"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Apa, Aku Bisa
Binar telah selesai memindahkan barang-barangnya dari rumah Tama, ya dia menyebutnya itu rumah Tama. Karena Tama lah yang menyiapkan rumah tersebut, Binar juga berkata dia tidak akan meminta apapun dari laki-laki itu. Dia sanggup menjalankan semuanya sendiri.
Binar duduk memandangi kumpulan kardus yang berisi barang-barangnya, belum menatap ke tempatnya. Sebuah rumah yang tidak terlalu besar ini sudah dia bayar setahun, jadi setahun ini dia tidak pusing memikirkan biaya tempat tinggal. Sebuah rumah sederhana dengan cat warna krem yang hangat ini akan menjadi teman dan tempat bernanung selama setahun setidaknya. Rumah dengan 2 kamar itu dilengkapi juga dengan dapur yang sudah siap digunakan. Bu Lely mengatakan jika rumah ini sebenarnya dipersiapkan untuk anaknya, namun anaknya ternyata diboyong oleh suaminya ke luar kota. Daripada rusak, rumah ini dikontrakkan saja.
Binar beruntung mendapatkan rumah ini dengan harga sewa yang tergolong murah, dan penyewanya juga baik, tidak ribet dan banyak aturan.
Binar berdiri lagi, membuka kardusnya yang berisi pakaian. Dia membuka lemari kayu dan menatanya di sana. Bahkan lemari juga sudah tersedia, Binar tinggal menempati saja. Tidak banyak yang Binar masukkan, karena Binar memang tidak mengoleksi banyak pakaian di kota ini.
Setelah selesai menatap semuanya, Binar mandi dan memesan makanan untuk makan malamnya. Binar membuka lemari es, ada sisa belanja di sana, hanya saja dia lelah menata barangnya hingga selesai, jadi dia memutuskan untuk memesan makanan saja.
"Nak Binar..." suara yang sudah tidak asing baginya. Binar berjalan ke depan dari arah dapur.
"Ya Buk.." Binar tersenyum melihat Bu Lely datang sambil membawa sepiring pisang goreng hangat.
"Ibuk buat pisang goreng, kali aja nak Binar suka," Bu Lely menyodorkan piring tersebut. Binar menyambutnya dengan senyum sumringah, mengingatkan akan Ibunya. Biasanya Ibunya juga suka membuat pisang goreng, dan dia suka memakannya selagi hangat.
"Terima kasih Buk, saya suka sekali" Binar menerimanya dengan suka cita.
"Sama-sama....oh ya gimana sudah selesai menata barangnya? kalau belum biar besok Ibuk bantu," Bu Lely menawarkan.
"Oh sudah kok Bu...terima kasih," Binar kembali melengkungkan bibirnya ke atas.
"Oh ya sudah, silahkan istirahat, pasti nak Binar kecapekan habis nata barang-barangnya,"
Binar kembali masuk ke dalam rumah, menatap sepiring pisang goreng yang masih mengepul di atas meja. Ada rasa sedih, dia merindukan Ibunya, tapi belum memungkinkan untuk pulang. Sore tadi dia mengirimkan uang ke Ayahnya agar bisa segera membayar biaya rumah sakit yang luamayan. Binar terpaksa meminjam uang karena uang di tabungannya masih kurang. Tidak mengapa dia harus berhemat, agar orang tuanya sehat. Ada rasa bersalah yang menggelayutinya, karena orang tuanya tidak tahu apapun kini tentang kehidupan pribadinya dengan Tama. Bahwa perceraian sudah di depan mata.
***
"Apakah serius Aksa memutuskan kerja sama dengan Martin? kenapa?" tanya Helena pada Tama. Helena juga mengenal Martin, mereka sering bekerja sama untuk bisnisnya. "Kalau iya, berarti akan repot juga untuk proyek ke depannya ini," Helena nampak sedikit cemas.
"Nampaknya sudah tidak sejalan,"
"Apa ada kaitannya dengan istri kamu?" Helena menebak.
"Apa kaitannya dengan dia? aku rasa tidak ada,"
"Jangan-jangan Martin cemburu karena sekarang yang digandeng Aksa adalah wanita, bukan lagi suka hura-hura sama dia,"
Tama terdiam sejenak, lalu melirik ke arah Helena yang tengah meminum soda. Tama menarik soda dari wnaita itu.
"Jangan terlalu banyak minum minuman begini, nggak baik buat bayi kamu,"
Helena tersenyum kecil, lalu melihat ke arah Tama. "Bayi aku? hah!" Helena bersedekap. "Bayi kita," Helena menegaskan. "Gimana? aku nunggu pertanggung jawaban kamu" Helena kembali menatap Tama.
"Ya...ya nanti kita selesaikan,"
"Jangan nanti-nanti, keburu ini anak brojol," Helena mengingatkan.
Pertemuannya dengan Binar belum mendapatkan kesepakan, namun nampaknya Binar sudah enggan untuk bertemu dengannya dan membicarakan masalah ini. Nampaknya wanita itu sudah muak dengannya.
Diantara rasa bersalahnya, dia tidak mampu berbuat apapun. Di satu sisi merasa sudah tidak ada cinta dengan Binar, di sisi lain dia merasa berdosa karena memperlakukan Binar seperti ini.
"Apakah kamu masih mencintai dia?" Helena menatap mata Tama menyelidik. Tama menggeleng.
"Aku hanya sedang memikirkan bagaimana kehidupan dia setelah ini,"
"Itu artinya kamu masih peduli, Tama. Kamu masih mencintainya"
"Bukan...bukan itu, tapi bagaimana dia akan berhadapan dengan orang tuanya,"
"Aku tidak peduli," decih Helena tidak peduli, kemudian dia membuang pandangan.
Tama sengaja menunggu di lobby, suasana kantor sudah sepi. Dia sudah hafal kerja Binar, dia sering lembur karena menyelesaikan pekerjaannya. Tama tidak segera pulang dan ingin menyelesaikan pembicaraannya dengan Binar.
Dari kejauhan, depan lift, Binar melambatkan langkahnya. Dia tahu jika Tama menunggunya. Tama berdiri seolah menyambutnya.
"Ada yang ingin aku bicarakan," Tama menatap Binar.
Sebuah cafe mereka pilih untuk berbincang, rasanya tak enak jika mereka berbincang di area kantor, seperti kesepakatan awal. Mereka adalah asing, tak saling kenal.
"Apa lagi, Mas?" Binar mengaduk minumannya, dia memesan lemon hangat untuk menemaninya malam ini, bukan kopi kesukaannya.
"Aku akan urus semuanya,"
"Ya, itu bagus," jawab Binar cuek, senyum tak pedulinya mengembang. Tama menapat Binar seolah Binar tak lagi menahannya. Dia ragu, apakah benar wanita itu sudah tidak mencintainya. "Seperti kataku kemarin, aku tidak akan menuntut apapun darimu, Mas. Sampaikan kepada Mama kalau aku tidak mengambil apapun setelah berpisah denganmu, dan selamat Mama akan segera punya cucu," Binar menambahkan.
Rasa kaget di wajah Tama nampak, tapi Binar tidak kaget menangkap reaksi tersebut.
"Jangan pikir aku nggak tahu mas, Bu Helena kan?" Binar menegaskan. Tama terdiam sambil menatap Binar sesaat sebelum membuang pandangannya keluar. "Selamat Mas," Binar semakin mengintimidasinya dengan kata-katanya. "Aku janji, tidak akan mengatakan apapun ke Mama tentang masalah ini,"
"Bi...aku minta maaf,"
Binar menyesap lemon hangatnya, lalu meletakkan gelasnya dengan hati-hati, menatap laki-laki di depannya itu yang sebentar lagi akan resmi bukan lagi menjadi suaminya.
Jika bisa digambarkan betapa suramnya hatinya, maka pekatnya badai pun dirasa kurang. Luka hatinya teramat sakit sampai-sampai air mata tak bisa mengekspresikannya. Kebersamaannya dengan Tama selama ini, rasa cintanya, perjuangan mereka, semua tak ada harganya lagi. Tapi bukankah hidup harus terus berjalan?.
"Kamu kenal aku kan mas, aku orang yang tidak akan jatuh walau batu menghujaniku? dan aku akan kembali membuktikannya setelah ini, aku akan baik-baik saja,"
"Ya, aku tahu itu,"
"Ya, kamu adalah salah satu orang yang paling mengenalku," Binar tersenyum kecut.
Pertemuan dengan Tama semakin membulatkan tekad bahwa perpisahan adalah jalan terbaik, tidak peduli seberapa luka yang dia bawa, ini yang terbaik. Mungkin setelah ini dia bisa mencari kerja yang dekat dengan keluarganya, agar bisa merawat Ibunya dan juga menjauh dari rasa luka yang menderanya. Agar langkahnya tak lagi pekat.