Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32
Keesokan harinya, sinar matahari sore menyinari kantin kampus Universitas Baratha dengan kejam. Jessy duduk di meja favoritnya dekat jendela, dikelilingi Nita dan Della. Secangkir latte art mahal berdiri di depannya, tapi perhatiannya terpecah.
"Diajak makan malam di The Penthouse semalam," cerita Jessy sambil memutar-mutar sedotannya, mencoba terdengar santai. "View-nya lumayan, makanan oke."
"Tapi kayaknya si Zean itu artis nggak terlalu terkenal deh," celetuk Della tanpa tedeng aling-aling sambil mengunyah saladnya. "Tapi ya, lumayan lah buat diajak clubbing nggak malu-maluin." Dia terkekeh, matanya berbinar nakal.
Jessy sedikit tersinggung. "Namanya juga baru ngerintis karir. Bisa aja nanti meledak."
Nita yang sedang memeriksa catatan kuliahnya menatap Jessy dengan tatapan tajam. "Gue sih rada curiga, Jes. Jangan-jangan dia deketin lo cuma biar dapet banyak job dari Om Deri. Tau sendiri kan om lo punya koneksi luas."
"Lo tuh kayak nggak seneng banget kalo gue dideketin cowok ganteng," gerutu Jessy, merasa diserang dari semua sisi. Dia meletakkan sedotannya dengan agak keras.
"Bukan nggak seneng, Jes. Justru karena gue sayang sama lo, makanya gue ingetin," bantah Nita, terkekeh kecil. "Dunia entertainmen tuh isinya jebakan. Cowok-cowoknya pinter banget cari celah."
Della menyambar, "Bener tuh! Buktinya Arya Nata aja, yang keliatannya perfect, ternyata udah punya bini diam-diam kan?" Matanya melotot untuk efek dramatis.
"Udah, paling bener tuh ya si Rayyan aja deh," sambung Della lagi, dengan senyum genit. "Pinter, ganteng, aura-nya cool banget... minusnya cuma satu doang." Dia berhenti untuk menciptakan suspens. "MISKIN."
Nita langsung menyambut dengan tawa nyaring, dan Della ikut terkekeh.
Jessy mendadak merasa ruangan ini sangat panas. Wajahnya memerah, bukan karena malu, tapi karena kemarahan dan frustrasi. Kenapa? Kenapa hidupnya seakan terus dibayangi oleh bayangan Rayyan Albar? Dia sudah berusaha mati-matian untuk menghapusnya dari pikirannya, untuk membenci segala sesuatu tentang pria itu. Tapi setiap kali namanya disebut, setiap kali ada sedikit ruang dalam pikirannya, yang muncul adalah ingatan akan tatapan matanya yang dalam, senyum langkanya, dan rasa aman yang ia rasakan dalam pelukannya—hal-hal yang justru membuatnya semakin terluka.
Hatinya ingin membenci, tapi otaknya, kenangan-nya, terus menerus memutar ulang setiap momen yang pernah mereka bagi, seakan menertawakannya karena tidak bisa move on.
"Udah ah!" seru Jessy tiba-tara, berdiri begitu cepat hingga kursinya berdecit keras. Suaranya melengking, menarik perhatian beberapa mahasiswa di meja sebelah. "Males banget bahas tu cowok! Mending gue balik!"
Tanpa menunggu respon dari Nita dan Della yang tertegun, Jessy menyambar tas mahalnya dan berjalan cepat meninggalkan kantin. Langkahnya tegas, tapi siapa yang tahu, di balik kacamata hitam yang ia kenakan, ada sepasang mata yang mulai berkaca-kaca.
Dia berjalan tanpa tujuan, hanya ingin menjauh. Dan di setiap langkahnya, bayangan pria bermata dark coffee itu terus mengikutinya, seperti hantu yang tak pernah memberinya istirahat.
***
Sore itu bergulir menjadi malam. Jarum jam di dinding ruang keluarga besar keluarga Sadewo telah menunjukkan pukul tujuh. Jessy baru saja turun dari kamarnya setelah mandi dan bersiap untuk bersantai. Rambutnya yang masih lembap terurai natural di atas bahunya, memancarkan wangi shampoo mahal yang segar. Dia mengenakan piyama satin pendek berwarna lavender yang sederhana namun elegan, memperlihatkan kaki-kakinya yang jenjang.
Dia berjalan menuju dapur mewah yang serba stainless steel, membuka kulkas besar dan mengambil semangkuk kecil buah potong serta segelas air mineral. Lalu, dengan langkah santai, dia menuju ruang TV—sebuah ruangan luas dengan sofa kulit putih empuk dan TV layar datar raksasa yang menempel di dinding marmer.
Bibirnya hampir saja menyunggingkan senyum puas karena akan menikmati malam yang tenang. Namun, tepat sebelum dia mendudukkan dirinya di sofa, sudut matanya menangkap sebuah bayangan di seberang ruangan, melalui dinding kaca lebar yang menghubungkan ruang keluarga dengan taman belakang.
Di gazebo kayu yang diterangi lampu taman hangat, duduk seorang pria. Posisinya membelakangi, tapi garis bahu yang bidang dan postur tubuhnya yang tegap itu terlalu familiar.
"Kayaknya otak gue udah beneran gila," gumam Jessy pelan, hampir tak percaya. Matanya menyipit, memperhatikan sosok itu yang sedang sibuk memandangi ponselnya. "Masa iya gue ngebayangin Rayyan sampe sejelas ini?"
Tapi kemudian, sebuah suara dari belakangnya memecah kekagetan itu.
"Mas Rayyan! Nih, buku paketnya udah ketemu!" seru Gio, adiknya, dengan suara riang. Jessy menoleh dan melihat Gio berjalan santai melewatinya sambil melambaikan sebuah buku tebal.
Gio terus berjalan menuju gazebo. Dan saat itulah, pria di gazebo itu—Rayyan—menoleh. Cahaya lampu taman menyinari profil wajahnya yang tegas. Dia masih mengenakan baju kerjanya, tapi kacamata baca yang meluncur di hidungnya yang mancung justru menambah aura kecerdasan dan ketenangannya. Pandangan mata dark coffee-nya yang tajam, meski dari kejauhan, seakan bertemu dengan pandangan Jessy yang terpana.
"Gio!" seru Jessy, suaranya mendesis penuh kejengkelan. Dia bergegas menghampiri adiknya yang sudah hampir mencapai pintu kaca. Tangannya meraih lengan Gio. "Siapa yang bolehin dia kesini?!"
Gio menoleh, wajahnya polos tak bersalah. "Mas Rayyan mau ngajar aku selama ujian semester akhir ini," jelasnya santai, seperti memberitahu hal yang paling wajar di dunia. "Papi sama Mami juga udah ngasih izin kok."
"Gue yang nggak bolehin!" sergah Jessy, suaranya meninggi. Matanya melirik cepat ke arah Rayyan yang masih duduk tenang di gazebo, seolah tak terganggu oleh keributan ini. "Lo cari aja guru lain! Banyak!"
"Tapi Mas Rayyan guru terbaik!" bantah Gio dengan keyakinan penuh. "Lepas ah, Kak! Waktunya belajar nih!" Dia menarik tangannya dari genggaman Jessy dan melanjutkan langkahnya.
Gio yang sudah beberapa langkah menjauh tiba-tara berbalik. Dia mendekatkan wajahnya ke Jessy dan berbisik dengan senyum licik, "Deg-degan, ya, ketemu mantan?"
Jessy hampir melompat. "Awas lo ya, Gio!" bentaknya, tapi Gio sudah berlari kecil meninggalkannya dengan tertawa.
Dengan perasaan kesal dan campur aduk, Jessy akhirnya mundur dan menjatuhkan dirinya di sofa kulit yang empuk. Dia mengambil remote dan menyalakan TV, memutar channel tanpa tujuan, berusaha mati-matian untuk mengabaikan pemandangan di seberang kaca.
Tapi usahanya sia-sia.
Matanya, bagai memiliki kemauan sendiri, terus menerus melirik ke arah gazebo. Di sana, Gio dan Rayyan duduk berhadapan di meja kayu. Buku-buku berserakan. Rayyan tampak serius menjelaskan sesuatu, jarinya yang panjang sesekali menunjuk ke buku. Saat dia harus membaca tulisan kecil, dia mendorong kacamatanya yang membuatnya terlihat sepuluh kali lebih tampan dan berwibawa.
Jessy menggerutu dalam hati. Dia mencoba memusatkan perhatian pada acara TV, tapi yang terlihat justru bayangan Rayyan yang tercermin di layar TV yang gelap. Dia mengubah posisi duduknya, memalingkan wajah, tapi sepersekian detik kemudian, matanya sudah kembali mencuri pandang ke arah gazebo.
Dia uring-uringan. Merasa terinvasi. Tapi di balik semua kekesalannya, ada sesuatu yang lain—sebuah getar aneh di dadanya, sebuah pengakuan jujur bahwa melihat Rayyan lagi, dalam jarak yang begitu dekat, membuatnya merasa... hidup. Dan itu yang justru membuatnya semakin jengkel. Kenapa dia tidak bisa benar-benar membencinya? Kenapa bayangan itu tidak hanya ada di kepalanya, tapi kini menjadi nyata, duduk begitu tenang di taman rumahnya, mengacaukan ketenangan malam dan pikirannya sekali lagi.
***
Sesi belajar bersama Gio akhirnya berakhir tepat pukul 8 malam. Suara jangkrik di taman mulai terdengar, mengiringi langkah Rayyan yang membereskan buku-buku dan peralatannya ke dalam tas ransel usangnya. Rasa lelah setelah seharian bekerja sebagai teknisi dan langsung mengajar membuat matanya sedikit berat, tapi ada misi lain yang membuatnya bertahan—sebuah misi diam-diam untuk sekadar bisa melihat Jessy, memastikan gadis itu ada di rumah dan dalam keadaan aman. Atau, lebih jujur lagi, untuk melepas rindu yang tak lagi berhak ia ungkapkan.
"Mas Rayyan pulang dulu ya, Gio," ucap Rayyan sambil mengangkat tasnya. Suaranya terdengar datar, namun ada kelelahan yang tersembunyi di baliknya.
"Lho, Mas, makan malam dulu yuk! Temenin Gio," pinta Gio dengan wajah memelas, berdiri menghalangi jalan Rayyan. "Nggak usah lama-lama, bentar aja. Biar sampe rumah udah kenyang, tinggal tidur."
Rayyan menggeleng, "Nggak usah, Gio. Udah malam."
Tapi Gio tak menyerah. Senyum licik muncul di bibirnya. "Nanti aku suruh Kak Jessy yang masak. Pasti kangen kan sama masakan Kak Jessy?" bisiknya, seolah membocorkan rahasia besar.
Rayyan terdiam seketika. Jantungnya berdebar kencang. Iya, batinkya menjawab. Aku kangen. Kangen masakannya, kangen senyumnya saat menyajikan makanan, kangen segalanya tentang dirinya. Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah diam.
"Kak, masak dong! Aku laper!" pinta Gio pada Jessy yang masih pura-pura asyik menonton TV di ruang keluarga, meski sebenarnya telinganya menyaring setiap kata yang diucapkan.
"Masak aja sendiri! Suruh aja si Mbok!" sergah Jessy tanpa menoleh, suaranya sengaja dibuat kesal.
"Kasian si Mbok udah tidur," alasan Gio. "Lagian, kasian juga nih Mas Rayyan. Katanya dia belum makan dari siang tadi." Ucapannya terburu-buru dan terdengar dibuat-buat.
"Gio!" Rayyan tersentak, wajahnya sedikit memanas. "Nggak... Aku udah... Maksudnya..." Dia terbata-bata, mencoba menyangkal, tapi tidak berhasil. Pandangannya tak sengaja mencuri arah ke Jessy, berharap ada reaksi.
Namun, Jessy tetap acuh, meski rahangnya terlihat sedikit mengeras. Melihat itu, hati Rayyan sedikit ciut. Mungkin dia memang tidak diinginkan di sini.
"Udahlah, Gio. Mas Rayyan pulang aja ya," ujarnya, menepuk pundak Gio lembut dan berbalik untuk pergi.
"Mau makan apa?"
Suara Jessy tiba-tiba memecah kesunyian. Dia masih tidak menoleh, tapi pertanyaannya jelas ditujukan pada mereka.
Gio langsung berseri-seri. "Nah, gitu dong!" serunya girang. "Ayo, Mas! Kita tungguin dulu Chef Jessy masak." Dia menarik lengan Rayyan yang masih ragu dan mendudukkannya di salah satu kursi bar di pinggir dapur.
kudu di pites ini si ibu Maryam