur.
“Alana… mutusin aku,” ucapnya lirih.
Dan untuk pertama kalinya, aku melihat Rey bukan sebagai "tomboy gondok", bukan sebagai orang yang memusuhiku…
tapi sebagai manusia yang sedang patah hati.
Entah kenapa dadaku terasa aneh. Seperti ada tali yang ditarik dari dalam.
Aku menepuk pundaknya.
Sedikit kagok.
Sedikit bingung.
Tapi jujur.
“Sabar ya,” kataku pelan.
Rey hanya mengangguk tanpa suara.
Menerima luka itu sendiri.
Aku meninggalkannya.
Tapi mataku sempat menangkap sesuatu:
Rey menahan air mata. Dengan keras. Dengan marah. Dengan harga diri.
Dan itu… entah kenapa membuatku tidak nyaman.
Tatapan.
Keheningan.
Ketegangan yang tidak tahu harus ke mana.
Aku pergi bertemu Alana malam itu.
Tapi kepalaku… sialnya… terisi Rey
POV ALANA
Saat aku sedang melayani tamu lelaki tiba-tiba saja ada pesan masuk untukku dari aplikasi hijau milikku.
Rio mengatakan bahwa ia sedang berada di bawah apartemen ku,tapi aku tak bisa begitu saja meninggalkan om Bram yang belum puas dengan pelayanan yang aku berikan.
"sebentar ya om"ujarku genit pada om Bram.
Aku bergegas menghubungi nomor Rio,aku mengatakan bahwa aku tak ada di apartemen dan berharap Rio percaya padaku.
Aku terkejut saat tangan om Bram yang meremas dadaku, desahan ku meluncur begitu saja.
Dengan segera aku menutup teleponnya,dan melayani om Bram yang telah membayar ku dengan mahal.
Tubuhku bergerak dengan lincah di atas ranjang, desahan nikmat om Bram terdengar.kami mencapai puncaknya bersamaan.
"tadi siapa yang menelepon mu sayang,om cemburu lho"ujarnya sambil mengecup keningku.
"temanku om"ucapku sambil tersenyum
"terima kasih ya,kamu selalu membuat om puas,berbeda dengan istri om yang selalu ogah-ogahan melayani om"
"bagaimana kalau istri om juga bermain dengan berondong seperti om"tanyaku penasaran
"mungkin saja,apa kamu tidak puas saat bermain dengan om"
"puas sekali om"ujarku sambil menyentuh area pribadi om Bram.
Malam ini aku dan om Bram bermain sampai pagi hari, tubuhku begitu remuk,tak henti-hentinya om Bram terus menerus meminta aku melayaninya.
Walaupun bayaran yang ia berikan padaku sangat cukup besar,aku tertidur pulas dengan badan yang penuh cairan kental om bram.
Om Bram berpamitan denganku,karena supir pribadinya telah menjemputnya di bawah,aku tak mengantarnya pulang,karena aku begitu lelah sekali.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Aku menyalakan mesin kopi pagi ini seperti biasa. Lampu bar terang, tapi rasanya seperti aku bekerja dalam kegelapan.
Semuanya samar. Semuanya berat.
Satu-satunya hal yang terasa nyata adalah… sakitnya.
Tangan kiriku gemetar saat menuang susu panas. Aku berharap itu cuma karena kurang tidur.
Tapi aku tahu, sebenarnya tubuhku lelah menahan semua yang tak bisa kukatakan pada siapa pun.
Nama Alana terus berputar-putar seperti kaset rusak di kepalaku.
Setiap kali pintu kedai berdenting, jantungku refleks melonjak.
Bukan karena aku ingin melihatnya.
Tapi karena aku takut dia muncul tanpa aba-aba…
dan membuatku jatuh lagi.
“Rey, cappuccino dua… meja empat.”
Aku mengangguk, suaraku tercekat.
Aku membuatnya cepat, tapi mataku berkaca-kaca.
Entah sudah berapa kali aku pura-pura batuk supaya orang mengira mataku merah karena uap susu, bukan karena air mata.
Kupikir waktu akan menyembuhkan.
Tapi justru semakin banyak waktu yang kuberikan… semakin terasa jelas
bahwa yang dirusakkan Alana bukan hanya hati, tapi kepercayaan diri yang mencoba kutumbuhkan bertahun-tahun.
Aku ingat bagaimana dia tersenyum manis hanya saat butuh bantuan.
Bagaimana dia menghilang begitu permintaannya terpenuhi.
Bagaimana aku masih menunggu, seperti bodoh.
Hari ini aku bekerja dengan senyum tipis yang tak pernah sampai ke mata.
“rey, gulanya kurang,” kata pelanggan.
Ah. Bahkan kopi pun lebih mudah diperbaiki daripada hatiku.
Saat istirahat, aku membuka ponsel.
Tak ada pesan.
Tapi bekas chat lama dari Alana masih ada di layar.
Kalimatnya pendek. Hangat. Manis.
Padahal kini aku tahu:
Manis itu cuma kedok untuk manipulasi.
Tanganku meremas ponsel itu kuat-kuat sampai knuckle memutih.
“Ana… apa aku semurah itu di matamu sampai kamu perlakukan aku seperti pilihan cadangan?”
Nadaku bergetar.
Suara yang tidak akan pernah dia dengar.
Aku kembali bekerja.
Menuang. Mengaduk. Menghidangkan.
Tubuhku bergerak… tapi hatiku seperti terseret di tanah.
Hari ini sama seperti kemarin.
Aku tersenyum pada semua orang.
Tapi pulang nanti, aku tahu aku akan berjalan sendiri…
dengan dada yang masih menyisakan namanya.
Dengan luka yang tidak mau menutup.
Dan dengan kenyataan pahit bahwa orang yang paling kucintai
justru orang yang paling pandai membuatku merasa…
tidak cukup.