“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.
Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.
Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulastri 8
“Derek langkung(permisi), Nyai?” sapa para pekerja hampir bersamaan.
Sulastri yang sedang menyapu di halaman belakang menghentikan kegiatannya. Sapaan dari para pekerja membuat hatinya berdesir panas.
Sulastri menegakkan badannya, tatapannya datar. “Jangan panggil saya Nyai, saya bukan simpenan Meneer!”
Marni salah seorang pekerja, menatap sinis penampilan Sulastri dari ujung kaki hingga kepala, sudut bibirnya terangkat tipis. “Kalau bukan Nyai, lalu apa? Gundik?”
Wajah Sulastri seketika memerah, hatinya bak dihantam batu besar saat mendengar ucapan Marni. Matanya berkaca-kaca, suaranya bergetar. “Jaga bicaramu, saya tidak seperti yang kamu pikirkan.”
Darmi mendengus sinis. “Tidak seperti … tapi kenyataan. Dasar tidak tau malu. Jual dirinya dengan siapa … yang dimintai tanggung jawab siapa?”
“Apa maksudmu?!”
Marni menyilangkan tangan di dada, bibirnya menekuk miring, tatapannya menusuk. “Heh, wanita rendah,” ujarnya dingin. “Kamu pikir aku tidak tau siapa kamu? Menggunakan bayi untuk merayu Meneer. Apa uang dari hasil jual dirimu itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kalian?”
“Jangan bawa-bawa anakku!” sahut Sulastri.
Marni terkekeh kecil, tatapannya datar, namun mengilat penuh ejekan. “Dasar gundik, gila harta, tau saja mana yang banyak duitnya.”
“Tutup mulutmu! Aku bukan gundik!” hardik Sulastri, tatapannya nyalang penuh amarah setelah mendengar tuduhan keji dari wanita itu.
Marni menyeringai licik. “Kalau bukan gundik lalu apa?! Tinggal di rumah orang tanpa ikatan, benar-benar wanita rendahan, tidak tau malu!”
“Kamu sudah keterlaluan, menilai orang seenaknya tanpa tau kejadian sebenarnya,” sahut Sulastri.
Marni tertawa remeh, “Kejadian apa? Kejadian saat kamu menjajakkan diri sama hidung belang di luaran sana? Atau saat kamu menaikkan jarik untuk merayu Meneer?”
“Kamu—”
“Mimpi apa Meneer sampai kemakan rayuan wanita kotor seperti kamu, atau jangan-jangan kamu pakai guna-guna,” sergah Darmi.
“Sudah … sudah, kalau terus-terusan berdebat di sini, bisa kesiangan kita panen tembakaunya,” sela Siti yang sedari tadi hanya menyimak perdebatan itu.
Pagi itu memang tidak banyak pekerja yang datang hanya tiga orang wanita, Darmi, Siti dan si mulut tajam—Marni. Wanita itu seolah belum puas mencibir. Sembari berjalan menuju kebun, dia terus-terusan melontarkan komentar pedas, suaranya cukup keras untuk memastikan Sulastri bisa mendengarnya.
“Memang kalau dasarnya sudah tidak tau malu, ya begitu, jelas-jelas gundik masih saja mengelak. Bikin kotor pemandangan, melahirkan anak haram dari hasil jual—”
“Sudah aku bilang jangan bawa-bawa anakku!”
Sulastri naik pitam saat sang putri kembali di sebut. Dengan cepat ia menghampiri Marni—menarik gelungan rambut wanita itu hingga tubuhnya nyaris terjatuh ke belakang.
Marni sontak berteriak, tangannya berusaha melepas cengkraman Sulastri. “Akhh …lepas! Dasar perempuan gila. Gundik!”
Sulastri dengan kuat memutar gelungan Marni hingga perempuan itu jatuh tersungkur ke tanah. Dengan cepat dia memiting badan Marni kemudian mengambil segenggam sampah daun kering yang baru disapunya, lalu menjejalkannya ke mulut Marni.
“Wanita bermulut sampah sepertimu, pantasnya diberi makan sampah. Dengar … sekali lagi aku mendengar kamu menyebut anakku sebagai anak gundik, aku patahkan lehermu!” ancam Sulastri.
Sulastri kemudian membenarkan penampilannya sebelum berjalan kembali ke dalam rumah.
“Dadar gundik sialan!” umpat Marni. Wanita itu dengan tertatih berdiri dari tanah, rambutnya acak-acakkan dengan beberapa lembar daun kering yang masih menempel di wajahnya.
Tanpa mereka sadari, dua pasang mata menyaksikan semua dari jendela ruang kerja di kamar belakang. Mulut keduanya terbuka, dengan tangan di depan dada. Mereka tidak menyangka wanita selembut Sulastri bisa berubah bak singa ketika marah.
Petter menelan ludah kasar sembari menyurai rambut gondrongnya. “Sepertinya kita harus berhati-hati, To?” gumamnya.
Broto yang masih mematung, mengangguk kecil. “Apa kita masih perlu menyelidiki siapa wanita itu? Saya jadi takut dijejeli sampah kalau sampai ketahuan,” sahut Broto.
Petter menahan napas. "Saya juga takut," gumamnya sambil menelan ludah.
Sementara dua pria itu bergidik ngeri, Sulastri sudah kembali ke kamarnya. Dengan amarah yang nyaris meledak, napas yang tersengal — pelupuk mata yang sudah basah. Wanita itu buru-buru mengemas pakaiannya juga milik putrinya, ia berniat pergi dari rumah si Londo secepatnya.
Mbok Sum yang juga menyaksikan kejadian itu, menyusul dengan cepat ke kamar Sulastri. Wanita sepuh itu dibuat terhentak saat Sulastri membereskan semua bajunya.
“Kamu mau kemana, Nduk?” tanyanya dengan mata terbelalak.
“Pergi dari sini, saya tidak mau orang-orang semakin salah paham,” ucap Sulastri dengan napas tersengal.
“Pergi kemana?”
“Kemana saja asal tidak di sini!”
Mbok Sum menghela napas berat, dengan lembut dia meraih lengan Sulastri. “Sabar, Nduk. orang-orang itu hanya belum tau cerita sesungguhnya.”
“Tapi semakin lama saya di sini, semakin banyak gosip yang menyebar, Mbok,” sahut Sulastri, dadanya bergetar, sudut matanya mulai basah.
Mbok Sum membelai lembut pundak Sulastri, suaranya hangat namun pelan, “Berada di luar tidak menjamin gosip itu berhenti, bisa jadi malah semakin memanas.”
Sulastri terisak kecil, bahunya bergetar menahan tangis, “Tapi mereka sudah keterlaluan, Mbok,” ucapnya pelan.
“Si Mbok tau, Nduk. Tapi kamu harus kuat, paling tidak kamu harus punya bekal terlebih dahulu untuk melawan mereka,” ujar Mbok Sum hangat.
Sulastri menyeka sudut matanya, napasnya mulai sedikit tenang, “Bagaimana caranya, Mbok. Kalau saya saja terkurung di sini?” tanyanya pelan.
Mbok Sum membelai lembut rambut hitam Sulastri yang sedikit berantakan, wanita itu mengulas senyum hangat. “Kamu bisa mendapatkannya di sini, Nduk.”
“Maksudnya?”
“Belajarlah berdagang dengan Meneer,” ujar Mbok Sum sembari tersenyum tipis, suaranya menenangkan, tegas—penuh harapan.
“Tapi—”
“Lebih mudah menutup telinga dan terus melangkah maju, ketimbang membungkam mulut orang satu-persatu,” sela Anderson dari ambang pintu.
Sulastri cepat-cepat menghapus air matanya, wajahnya tertekuk pada lantai marmer saat menyadari kedatangan Anderson.
“Aku dengar kemarin Noni cilik demam, aku datang untuk memeriksanya,” lanjut Anderson, lalu berjalan menuju box bayi tempat si mungil tertidur.
Anderson kemudian memasang stetoskopnya, memeriksa pernapasan dan perut bayi mungil itu. Dokter paruh baya itu mengangguk kecil, lalu membelai pipi merah si mungil.
“Bagaimana?” tanya Mbok Sum saat Anderson sudah menyelesaikan pemeriksaan.
Anderson tersenyum kecil, menatap hangat pada bayi mungil yang tertidur pulas. “Tidak ada masalah, hanya sedikit ada tanda-tanda akan flu. Aku akan memberikan obat dan vitamin untuknya.”
Dokter paruh baya itu kemudian menepuk pelan pundak Sulastri. “Mbok Sum ada benarnya, melihat keberanianmu tadi, sepertinya kau cocok bekerja dengan si keras kepala—Petter,” ujarnya.
Sulastri menggeleng kecil, matanya bergerak cepat. “Tidak … saya tidak mau. Orang-orang akan semakin menyudutkan saya, jika saya tetap berada di sini.”
Di balik tembok Petter berdiri dengan tenang. Sudut bibirnya terangkat tipis sebelum membuang cerutu di jari tangannya.
“Kau boleh pergi dari sini, tapi pastikan anakmu sehat terlebih dahulu. Aku tidak mau bayi itu terancam nyawanya untuk kedua kalinya,” sahut Petter sembari berjalan masuk ke dalam kamar.
Mbok Sum tersenyum hangat, kemudian merangkul pundak Sulastri. “Meneer benar, Nduk. Kasian Noni kalau kau bawa pergi sekarang.”
Sulastri menatap bayinya dalam, bibirnya bergetar pelan. Suaranya tertahan di tenggorokan.
Petter tertawa sumbang, kemudian berjalan keluar sembari mendesis pelan. “Dasar pribumi kolot.”
Bersambung.
Yang setuju versi badasnya Sulastri like🫶
Yang setuju versi sok coolnya Petter komen😆
Amatiran ini butuh dukungan. 😭🫶